Medium Digital dan Jaminan Persaingan Bebas
loading...
A
A
A
JAKARTA -
Dr Firman Kurniawan S
Pemerhati budaya dan komunikasi digital, pendiri LITEROS.org
APA hukuman yang layak diterima platform media sosial semacam Facebook, Youtube, Twitter, Whatsapps dan lainnya ketika digunakan pemilik akunnya, untuk di mendistribusikan hoaks, atau ujaran kebencian? Akibat hoaks maupun ujaran kebencian, kerusakan yang ditimbulkan di tengah masyarakat, nyata.
Tak jarang muncul kekisruhan publik, kekacauan massa, bahkan pecah perseteruan antarkelompok yang mencekam, berujung pada segregasi sosial. Contohnya yang dialami India dalam kurun April 2018, Juli 2018 dan Agustus-September 2019, puluhan nyawa warganya melayang sia-sia. Ini akibat beredarnya kabar adanya penculik anak-anak yang mencari korban di permukiman-permukiman negara itu.
Kabar yang beredar lewat platform WhatsApp itu berhasil memancing ketakutan serta kewaspadaan berlebihan masyarakat. Ini memicu terjadinya pembunuhan orang tak bersalah, lantaran punya ciri sesuai kabar yang beredar.
Lain pula yang terjadi di Brazil. Perhelatan pemilihan presiden di negara itu diwarnai membanjirnya hoaks yang diproduksi oleh masing-masing tim pemenangan para kandidat. Dukungan dan fanatisme yang terbentuk, berhasil memilah para pendukung.
Masyarakat Brazil tersegregasi secara sosial, bahkan setelah pemilu berhasil mengantarkan pemenangnya. Di Indonesia, hoaks yang lazimnya berjaringan dengan kabar kebencian, berdasar data yang teratur dirilis Kemenkominfo maupun Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) terindikasi alami peningkatan, seiring peristiwa-peristiwa politik.
Namun hoaks yang berciri kehidupan sosial lain: kesehatan, agama, relasi antar masyarakat, juga jadi warna peredarannya.
Pertanyaan pada pembuka di atas layak ditanyakan mengingat berbagai informasi yang hadir membanjir di masyarakat, untuk terdistribusi tak lepas dari media. Facebook, Youtube, Twitter, Whatsapps dan berbagai platform media sosial lainnya adalah media.
Ini artinya kedudukan berbagai platform itu, sama dengan koran, majalah, tabloid yang harus tunduk pada pengawasan yang dilakukan Dewan Pers. Atau mereka adalah media, selayaknya radio, televisi yang mesti ikuti pedoman siaran, yang digariskan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Bukan lantaran kontennya diproduksi oleh user yang bisa punya akun secara bebas, sesuai kaidah user generated content (UGC), maka platform bisa lepas dari tanggung jawab, tak dikenai kewajiban hukum.
Pada diskusi terbatas yang diadakan Kementerian PPN/Bappenas pekan lalu, bertajuk Hambatan Kebebasan Pers di Tengah Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi, salah satu narasumber, Agus Sudibyo dari Dewan Pers menyoroti berbagai kenikmatan yang seakan jadi hak melekat platform media sosial.
Lantaran semua UGC bergantung pada tersedianya platform untuk menjangkau followernya, sedangkan perusahaan platform punya kapasitas menampung berikut mendistribusikan konten di seluruh dunia, maka ini menimbulkan kuasa untuk bertindak sebagaimana perusahaan pers, sekaligus kuasa mengatur traffic-nya. Bahkan konten perusahan pers konvensional pun harus tunduk pada pengaturan perusahaan platform, ketika mendistribusikan kontennya secara online. Paradoks dari keadaan ini, perusahaan pers konvensional harus bersaing sekaligus berkawan dengan perusahaan platform.
Keadaan ini sering disebut sebagai frenemy, friend sekaligus enemy. Dalam praktiknya, frenemy berjalan dengan mempersaingkan rasa suka khalayak terhadap konten, yang uniknya konten itu disediakan oleh pihak di luar perusahaan platform, termasuk perusahaan pers konvensional itu sendiri.
Seluruh mekanisme traffic berlangsung akibat pengaturan, yang dalam operasionalnya dijalankan oleh algoritma mesin platform. Sehingga tak heran “berita penting” bisa kalah trending dibanding “berita disukai”. Viral berita online berdasar rasa suka khalayak, bukan oleh derajat kepentingan informasi.
Oleh Wenseslaus Manggut dari Asosiasi Media Siber yang juga narasumber diskusi, persaingan pada pasar informasi hari ini bukan lagi “medium is the message” atau “content is the king”, melainkan “traffic is the king”. Traffic jadi perhatian utama, sehingga tak heran penyempurnaan kecanggihan sistem algoritmanya jadi fokus investasi. Itu semua demi meraup iklan sebesar-besarnya, oleh perusahaan platform.
