Menyiapkan Drone untuk Kekuatan Masa Depan TNI
loading...
A
A
A
Hanya saja, kedua negara tetangga ini lebih progresif mengembangkan kemandirian drone tempur. Singapura misalnya dalam proses pengembangan drone serang supersonic, yaitu Arrow. Drone yang dikembangkan Kelley Aerospace itu diarahkan untuk multi-misi: pengintaian, serangan darat, serangan udara, mengawal pesawat berawak, dan jenis misi lainnya. Sedangkan Australia membangun UCAVloyal wingmanbersama Boeing, yakni MQ-28Ghost Bat.
Indonesia sebetulnya jauh hari sudah merintis pembangunan drone, namun dengan kapasitas dan fungsi terbatas. Beberapa drone karya anak bangsa adalah drone Wulung, Lapan Surveillance Unnamed (LSU), Gagak dan lainnya. Bahkan untuk drone MALE yang dipersenjatai, yakni drone Elang Hitam yang digarap BPPT, PT LEN, PT Dahana, PT Dirgantara Indonesia dan beberapa lembaga lain. Sayangnya, setelah lembaga riset disatukan dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), proyek tersebut malah dihentikan dengan berbagai alasan.
Melihat pentingnya perang drone tempur dalam peperangan modern serta kebutuhan penguatan kapasitas militer agar mampu merespons dinamika tantangan dan ancaman, termasuk di Laut China Selatan, proyek Elang Hitam urgen kembali dihidupkan. Jika persoalan terkendala keterbatasan teknologi dan kemampuan SDM, BRIN bisa memanfaatkan kerja sama dengan Turki sebagai bagian mekanisme transfer of technology (ToT) akuisisi drone BayraktarTB2 dan Anka.
baca juga: Pertahanan Udara Rusia Hancurkan 21 Drone Tempur Ukraina
Atau, kalau memang BRIN tidak bisa diharapkan, pemerintah bisa mendorong partisipasi swasta. Tapi, rasanya aneh bila Indonesia yang sudah memiliki kompetensi membangun pesawat terbang tidak mampu membangun drone. Karenanya, decision maker negeri ini harus belajar dari kesungguhan Turki yang sudah mampu drone dan bahkan mengekspor, hingga drone buatanya mereka menjadi alutsista andalan banyak negara untuk memenangkan pertempuran.
Perkembangan termutakhir juga menunjukkan jenis droneKamikaze telah menjadi alutsista penting dalam medan laga. Iran misalnya, memproduksi drone Shahed-136 dan sudah digunakan Rusia untuk melumpuhkan Ukraina. Bahkan Hamas pun sudah mampu membuat jenis drone ini, Zouari, dan telah dioperasikan dalam misi penyerangan ke wilayah Israel.
Indonesia sendiri sebenarnya tidak ketinggalan. PT Dahana yang merupakan BUMN produsen bahan peledak telah mengembangkan droneKamikaze Rajata. Bahkan, drone yang dikembangkan sejak 2021 itu diklaim tak kalah canggih dibanding Kalashnikov milik Rusia, Warmate (Polandia), Switchblade (Amerika Serikat), dan Hero-30 (Israel). Istimewanya, walaupun memiliki kemampuan bersaing, harga Rajata paling murah.
Tak mau kalah, PT Pindad juga sedang mengembangkan drone Minibe. Drone kamikaze yang dilengkapi sistem seperti misil ini memiliki kemampuan jarak terbang mencapai 25 km dengan kecepatan 250 km per jam, dan membawa bahan peledak hingga hampir satu kilo. Selain Dahana dan Pindad, TNI AL melalui Perwira Siswa (Pasis) Seskoal juga tengah merancang jenis drone sama.
Hanya saja, setiap pengembangkan alutsista di Tanah Air selalui dihantui keraguan akan berhenti di prototipe, atau tidak dilanjutkan seperti nasib yang dialami Elang Hitam. Jawaban tentu dikembalikan ke Kemhan atau institusi terkait seperti BRIN, yakni apakah Indonesia bersungguh-sungguh mewujudkan kemandirian, termasuk membuat drone tempur, atau selamanya bergantung pada negara lain.
