Pasal-Pasal Kontroversial dalam Revisi UU MD3 yang Disahkan DPR

Selasa, 13 Februari 2018 - 10:21 WIB
Pasal-Pasal Kontroversial dalam Revisi UU MD3 yang Disahkan DPR
Pasal-Pasal Kontroversial dalam Revisi UU MD3 yang Disahkan DPR
A A A
JAKARTA - Pengesahan revisi Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) dalam rapat paripurna DPR, Senin (12/2/2018) sore memantik reaksi banyak kalangan. Sejumlah pasal dalam susunan UU MD3 yang baru tergolong kontroversial dan berpotensi tabrakan dengan aturan perundangan lain.

Salah satu poin penting dalam UU MD3 yang baru adalah kewenangan DPD dalam mengevaluasi peraturan daerah. Ketentuan ini dinilai bakal bertabrakan dengan UU Pemda yang sebelumnya memberikan kewenangan tersebut ke jajaran eksekutif. Dalam UU MD3 pasal 249 ayat 1 huruf J disebutkan bahwa DPD berwenang dan bertugas melakukan pemantauan dan evaluasi atas rancangan peraturan daerah (raperdda) dan peraturan daerah (perda).

Pakar Hukum Tata Negara, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Umbu Rauta mengatakan klausul dalam UU MD3 tersebut bertentangan dengan UU Pemerintah Daerah (Pemda) dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK). "Ini kalau melihat kalimatnya berpotensi tumpang tindih dengan aturan lain. Untuk evaluasi raperda ataupun perda sudah diatur di UU Pemda," katanya saat dihubungi, Senin (12/2/2018).

Umbu mempertanyakan konteks kewenangan pemantauan dan evaluasi yang dimiliki oleh DPD nanti. Menurutnya jika kewenangan ini secara detail seperti apa yang dimiliki pemerintah dan MA saat ini tentu akan ada tumpang tindih kewenangan. "Jadi apakah seluruh raperda harus disetujui dan dikonsultasikan dengan DPD atau seperti apa. Ini yang harus diperjelas. Kalau sama tentu yang diutamakan adalah UU Pemda karena yang khusus mengatur terkait perda," jelasnya.

Lebih lanjut Umbu menilai adanya klausul tersebut menunjukkan tidak adanya harmonisasi dengan aturan hukum lainnya. Seharusnya dalam menyusun aturan ini, DPD dan pemerintah memperhatikan UU Pemda. "Tidak diperhatikan aturan lainnya. Dengan begitu tumpang tindih aturan dan kewenangan bisa dihindari," paparnya.

Sementara itu Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Robert Endi Jaweng menilai DPD seharusnya fokus pada program-program pemerintah pusat. Pasalnya DPD merupakan mitra kerja pemerintah pusat. "DPD ini bukan mitra pemerintah daerah. Banyak hal yang lebih strategis yang perlu mendapatkan perhatian oleh DPD," ungkapnya.

Endi juga mempertanyakan maksud dari kewenangan pemantauan dan evaluasi yang dimiliki oleh DPD. Dia mengingatkan jangan sampai aturan baru ini malah menimbulkan kebingungan bagi daerah dalam membuat perda. "Ini akan seperti apa evaluasi dan pemantauannya. Jika pemerintah evaluasi. Lalu pembatalan di MA. Ditambah di DPD bisa membingungkan," katanya.

Menurutnya untuk mencegah perda bermasalah akan lebih efektif jika DPD berkoordinasi dengan menteri dalam negeri (mendagri). Dia mengatakan DPD dapat meminta Kemendagri melaporkan evaluasi perda dalam waktu tertentu. "DPD bisa mendorong Kemendagri untuk memaksimalkan perannya mencegah perda bermasalah. Misal enam bulan sekali diminta laporan," tuturnya.

Pasal lain yang tergolong kontroversial adalah kewenangan DPR untuk mempidanakan para pengkritiknya. Dalam pasal Pasal 122 huruf K UU MD3 disebutkan DPR bisa mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR. Pasal ini dinilai bakal membuat DPR maupun anggotanya bisa bertindak otoriter.

Politikus PKS Tifatul Sembiring menilai aturan ini terlalu berlebihan. Menurutnya di era demokrasi wajar saja jika ada pihak-pihak yang melontarkan kritik ke lembaga-lembaga negara termasuk kepada wakil rakyat di parlemen. Apalagi para anggota DPR dipilih langsung secara demokrasi, sehingga wajar untuk melontarkan kritik saat wakil yang mereka pilih tidak memenuhi janji-janji di masa kampanye. "Berlebihanlah. Kalau menurut saya biasa sajalah. Kan publik yang memilih, publik kecewa kemudian mengkritik itu biasa yah," katanya.