Implikasi lanjut keadaan itu, pendapat ini disampaikan penulis yang juga salah satu narasumber diskusi, akibat kecanggihan algoritma pada platform yang punya kuasa mengubah data jadi pengetahuan kebebasan khalayak memperoleh informasi, secara struktural terhalang oleh kemajuan teknologi itu sendiri.
Algoritma, menggiring konsumen pada informasi sejenis, dengan yang pernah dikonsumsinya. Ini menjebak pada keadaan yang disebut sebagai filter bubble dan echo chamber. Konsumen tak punya kuasa tentukan kebutuhan informasinya sendiri, tergiring pada realitas palsu. Seakan yang dikonsumsi, memang yang dibutuhkan, bukan arahan mesin.
Jurnalisme yang andalkan disiplin verifikasi ala media konvensional harus bersaing dengan informasi yang diproduksi dan didistribusikan platform media sosial, beserta kuasa algoritmanya. Tentu saja, informasi yang sering jauh dari kaidah jurnalisme yang logis, cover both side dan obyektif. Itu disampaikan oleh Sapto Anggoro, pendiri Tirto.id.
Namun yang istimewa, lanjut Agus Sudibyo, perusahaan platform media sosial tak tersentuh berbagai kewajiban lantaran mereka menyebut diri sebagai perusahaan teknologi. Kewajiban itu, termasuk bertanggung jawab terhadap peredaran hoaks, ujaran kebencian, aturan ketenagakerjaan maupun sistem perpajakan. Ini beda dengan perusahaan pers konvensional, yang harus tunduk pada berbagai aturan dan aneka ketentuan, termasuk sistem perpajakan. Dalam bingkai persaingan, adanya hak istimewa yang melekat, menghilangkan jaminan persaingan yang bebas.
Maka tak berlebihan jika Senator Ted Kennedy menyebut Google dan Facebook, bukanlah perusahaan. Mereka adalah negara. Mungkin pula lantaran itu, Kongres Amerika pada 29 Juli 2020, memanggil empat raksasa perusahaan teknologi, termasuk Facebook, diminta untuk memecah-mecah perusahaan. Tentunya, agar keraksasaan mereka tak menyebabkan persaingan monopolistik.
Dr Firman Kurniawan S
Pemerhati budaya dan komunikasi digital, pendiri LITEROS.org
APA hukuman yang layak diterima platform media sosial semacam Facebook, Youtube, Twitter, Whatsapps dan lainnya ketika digunakan pemilik akunnya, untuk di mendistribusikan hoaks, atau ujaran kebencian? Akibat hoaks maupun ujaran kebencian, kerusakan yang ditimbulkan di tengah masyarakat, nyata.
Tak jarang muncul kekisruhan publik, kekacauan massa, bahkan pecah perseteruan antarkelompok yang mencekam, berujung pada segregasi sosial. Contohnya yang dialami India dalam kurun April 2018, Juli 2018 dan Agustus-September 2019, puluhan nyawa warganya melayang sia-sia. Ini akibat beredarnya kabar adanya penculik anak-anak yang mencari korban di permukiman-permukiman negara itu.
Kabar yang beredar lewat platform WhatsApp itu berhasil memancing ketakutan serta kewaspadaan berlebihan masyarakat. Ini memicu terjadinya pembunuhan orang tak bersalah, lantaran punya ciri sesuai kabar yang beredar.
Lain pula yang terjadi di Brazil. Perhelatan pemilihan presiden di negara itu diwarnai membanjirnya hoaks yang diproduksi oleh masing-masing tim pemenangan para kandidat. Dukungan dan fanatisme yang terbentuk, berhasil memilah para pendukung.
Masyarakat Brazil tersegregasi secara sosial, bahkan setelah pemilu berhasil mengantarkan pemenangnya. Di Indonesia, hoaks yang lazimnya berjaringan dengan kabar kebencian, berdasar data yang teratur dirilis Kemenkominfo maupun Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) terindikasi alami peningkatan, seiring peristiwa-peristiwa politik.
Namun hoaks yang berciri kehidupan sosial lain: kesehatan, agama, relasi antar masyarakat, juga jadi warna peredarannya.
Pertanyaan pada pembuka di atas layak ditanyakan mengingat berbagai informasi yang hadir membanjir di masyarakat, untuk terdistribusi tak lepas dari media. Facebook, Youtube, Twitter, Whatsapps dan berbagai platform media sosial lainnya adalah media.
