Kontroversi Lonjakan Utang untuk Belanja Alutsista

Selasa, 05 Desember 2023 - 04:55 WIB
loading...
Kontroversi Lonjakan Utang untuk Belanja Alutsista
Ilustrasi: Masyudi/SINDOnews
A A A
GAK bahaya tah? Pertanyaan inilah yang melingkupi lonjakan anggaran untuk belanja alat utama sistem persenjataan (alutsista) di akhir pemerintahan Presiden Joko Widodo ini. Realitas itu pun memicu munculnya persepsi miring di balik besarnya anggaranya yang disediakan.

baca juga: Belanja Alutsista, Sri Mulyani Ungkap Pinjaman LN Kementerian Prabowo Tembus Rp384,87 Triliun

Perubahan anggaran untuk alutsista diungkapkan Menkeu Sri Mulyani Indrawati berdasar rapat bersama Menhan Prabowo Subianto . Secara spesifik, kenaikan signifikan terjadi pada belanja alutsista dari pinjaman luar negeri untuk periode 2020-2024 menjadi USD25 miliar setara Rp385 triliun (kurs Rp15.400 per dolar AS) dari anggaran USD20,75 miliar yang telah disetujui sebelumnya. Dengan demikian,kenaikan yang terjadi sebesar USD4 miliar atau setara dengan Rp61,58 triliun.

Kondisi ini pun menegaskan Kemenhan sebagai salah satu pengelola anggaran jumbo dalam APBN.Pada 2023, misalnya, kementerian yang dipimpin Prabowo Subianto itu menerima anggaran pertahanan dan keamanan senilai Rp316 triliun. Sementara dalam APBN 2024, Sri Mulyani menyisihkan Rp331,9 triliun untuk hukum dan hankam, termasuk di dalamnya untuk pengamanan Pemilu 2024.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia menyebut kenaikan anggaran baik dari sisi DIPA maupun pinjaman luar negeri selaras dengan kebutuhan sesuai kondisi alutsista, peningkatan ancaman dan peningkatan dinamika geopolitic dan geosecurity. Kenaikan anggaran pun diklaim sesuai dengan perancanaan penganggaran jangka panjang.

Prabowo Subianto yang dikonfirmasi usai penyerahan helikopter angkut berat Airbus H225M kepada TNI AU di Lanud Atang Sendjaja Bogor (01/12) menandaskan anggaran pertahanan 2024 perlu naik karena negara harus siap dan proses penguatan negara tidak bisa dilakukan secara instan. Ditegaskan, hukum alam menunjukkan negara yang tidak siap akan ditekan, ditindas, di-black mal dan sebagainya. ‘’Tidak berarti bahwa kita harus selalu mengandalkan suatu harapan,forecasting, kita akan damai terus. Dalam masalah pertahanan yang paling penting adalah kesiapan,readiness," katanya.

Walaupun penjelasan bisa dipahami, berbagai kritikan tetap saja tak terelakan. Kritik di antaranya disampaikan Peneliti Senior Imparsial Al Araf. Menurut dia, kenaikan anggaran tanpa diserta transparansi sangat rwan penyimpangan. Apalagi, hal tersebut terjadi di tengah masa kampanye Pemilu dan Pilpres 2024.

Di sisi lain, ketua badan pengurus Centra Initiative ini juga mempertanyakan efektivitas penggunaan anggaran di akhir masa di masa akhir pemerintahan Jokowi. Dalam pandangannya, akan sulit melakukan kontrak belanja alutsista dalam waktu kurang dari setahun ini. Kalaupun ada, Kemenhan hanya bisa menyelesaikan kontrak yang telah dilakukan sebelumnya.

baca juga: Memborong Alutsista, Indonesia dalam Ancaman Perang?

Fakta-fakta yang muncul di ruang publik tersebut mencerminkan adanya kontroversi dalam kebijakan pemerintah perihal anggaran pertahanan. Lantas bagaimana masyarakat menyikapi pro-kontra yang terjadi dengan kaca mata seobjektif mungkin?

Kebutuhan Militer Kuat

Seperti digariskan dalam UU No 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, pertahanan negara adalah salah satu fungsi pemerintahan negara untuk mewujudkan satu kesatuan pertahanan negara guna mencapai tujuan nasional. Dalam Preambule UUD 1945, tujuan nasional adalah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Terwujudnya pertahanan negara tentu membutuhkan militer yang kuat. Seperti menjadi pegagangan Global Fire Power (GFP)dalam memberi peringkat kekuatan militer negara-negara di dunia, indikator utama yang digunakan untuk menyusun indeks kekuatan militer suatu negara antara lain meliputi jumlah senjata yang dimiliki, keberagaman senjata, sumber daya manusia, dan keuangan yang stabil. Semakin kecil nilai Power Index (PwrIndx) maka semakin tinggi kekuatan militernya.