Mantan menteri Kominfo ini menegaskan jika pasal ini dimaksudkan untuk menjaga marwah lembaga wakil rakyat maka harus didefinisikan secara rinci apa yang dimaksud dengan tindakan merendahkan lembaga dan anggota DPR. Sehingga ada batasan jelas mana tindakan yang bisa dikategorikan merendahkan anggota dan lembaga DPR. "Sebetulnya kalau merendahkan itu harus definitif. Jangan ada orang sedikit mengkritik kemudian ini (ditindak), kan ini demokrasi kan. Jangan balik lagi ke orde baru," tambahnya.

Sementara itu Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas menyampaikan 14 poin perubahan dalam UU MD3. Pertama, perubahan di UU MD3 adalah penambahan kursi pimpinan MPR, DPR, dan DPD, serta menambah wakil pimpinan MKD. Kedua, perumusan kewenangan DPR dalam membahas RUU yang berasal dari presiden dan DPR, maupun RUU yang diajukan DPD.

Ketiga, penambahan rumusan mengenai pemanggilan paksa dan penyanderaan terhadap pejabat negara atau masyarakat yang akan melibatkan kepolisian. Keempat, penambahan rumusan mengenai penggunaan hak interpletasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, atau hak anggota DPR untuk mengajukan pertanyaan kepada pejabat negara. "Kelima, menghidupkan kembali Badan Akuntabilitas Keuangan Negara. Keenam, penambahan rumusan kewenangan Badan Legislasi dalam penyusunan RUU serta pembuatan laporan kinerja dan inventarisasi masalah di bidang hukum," ucapnya.

Berikutnya, ketujuh, perumusan ulang terkait tugas dan fungsi MKD. Kedelapan, penambahan rumusan kewajiban mengenai laporan hasil pembahasan APBN dalam rapat pimpinan sebelum pengambilan keputusan pada pembicaraan tingkat I. "Kesembilan, penambahan rumusan mekanisme pemanggilan WNI atau WNA yang secara paksa dalam hal tidak memenuhi panggilan panitia angket. Kesepuluh, penguatan hal imunitas anggota DPR dan pengecualian hak imunitas," jelasnya.

Kesebelas, sambungnya, penambahan rumusan wewenang dan tugas DPD dalam memantau dan mengevaluasi rancangan Perda dan Perda. Keduabelas, penambahan rumusan kemandirian DPD dalam penyusunan anggaran. Penambahan rumusan terkait pelaksana tugas Badan Keahlian Dewan. Ketigabelas, penambahan rumusan jumlah dan mekanisme pemilihan pimpinan MPR, DPR, dan Alat Kelengkapan Dewan hasil pemilu tahun 2014. Dan Keempatbelas, ketentuan mengenai mekanisme pimpinan MPR, DPR, serta Alat Kelengkapan Dewan (AKD) setelah pemilu tahun 2019.

Pasal-Pasal Kontroversial
PoinPasal
Imunitas Anggota DPRPasal 245 : Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
Dampak : Pasal ini berpotensi mempersulit upaya penegakan hukum jika anggota DPR berindikasi melakukan tindak pidana seperti korupsi maupun pidana lain.
Kewenangan DPR Memanggil PaksaPasal 73 ayat 4 : Dalam hal pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum dan/atau warga masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak hadir setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dampak : Pasal ini berpotensi membuat DPR sebagai lembaga hukum yang berhak memanggil paksa pihak-pihak yang dinilai wakil rakyat tidak kooperatif. Padahal sebagai lembaga politik, pemanggilan tersebut rawan diwarnai kepentingan-kepentingan politik individu, parpol, maupun institusi DPR sendiri.
Pengkritik DPR Bisa DipidanaPasal 122 huruf K : Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Dampak : Pasal ini berpotensi membungkam kritik publik terhadap kualitas kinerja wakil mereka di parlemen.
Pimpinan MPR menjadi genapPasal 15 : Pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 7 (tujuh) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota MPR.
Dampak : Pasal ini berpotensi membuat keputusan pimpinan MPR berakhir deadlock karena tidak bisa mengambil putusan karena jumlah genap.
Penambahan Pimpinan DPR menjadi 6 orangPasal 84 : Pimpinan DPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 5 (lima) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPR.
Penambahan Pimpinan DPD menjadi 4 orangPasal 260 : Pimpinan DPD terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPD dalam sidang paripurna DPD.
DPD Berwenang Mengevaluasi PerdaDraf tersebut tertuang dalam Pasal 249 ayat 1 huruf J : DPD mempunyai wewenangan dan tugas melakukan pemantauan dan evaluasi atas rancanangan peraturan daerah dan peraturan daerah.
Dampak : Kewenangan ini berpotensi memunculkan kerancuan tugas dengan eksekutif.


Peta Dukungan Pengesahan UU MD3

Parpol PendukungPDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Hanura, Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Parpol PenolakPartai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Nasdem
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4350 seconds (0.1#10.140)