Ini artinya kedudukan berbagai platform itu, sama dengan koran, majalah, tabloid yang harus tunduk pada pengawasan yang dilakukan Dewan Pers. Atau mereka adalah media, selayaknya radio, televisi yang mesti ikuti pedoman siaran, yang digariskan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Bukan lantaran kontennya diproduksi oleh user yang bisa punya akun secara bebas, sesuai kaidah user generated content (UGC), maka platform bisa lepas dari tanggung jawab, tak dikenai kewajiban hukum.
Pada diskusi terbatas yang diadakan Kementerian PPN/Bappenas pekan lalu, bertajuk Hambatan Kebebasan Pers di Tengah Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi, salah satu narasumber, Agus Sudibyo dari Dewan Pers menyoroti berbagai kenikmatan yang seakan jadi hak melekat platform media sosial.
Lantaran semua UGC bergantung pada tersedianya platform untuk menjangkau followernya, sedangkan perusahaan platform punya kapasitas menampung berikut mendistribusikan konten di seluruh dunia, maka ini menimbulkan kuasa untuk bertindak sebagaimana perusahaan pers, sekaligus kuasa mengatur traffic-nya. Bahkan konten perusahan pers konvensional pun harus tunduk pada pengaturan perusahaan platform, ketika mendistribusikan kontennya secara online. Paradoks dari keadaan ini, perusahaan pers konvensional harus bersaing sekaligus berkawan dengan perusahaan platform.
Keadaan ini sering disebut sebagai frenemy, friend sekaligus enemy. Dalam praktiknya, frenemy berjalan dengan mempersaingkan rasa suka khalayak terhadap konten, yang uniknya konten itu disediakan oleh pihak di luar perusahaan platform, termasuk perusahaan pers konvensional itu sendiri.
Seluruh mekanisme traffic berlangsung akibat pengaturan, yang dalam operasionalnya dijalankan oleh algoritma mesin platform. Sehingga tak heran “berita penting” bisa kalah trending dibanding “berita disukai”. Viral berita online berdasar rasa suka khalayak, bukan oleh derajat kepentingan informasi.
Oleh Wenseslaus Manggut dari Asosiasi Media Siber yang juga narasumber diskusi, persaingan pada pasar informasi hari ini bukan lagi “medium is the message” atau “content is the king”, melainkan “traffic is the king”. Traffic jadi perhatian utama, sehingga tak heran penyempurnaan kecanggihan sistem algoritmanya jadi fokus investasi. Itu semua demi meraup iklan sebesar-besarnya, oleh perusahaan platform.
Implikasi lanjut keadaan itu, pendapat ini disampaikan penulis yang juga salah satu narasumber diskusi, akibat kecanggihan algoritma pada platform yang punya kuasa mengubah data jadi pengetahuan kebebasan khalayak memperoleh informasi, secara struktural terhalang oleh kemajuan teknologi itu sendiri.
Algoritma, menggiring konsumen pada informasi sejenis, dengan yang pernah dikonsumsinya. Ini menjebak pada keadaan yang disebut sebagai filter bubble dan echo chamber. Konsumen tak punya kuasa tentukan kebutuhan informasinya sendiri, tergiring pada realitas palsu. Seakan yang dikonsumsi, memang yang dibutuhkan, bukan arahan mesin.
Jurnalisme yang andalkan disiplin verifikasi ala media konvensional harus bersaing dengan informasi yang diproduksi dan didistribusikan platform media sosial, beserta kuasa algoritmanya. Tentu saja, informasi yang sering jauh dari kaidah jurnalisme yang logis, cover both side dan obyektif. Itu disampaikan oleh Sapto Anggoro, pendiri Tirto.id.
Namun yang istimewa, lanjut Agus Sudibyo, perusahaan platform media sosial tak tersentuh berbagai kewajiban lantaran mereka menyebut diri sebagai perusahaan teknologi. Kewajiban itu, termasuk bertanggung jawab terhadap peredaran hoaks, ujaran kebencian, aturan ketenagakerjaan maupun sistem perpajakan. Ini beda dengan perusahaan pers konvensional, yang harus tunduk pada berbagai aturan dan aneka ketentuan, termasuk sistem perpajakan. Dalam bingkai persaingan, adanya hak istimewa yang melekat, menghilangkan jaminan persaingan yang bebas.
Maka tak berlebihan jika Senator Ted Kennedy menyebut Google dan Facebook, bukanlah perusahaan. Mereka adalah negara. Mungkin pula lantaran itu, Kongres Amerika pada 29 Juli 2020, memanggil empat raksasa perusahaan teknologi, termasuk Facebook, diminta untuk memecah-mecah perusahaan. Tentunya, agar keraksasaan mereka tak menyebabkan persaingan monopolistik.
(dam)