Berdasar parameter tersebut, kekuatan alutsista-baik secara kualitas maupun kelengkapan jenisnya, merupakan prasyarat penting terwujudnya kekuatan militer. Kepemilikan militer terhadap alutsista mumpuni menjadi deterrence effect dari ancaman yang muncul dari suatu negara.

Kesadaran suatu negara membangun kekuatan militer pun searah dengan falsafah ci vis pacem parabellum: Siapa yang menginginkan perdamaian, maka dia harus siap perang. Mustahil suatu negara bisa menghadirkan ketentraman untuk diri dan rakyatnya, serta mencapai kepentingan nasionalnya bila militernya tidak memiliki kapasitas cukup untuk menggaransi pertahanan negaranya.

Kiranya, berangkat dari pemahaman itulah Prabowo menegaskan urgensi Indonesia meningkatkan anggaran pertahanan karena proses penguatan tidak dilakukan secara bimsalabim. Apalagi di sisi lain negeri ini tidak bisa berharap relasi antar-negara di dunia akan selamanya damai. Perang Rusia vs Ukraina dan serangan membabi buta yang dilakukan Israel ke Jalur Gaza menegaskan kondisi tersebut. Karena itulah, menurutnya kesiapan militer untuk menghadapi situasi apapun merupakan unsur terpenting pertahanan.

Dalam menyiapkan pertahanan, termasuk di dalamya belanja alutsista, Indonesia sudah memiliki konsep yang disebut minimum essential force (MEF) yang tahun ini menginjak tahun terakhir periode ketiga atau MEF III 2019-2024. Sebagai informasi, penyelenggaraan pembangunan MEF TNI dilaksanakan melalui empat strategi yang meliputi revitalisasi, rematerialisasi, relokasi, dan pengadaan.

baca juga: Belajar dari Turki Membangun Kemandirian Alutsista

Pemenuhan MEF perlu dilakukan mengingat kondisi alutsista TNI saat ini memiliki rata-rata usia pakai 25-40 tahun. Usia tersebut menjadi indikator bahwa teknologi alutsista TNI sebagian besar usang dan akan sangat sulit bila harus merespons tantangan peperangan modern.Pemenuhan MEF berpengaruh signifikan terhadap gelar kekuatan TNI dalam menangkal berbagai ancaman, terutama dari eksternal.

Berdasar sejumlah data, pada MEF III ini pemerintah memiliki target kuantitatif untuk tiga matra. Target dimaksud yakni TNI AD memiliki 723.564 unit senjata ringan, meriam/roket/rudal (1.354), kendaraan tempur (3.758), dan pesawat terbang (224). Kemudian TNI AL ditargetkan dilengkapi 128 unit KRI, kapal selam (8), pesawat udara (100), dan kendaraan tempur (978). Selanjutnya untuk TNI AU direncanakan memiliki 344 unit pesawat, radar (32), rudal (72), dan penangkis serangan udara (64).

Di era Prabowo, orientasi akuisisi alutsista beralih ke pendekatan kualiatif. Indikasinya terlihat dari rencana belanja alutsista kelas kakap, termasuk pembelian pesawat tempur kelas berat Rafale sebanyak 48 unit dari Prancis. Pembelian ini dipastikan tidak akan berhenti dengan target yang sudah terungkap ke publik kapal selam, kapal fregat, pesawat intai, pesawat tempur, hingga sistem pertahana udara.

Antara Ketidakpercayaan dan Transparansi

Sebenarnya, kenaikan anggaran belanja alutsista dari pinjaman luar negeri sebesar Rp61,58 triliun sangat bisa dipahami. Dalam konteks kondisi alutsista dan target pemenuhan seperti ditetapkan MEF 2019-2024 misalnya, hinggal awal 2023 ini pemenuhannya baru mencapai 65,06%. Perinciannya, TNI AD sebesar 77,38%, TNI AL (66,29%), TNI AU 51,51%. Dari data tersebut, bisa dikatakan pemenuhan kebutuhan ideal masih jauh dari harapan.

Di sisi lain, dinamika geopolitik global yang berkembang saat ini menegaskan meningkatnya turbulensi ancaman real yang langsung atau tidak langsung harus dihadapi Indonesia. Dinamika dimaksud antara lain agresivitas China terkait klaim wilayah di Laut China Selatan-di antaranya bersinggungan dengan batas wilayah NKRI; serta munculnya aliansi AUKUS yang melibatkan Amerika Serikat, Inggris dan Australia yang diarahkan untuk membendung pergerakan China di kawasan Indo-Pasifik.

