Kontroversi Lonjakan Utang untuk Belanja Alutsista
loading...
A
A
A
Di era Prabowo, orientasi akuisisi alutsista beralih ke pendekatan kualiatif. Indikasinya terlihat dari rencana belanja alutsista kelas kakap, termasuk pembelian pesawat tempur kelas berat Rafale sebanyak 48 unit dari Prancis. Pembelian ini dipastikan tidak akan berhenti dengan target yang sudah terungkap ke publik kapal selam, kapal fregat, pesawat intai, pesawat tempur, hingga sistem pertahana udara.
Antara Ketidakpercayaan dan Transparansi
Sebenarnya, kenaikan anggaran belanja alutsista dari pinjaman luar negeri sebesar Rp61,58 triliun sangat bisa dipahami. Dalam konteks kondisi alutsista dan target pemenuhan seperti ditetapkan MEF 2019-2024 misalnya, hinggal awal 2023 ini pemenuhannya baru mencapai 65,06%. Perinciannya, TNI AD sebesar 77,38%, TNI AL (66,29%), TNI AU 51,51%. Dari data tersebut, bisa dikatakan pemenuhan kebutuhan ideal masih jauh dari harapan.
Di sisi lain, dinamika geopolitik global yang berkembang saat ini menegaskan meningkatnya turbulensi ancaman real yang langsung atau tidak langsung harus dihadapi Indonesia. Dinamika dimaksud antara lain agresivitas China terkait klaim wilayah di Laut China Selatan-di antaranya bersinggungan dengan batas wilayah NKRI; serta munculnya aliansi AUKUS yang melibatkan Amerika Serikat, Inggris dan Australia yang diarahkan untuk membendung pergerakan China di kawasan Indo-Pasifik.
Karena itulah, tak heran banyak negara di dunia berlomba-lomba meningkatkan anggaran belanja pertahanan mereka.Berdasar data SIPRI pada 2022, tercatat adanya lonjakan tahunan sebesar 3,7% di sektor belanja anggaran pengeluaran militer di seluruh dunia. Angka ini menandai rekor tertinggi sepanjang masa dan seiring tren pembelian senjata dan perlombaan kekuatan bersenjata (arm race) yang terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Kondisi ini ironis karena kondisi ekonomi global sedang tidak baik-baik saja.
baca juga: Galangan Kapal Swasta Terdepan Dorong Kemandirian Alutsista
Data SIPRI juga menunjukkan beberapa negara yang menonjol dalam peningkatan belanja alutsista, seperti Cina (63%), India (47%), dan Israel (26%). Dari semua negara di dunia, Amerika Serikat pada 2022 tetap menjadi pemegang anggaran pertahanan terbesar di dunia, yaitu mencapai $877 miliar (Rp13 kuadriliun) atau sekitar 39% dari pengeluaran militer global. Di belakangnya ada China yang menggelontorkan anggaran $292 miliar (sekitar Rp4,3 kuadriliun)untuk belanja militer.
Demi memenuhi target MEF dan merespons dinamika tantangan geopolitics, pemerintah berkejaran dengan waktu untuk melakukan belanja militer yang terbilang besar-besaran. Beberapa program akuisisi yang sudah berlangsung antara pembangunan kapal Fregat Merah Putih hasil kerja sama dengan Babcock Inggris dengan PT PAL Surabaya, pembelian 5 unit pesawat C-130J-30 Super Hercules, pembelian 2 unit pesawat angkut militer Airbus A400M.Prabowo yakin A400M, pembelian pesawat tempur Rafale, dan beberapa jenis alutsista lainnya.
Di luar itu masih ada sejumlah negosiasi akuisisi alutista yang tengah berlangsung seperti pembelian 36 jet tempur F-15EX baru,pengadaan 12 unit pesawat nirawak Unmanned Aerial Vehicle (UAV) Anka dari Turkish Aerospace, rencana pembelian rudal balistik KHAN dari Turki untuk pertahanan udara, rencana memborong kapal tempur FREMM/OPV dari Italia, kerjasama pembangunan kapal selam dengan NAVAL Prancis/ Thyssen-Krupp Marine Systems (tkMS) Jerman. Tak kalah penting untuk mendapat perhatian adalah pembayaran kerja sama pembangunan pesawat temur Boromae dengan Korea Selatan.