Namun, berangkat dari kesadaran akan posisi strategis drone, pentingnya kemandirian alutsista, serta menguatnya dinamika konflik antar-negara, pemerintah dan otoritas terkait harus berani melangkah ke depan mewujudkan berbagai program drone yang dilakukan.
Indonesia sebetulnya jauh hari sudah merintis pembangunan drone, namun dengan kapasitas dan fungsi terbatas. Beberapa drone karya anak bangsa adalah drone Wulung, Lapan Surveillance Unnamed (LSU), Gagak dan lainnya. Bahkan untuk drone MALE yang dipersenjatai, yakni drone Elang Hitam yang digarap BPPT, PT LEN, PT Dahana, PT Dirgantara Indonesia dan beberapa lembaga lain. Sayangnya, setelah lembaga riset disatukan dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), proyek tersebut malah dihentikan dengan berbagai alasan.
Melihat pentingnya perang drone tempur dalam peperangan modern serta kebutuhan penguatan kapasitas militer agar mampu merespons dinamika tantangan dan ancaman, termasuk di Laut China Selatan, proyek Elang Hitam urgen kembali dihidupkan. Jika persoalan terkendala keterbatasan teknologi dan kemampuan SDM, BRIN bisa memanfaatkan kerja sama dengan Turki sebagai bagian mekanisme transfer of technology (ToT) akuisisi drone BayraktarTB2 dan Anka.
baca juga: Pertahanan Udara Rusia Hancurkan 21 Drone Tempur Ukraina
Atau, kalau memang BRIN tidak bisa diharapkan, pemerintah bisa mendorong partisipasi swasta. Tapi, rasanya aneh bila Indonesia yang sudah memiliki kompetensi membangun pesawat terbang tidak mampu membangun drone. Karenanya, decision maker negeri ini harus belajar dari kesungguhan Turki yang sudah mampu drone dan bahkan mengekspor, hingga drone buatanya mereka menjadi alutsista andalan banyak negara untuk memenangkan pertempuran.
Perkembangan termutakhir juga menunjukkan jenis droneKamikaze telah menjadi alutsista penting dalam medan laga. Iran misalnya, memproduksi drone Shahed-136 dan sudah digunakan Rusia untuk melumpuhkan Ukraina. Bahkan Hamas pun sudah mampu membuat jenis drone ini, Zouari, dan telah dioperasikan dalam misi penyerangan ke wilayah Israel.
Indonesia sendiri sebenarnya tidak ketinggalan. PT Dahana yang merupakan BUMN produsen bahan peledak telah mengembangkan droneKamikaze Rajata. Bahkan, drone yang dikembangkan sejak 2021 itu diklaim tak kalah canggih dibanding Kalashnikov milik Rusia, Warmate (Polandia), Switchblade (Amerika Serikat), dan Hero-30 (Israel). Istimewanya, walaupun memiliki kemampuan bersaing, harga Rajata paling murah.
Tak mau kalah, PT Pindad juga sedang mengembangkan drone Minibe. Drone kamikaze yang dilengkapi sistem seperti misil ini memiliki kemampuan jarak terbang mencapai 25 km dengan kecepatan 250 km per jam, dan membawa bahan peledak hingga hampir satu kilo. Selain Dahana dan Pindad, TNI AL melalui Perwira Siswa (Pasis) Seskoal juga tengah merancang jenis drone sama.
Hanya saja, setiap pengembangkan alutsista di Tanah Air selalui dihantui keraguan akan berhenti di prototipe, atau tidak dilanjutkan seperti nasib yang dialami Elang Hitam. Jawaban tentu dikembalikan ke Kemhan atau institusi terkait seperti BRIN, yakni apakah Indonesia bersungguh-sungguh mewujudkan kemandirian, termasuk membuat drone tempur, atau selamanya bergantung pada negara lain.
Namun, berangkat dari kesadaran akan posisi strategis drone, pentingnya kemandirian alutsista, serta menguatnya dinamika konflik antar-negara, pemerintah dan otoritas terkait harus berani melangkah ke depan mewujudkan berbagai program drone yang dilakukan.