Karena itulah, tak heran banyak negara di dunia berlomba-lomba meningkatkan anggaran belanja pertahanan mereka.Berdasar data SIPRI pada 2022, tercatat adanya lonjakan tahunan sebesar 3,7% di sektor belanja anggaran pengeluaran militer di seluruh dunia. Angka ini menandai rekor tertinggi sepanjang masa dan seiring tren pembelian senjata dan perlombaan kekuatan bersenjata (arm race) yang terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Kondisi ini ironis karena kondisi ekonomi global sedang tidak baik-baik saja.

baca juga: Galangan Kapal Swasta Terdepan Dorong Kemandirian Alutsista

Data SIPRI juga menunjukkan beberapa negara yang menonjol dalam peningkatan belanja alutsista, seperti Cina (63%), India (47%), dan Israel (26%). Dari semua negara di dunia, Amerika Serikat pada 2022 tetap menjadi pemegang anggaran pertahanan terbesar di dunia, yaitu mencapai $877 miliar (Rp13 kuadriliun) atau sekitar 39% dari pengeluaran militer global. Di belakangnya ada China yang menggelontorkan anggaran $292 miliar (sekitar Rp4,3 kuadriliun)untuk belanja militer.

Demi memenuhi target MEF dan merespons dinamika tantangan geopolitics, pemerintah berkejaran dengan waktu untuk melakukan belanja militer yang terbilang besar-besaran. Beberapa program akuisisi yang sudah berlangsung antara pembangunan kapal Fregat Merah Putih hasil kerja sama dengan Babcock Inggris dengan PT PAL Surabaya, pembelian 5 unit pesawat C-130J-30 Super Hercules, pembelian 2 unit pesawat angkut militer Airbus A400M.Prabowo yakin A400M, pembelian pesawat tempur Rafale, dan beberapa jenis alutsista lainnya.

Di luar itu masih ada sejumlah negosiasi akuisisi alutista yang tengah berlangsung seperti pembelian 36 jet tempur F-15EX baru,pengadaan 12 unit pesawat nirawak Unmanned Aerial Vehicle (UAV) Anka dari Turkish Aerospace, rencana pembelian rudal balistik KHAN dari Turki untuk pertahanan udara, rencana memborong kapal tempur FREMM/OPV dari Italia, kerjasama pembangunan kapal selam dengan NAVAL Prancis/ Thyssen-Krupp Marine Systems (tkMS) Jerman. Tak kalah penting untuk mendapat perhatian adalah pembayaran kerja sama pembangunan pesawat temur Boromae dengan Korea Selatan.

Walaupun bisa dipahami, langkah menaikkan anggaran belanja alutsista dari pinjaman luar negeri memancing sorotan. Mengapa? Muncul kekhawatiran dana sebesar itu menjadi bagian pencarian pendanaan kepentingan politik. Kecurigaan ini bisa dimaklumi mengingat pertarungan politik pada Pemilu dan Pilpres 2024 tinggal menghitung hari. Dalam kontestansi politik ini Prabowo tampil sebagai salah satu kandidat calon presiden.

Suasana menjadi runyam akibat ketidakpercayaan publik terhadap Prabowo dalam mengelola keuangangan negara. Kondisi demikian di antaranya sebagai dampak kegagalan proyek Food Estate pada 2021-2022 di Kalimantan yang dipegang Prabowo dengan alokasi anggaran Rp1,5 triliun, dan munculnya kontroversi pembelian pesawat tempur Mirage 2000-5 bekas dari Qatar yang dianggarkan dana sebesar Rp11,8 triliun.

Lantas, sikap seperti apa yang harus diambil? Akuisisi alutsista canggih untuk memperkuat otot-otot militer Indonesia harus dilakukan. Namun Kemenhan, terutama Prabowo, harus bisa menjawab ketidakpercayaan masyarakat dengan menjaga amanah yang diberikan. Caranya tidak lain dengan benar-benar memanfaatkan anggaran yang diberikan untuk kepentingan negara, bukan untuk kepentingan politik. Di sisi lain, meskipun kepercayaan masyarakat pada lembaga negara seperti BPK dan KPK berada pada titik nadir terendah, pengawasan serius harus dilakukan agar uang yang diperoleh dari utang tersebut tidak diselewengkan dan hanya menjadi beban negara. (*)
(hdr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1469 seconds (0.1#10.140)