Walaupun bisa dipahami, langkah menaikkan anggaran belanja alutsista dari pinjaman luar negeri memancing sorotan. Mengapa? Muncul kekhawatiran dana sebesar itu menjadi bagian pencarian pendanaan kepentingan politik. Kecurigaan ini bisa dimaklumi mengingat pertarungan politik pada Pemilu dan Pilpres 2024 tinggal menghitung hari. Dalam kontestansi politik ini Prabowo tampil sebagai salah satu kandidat calon presiden.
Antara Ketidakpercayaan dan Transparansi
Sebenarnya, kenaikan anggaran belanja alutsista dari pinjaman luar negeri sebesar Rp61,58 triliun sangat bisa dipahami. Dalam konteks kondisi alutsista dan target pemenuhan seperti ditetapkan MEF 2019-2024 misalnya, hinggal awal 2023 ini pemenuhannya baru mencapai 65,06%. Perinciannya, TNI AD sebesar 77,38%, TNI AL (66,29%), TNI AU 51,51%. Dari data tersebut, bisa dikatakan pemenuhan kebutuhan ideal masih jauh dari harapan.
Di sisi lain, dinamika geopolitik global yang berkembang saat ini menegaskan meningkatnya turbulensi ancaman real yang langsung atau tidak langsung harus dihadapi Indonesia. Dinamika dimaksud antara lain agresivitas China terkait klaim wilayah di Laut China Selatan-di antaranya bersinggungan dengan batas wilayah NKRI; serta munculnya aliansi AUKUS yang melibatkan Amerika Serikat, Inggris dan Australia yang diarahkan untuk membendung pergerakan China di kawasan Indo-Pasifik.
Karena itulah, tak heran banyak negara di dunia berlomba-lomba meningkatkan anggaran belanja pertahanan mereka.Berdasar data SIPRI pada 2022, tercatat adanya lonjakan tahunan sebesar 3,7% di sektor belanja anggaran pengeluaran militer di seluruh dunia. Angka ini menandai rekor tertinggi sepanjang masa dan seiring tren pembelian senjata dan perlombaan kekuatan bersenjata (arm race) yang terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Kondisi ini ironis karena kondisi ekonomi global sedang tidak baik-baik saja.
baca juga: Galangan Kapal Swasta Terdepan Dorong Kemandirian Alutsista
Data SIPRI juga menunjukkan beberapa negara yang menonjol dalam peningkatan belanja alutsista, seperti Cina (63%), India (47%), dan Israel (26%). Dari semua negara di dunia, Amerika Serikat pada 2022 tetap menjadi pemegang anggaran pertahanan terbesar di dunia, yaitu mencapai $877 miliar (Rp13 kuadriliun) atau sekitar 39% dari pengeluaran militer global. Di belakangnya ada China yang menggelontorkan anggaran $292 miliar (sekitar Rp4,3 kuadriliun)untuk belanja militer.
Demi memenuhi target MEF dan merespons dinamika tantangan geopolitics, pemerintah berkejaran dengan waktu untuk melakukan belanja militer yang terbilang besar-besaran. Beberapa program akuisisi yang sudah berlangsung antara pembangunan kapal Fregat Merah Putih hasil kerja sama dengan Babcock Inggris dengan PT PAL Surabaya, pembelian 5 unit pesawat C-130J-30 Super Hercules, pembelian 2 unit pesawat angkut militer Airbus A400M.Prabowo yakin A400M, pembelian pesawat tempur Rafale, dan beberapa jenis alutsista lainnya.
Di luar itu masih ada sejumlah negosiasi akuisisi alutista yang tengah berlangsung seperti pembelian 36 jet tempur F-15EX baru,pengadaan 12 unit pesawat nirawak Unmanned Aerial Vehicle (UAV) Anka dari Turkish Aerospace, rencana pembelian rudal balistik KHAN dari Turki untuk pertahanan udara, rencana memborong kapal tempur FREMM/OPV dari Italia, kerjasama pembangunan kapal selam dengan NAVAL Prancis/ Thyssen-Krupp Marine Systems (tkMS) Jerman. Tak kalah penting untuk mendapat perhatian adalah pembayaran kerja sama pembangunan pesawat temur Boromae dengan Korea Selatan.
Walaupun bisa dipahami, langkah menaikkan anggaran belanja alutsista dari pinjaman luar negeri memancing sorotan. Mengapa? Muncul kekhawatiran dana sebesar itu menjadi bagian pencarian pendanaan kepentingan politik. Kecurigaan ini bisa dimaklumi mengingat pertarungan politik pada Pemilu dan Pilpres 2024 tinggal menghitung hari. Dalam kontestansi politik ini Prabowo tampil sebagai salah satu kandidat calon presiden.