Janji Manis Kampanye Pemilu 2024 Bisa Jadi Beban Ekonomi Generasi Mendatang

Minggu, 24 Desember 2023 - 13:20 WIB
loading...
Janji Manis Kampanye...
Suasana Peluncuran dan Diskusi Buku Setelah Negara Kesejahteraan. Bertindak sebagai pemateri adalah Poltak Hotradero, Nanang Sunandar, Raina Salsabila, dan Imam Syadzili. Foto/Istimewa
A A A
JAKARTA - Negara kesejahteraan (welfare state) sering dipandang sebagai model ideal. Ia digambarkan mempraktikkan ekonomi jalan tengah antara komunisme yang totalitarian dan kapitalisme yang dianggap “tak berperasaan”.

Ekonom pendukung negara kesejahteraan menganggap negara kesejahteraan berhasil mewujudkan kemakmuran yang lebih berkeadilan bagi masyarakatnya, terutama masyarakat miskin dan kurang beruntung. Mereka mencontohkan negara-negara Nordik seperti Finlandia, Swedia, dan Denmark.



Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Institut Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial (INDEKS) Nanang Sunandar dalam peluncuran buku Setelah Negara Kesejahteraan (2023) di Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Jakarta, Jumat 22 Desember 2023. Sebagai informasi, buku ini disunting oleh Tom Palmer ini diterbitkan atas kerja sama antara INDEKS dan Atlas Network.

Menurut Nanang, sebagian filsuf politik juga memandang model negara kesejahteraan unggul secara moral karena kebijakan-kebijakannya dinilai memihak pada kelompok masyarakat miskin dan kurang beruntung.

“Para politisi pun pada saat masa kampanye, demi menarik suara sebanyak-banyaknya, menjanjikan beragam macam program-program populis. Misal, sarapan dan program gratis lainnya, subsidi harga barang-barang tertentu, segala macam program bantuan,” ujar Nanang dikutip Minggu (24/12/2023).

Menurut Nanang, meski terdengar manis, janji-janji tersebut merugikan masyarakat sendiri, terutama generasi yang akan datang. Ini karena uang untuk memenuhi janji-janji tersebut dibebankan pada APBN dan dapat membuat utang negara makin membengkak.

“Dampaknya, bayi yang baru lahir sudah menanggung beban utang yang begitu banyak karena janji-janji para politisi. Generasi di masa yang akan datang diwarisi beban ekonomi oleh para politisi pengobral janji kesejahteraan,” kata penerjemah buku ini.

Selain itu, pembangunan yang digenjot atas nama kesejahteraan umum juga sering abai terhadap dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya. Akibatnya, janji-janji negara kesejahteraan tidak hanya meninggalkan warisan masalah ekonomi bagi generasi yang akan datang, tapi juga kerusakan lingkungan.

Senada dengan Nanang, Ekonom Poltak Hotradero mengatakan bahwa negara demokrasi seperti Indonesia memungkinkan para politisi mengumbar janji-janji populis program-program kesejahteraan demi mendulang suara sebanyak-banyaknya.

Bagi Poltak, karena program-program ala negara kesejahteraan melibatkan uang yang besar, ia menimbulkan administrasi dan birokrasi yang gemuk. Ongkos birokrasinya sangat besar.

“Hati-hati dengan program yang datangnya dari atas ke bawah. Saya mendukung program yang datang dari bawah ke atas,” kata Poltak.

Poltak mewanti-wanti agar kita sebagai masyarakat tidak menyerahkan segala urusan kepada negara. “Saya adalah yang kritis dalam istilah negara harus hadir. Banyak hal yang perlu kita selesaikan sendiri. Kita sebagai orang yang mencintai demokrasi dan tahu kelemahan demokrasi harus cerdas,” pungkasnya.



Sementara itu, Aktivis Students For Liberty Raina Salsabila mengatakan jika segala kebutuhan masyarakat ditanggung oleh negara, ia khawatir pemerintah akan berlebihan dalam mengintervensi kehidupan warganya. “Itu berbahaya bagi demokrasi,” ucap Raina.
(kri)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0816 seconds (0.1#10.140)