Hapus Tradisi Mewah di Lembaga Peradilan

Sabtu, 08 Agustus 2020 - 07:35 WIB
loading...
Hapus Tradisi “Mewah”...
Gedung Mahkamah Agung. Foto/Koran SINDO
A A A
JAKARTA - Praktik pungutan liar (pungli) masih membayangi masyarakat pencari keadilan. Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan di bawahnya memiliki tugas berat untuk membersihkan para oknum nakal. Penangkapan penitera pengganti, hakim termasuk ketua pengadilan mengonfirmasi sistem pengawasan belum berjalan secara optimal.

Belum lama ini, MA menerbitkan Surat Edaran MA (SEMA) berisi larangan pungutan terkait pelantikan dan pembiayaan kegiatan dinas lainnya di lingkungan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Surat tersebut ditanda tangani Ketua MA Muhammad Syarifuddin pada 8 Juli 2020.

SEMA tersebut seakan memberikan warning kepada masing-masing individu di semua tingkatan lembaga peradilan harus benar-benar menjaga marwah 'Korps Cakra'. Artinya, zona integritas bukan semata di atas kertas tapi seyogyanya dimanifestasikan dengan terang dan gamblang. Sikap dan tindakan antikorupsi mesti direalisasikan secara konsisten dan berulang-ulang. Jangan pula mencoreng dengan pungutan atau segepok uang suap perkara.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango mengungkapkan sejumlah perkara suap beberapa pejabat pengadilan hingga MA ada uang suap yang digunakan untuk pelantikan ketua pengadilan, akomodasi hakim dan pegawai pengadilan saat akan hadir pelantikan, akreditasi pengadilan, renovasi pengadilan, hingga akomodasi ketua pengadilan saat akan menerima penghargaan. (Baca: MA Sesalkan Pemeriksaan Hakim, KPK: Penyelidik Kami Jelas Lebih Tahu)

Kasus di atas menunjukan adalah keinginan yang berlebihan untuk membuat acara atau pencapaian program menjadi 'wah'. “Dengan tetap mengapresiasi lahirnya SEMA tersebut, mungkin yang perlu dibangun adalah semangat perubahan. Buatlah acara pelantikan itu, capailah program yang dicanangkan, sesuai budget yang ada," ujar Nawawi.

Menurut dia, aparatur lembaga peradilan tidak perlu kebablasan dalam upaya mencapai suatu program. Semua program dan kegiatan yang dilaksanakan mestinya tetap mengacu pada anggaran yang telah tersedia. "Ada yang sangat penting juga, sebaik apapun capaian suatu program jika tidak mengacu pada 'anggaran yang tersedia', itu juga kebablasan. Tidak salah kalau banyak kalangan menyebut, jika giat program semacam itu adalah kebijakan yang koruptif," ucap Nawawi.

Sebagai mantan hakim tinggi Pengadilan Tinggi Denpasar maupun mantan ketua pada beberapa pengadilan negeri, sebenarnya kata dia ada mata anggaran untuk pelantikan di masing-masing pengadilan. Tapi mungkin pada beberapa kegiatan pelantikan tertentu di satu pengadilan yang dipandang relatif kecil. Artinya anggaran tersebut tidak sebanding dengan jumlah undangan pada saat pelantikan. (Baca juga: Lima Pelaku Pungli Saat PSBB Ditangkap Polisi)

Mantan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur ini menekankan, dalam konteks seperti itu maka yang harus dibangun seluruh jajaran pengadilan adalah semangat untuk mengikis 'praktik kebiasaan' membuat acara pelantikan itu menjadi sesuatu yang 'wah'. Kemudian, memulai dengan semangat melaksanakan acara-acara pelantikan dengan 'sederhana dan khidmat'.

Dalam berbagai kasus suap, ada beberapa oknum yang sengaja meminta sejumlah uang untuk berbagai kepentingan. Terpidana Rohadi selaku Panitera Pengganti PN Jakarta Utara misalnya. Uang suap yang diterima rencananya akan digunakan untuk biaya akomodasi tiket pesawat dan bis para hakim dan jajaran PN Jakarta Utara untuk menghadiri pelantikan mantan Ketua PN Jakarta Utara Ifa Sudewi yang diangkat menjadi Ketua PN Sidoarjo, Jawa Timur. Meskipun dalam persidangan Rohadi telah menyampaikan bantahan.

Kemudian terpidana Sudiwardono selaku Ketua Pengadilan Tinggi Manado. Uang suap yang diterima dari terpidana Aditya Anugrah Moha selaku anggota Komisi XI DPR Fraksi Golkar digunakan untuk merenovasi gedung Pengadilan Tinggi Manado serta biaya akreditasi Pengadilan Tinggi Manado.

Lantas terdakwa Lasito selaku hakim karir PN Semarang dan terpidana Bupati Jepara Achmad Marzuqi. Uang suap yang diterima Lasiro dari Marzuqi di antaranya untuk pembangunan beberapa fasilitas untuk akreditasi PN Semarang. (Baca juga: Rusia Diduga Kerahkan Sistem Rudal S-400 ke Libya)

Anggota Komisi III dari Fraksi PDIP Trimedya Panjaitan mengungkapkan, jika melihat beberapa perkara suap pengurusan perkara, maka tampak jelas ada uang suap yang dialokasikan dan dipergunakan untuk kegiatan para hakim dan pegawai pengadilan, kebutuhan renovasi gedung, kepentingan akreditasi, kebutuhan operasional lembaga peradilan, hingga kebutuhan pelantikan hakim atau pejabat lembaga peradilan. Karena itu kata dia, perkara-perkara yang pernah terungkap itu harus menjadi pelajaran dan peringatan serius. "Memang tidak gampang untuk menyelesaikan yang kayak gitu. Menurut saya ini berat dan harus perlu waktu untuk membuktikan," ujar Trimedya.

Dia menyarankan, untuk implementasi SEMA Nomor: 7 Tahun 2020 maka berbagai kegiatan yang tidak terlalu perlu baiknya dihilangkan atau ditiadakan. Misalnya turnamen tenis, turnamen golf, perayaan ulang tahun organisasi Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) hingga perlombaan sehubungan dengan perayaan hari-hari besar di antaranya peringatan 17 Agustus. "Kalau mau golf atau tenis, main sendiri aja, jangan turnamen kejuaraan," ucapnya.

Prinsipnya, Trimedya setuju SEMA. Tapi harus ada evaluasi bertahap sejauh mana tingkat pelaksanaan dan efektivitasnya. "Saya setuju dengan SEMA ini tapi harus implentatif dan konsisten dilaksanakan. Kalau ini jalan, MA bisa jadi pilot project. Spirit dari Pak Syarifuddin oke, tapi mudah-mudahan ini sudah melalui evaluasi dan perencanaan yang baik," ungkap Wakil Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR ini. (Baca juga: Ekonomi Jabar Anjlok, Ridwan Kamil Minta Belanja Rutin Dimaksimalkan)

Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah menyatakan, MA berkomitmen terus melakukan perbaikan di semua level badan peradilan hingga tingkat MA untuk memberikan pelayanan baik dan maksimal kepada masyarakat pencari keadilan. Dia membeberkan, SEMA Nomor: 7 Tahun 2020 merupakan wujud dari komitmen MA untuk perbaikan MA dan badan peradilan di bawahnya. Secara prinsip hukum, ujar Abdullah, SEMA itu bersifat prospektif atau berlaku ke depan. Dalam waktu dekat, kata dia, MA akan melakukan sosialisasi secara bertahap kepada para ketua/kepala pengadilan tingkat banding dan ketua/kepala pengadilan tingkat pertama.

"SEMA ini sebagai rambu-rambu semua pimpinan tingkat pertama dan tingkat banding agar meneladani, menjadikan MA sebagai role. Setiap ada kegiatan yang bersifat kedinasan itu harus dibiayai dari DIPA satuan kerja masing-masing. Tidak boleh ada pungutan apapun atau minta dari siapapun," tegas Abdullah.

Mantan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Malang ini menggariskan, selama ini tidak ada sepeserpun pungutan yang diminta atau ditarik dari personel MA untuk kegiatan kedinasan dan program apapun. Semua kegiatan kedinasan selalu dibebankan dan bersumber dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA). Contoh inilah yang diejawantahkan ke seluruh badan peradilan di bawah MA. "Jadi apabila kegiatan kantor, harus dibiayai dari DIPA kantor, DIPA satuan kerja. Urusan kedinasan ya dibiayai dari anggaran kedinasan. Jadi tidak boleh dibebankan kepada pribadi," ujarnya. (Lihat videonya: Melanggar Protokol Kesehatan, 31 Perkantoran Ditutup Sementara)

Abdullah menjelaskan, dalam konteks penganggaran terdapat kegiatan-kegiatan rutin yang sudah pasti alokasinya. Misalnya pemeliharaan gedung, sarana-prasarana, dan operasional pengadilan serta pegawai dan pejabat pengadilan. Ada juga kegiatan seremonial berupa pelantikan baik calon PNS menjadi PNS, panitera, panitera pengganti, juru sita, maupun hakim dan ketua pengadilan yang sudah dialokasikan anggarannya. “Nah selama ini banyak yang menyalahartikan antara pelantikan dengan syukuran. Syukuran ini kan urusan pribadi bukan kedinasan. Selama ini dicampuradukkan," paparnya.

Ketua Tim Satuan Tugas (Satgas) Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) MA ini kemudian menanggapi perkara suap pengurusan perkara terpidana Rohadi, Edy Nasution, Sudiwardono, Lasito, hingga Nurhadi Abdurachman. Abdullah mengklaim, tidak benar bahwa ada uang suap yang diminta atau diterima oleh pihak-pihak tersebut yang kemudian mengalir dan dipakai untuk kebutuhan hakim dan pegawai pengadilan. (Sabir Laluhu)
(ysw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1791 seconds (0.1#10.140)