Kinerja Belanja

Senin, 04 Desember 2023 - 11:55 WIB
loading...
Kinerja Belanja
Candra Fajri Ananda, Staf Khusus Menteri Keuangan RI. Foto/Dok. SINDOnews
A A A
Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menkeu RI

MEMASUKI penghujung tahun, ekonomi global melambat dengan ketidakpastian yang meningkat tinggi disertai divergensi pertumbuhan antarnegara yang semakin melebar. IMF memprakirakan pertumbuhan ekonomi global pada 2023 mencapai 3,0% dan melambat menjadi 2,9% pada 2024.

Akibat kondisi tersebut, harga-harga komoditi pun turut menghadapi tekanan serius akibat ketidakpastian global. Meski data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa neraca perdagangan Indonesia masih mencatatkan surplus sebesar USD3,42 miliar pada September 2023, namun aktivitas perdagangan internasional Indonesia mengalami penurunan sejalan dengan tren moderasi harga komoditas global serta perlambatan ekonomi di sejumlah negara mitra dagang utama.

Beberapa komoditas ekspor utama Indonesia seperti minyak kelapa sawit, batu bara, dan nikel mengalami penurunan yang signifikan dibandingkan tahun lalu. Ekspor nonmigas hasil industri pengolahan Januari–Oktober 2023 turun 10,30% dibandingkan periode yang sama pada 2022. Demikian juga ekspor hasil pertanian, kehutanan, dan perikanan turun 10,44% dan ekspor hasil pertambangan dan lainnya turun 20,80%.

Secara umum, perekonomian Indonesia diprakirakan tetap tumbuh baik dan berdaya tahan di di tengah ketidakpastian ekonomi global tahun depan. Hal ini karena konsumsi swasta diprediksi masih tumbuh kuat sejalan dengan keyakinan konsumen yang masih tinggi, terkendalinya inflasi, dan aktivitas terkait penyelenggaraan Pemilu.

Percepatan belanja negara terkait penyelenggaraan Pemilu serta penguatan peran APBN sebagai akselerator diharapkan dapat mendorong konsumsi Pemerintah serta menjaga daya beli masarakat. Degan berbagai tekanan yang ada, ekonomi Indonesia diperkirakan mampu bertahan ditengah perlambatan ekonomi global, walaupum masih harus tetap waspada.

APBN sebagai Mesin Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi merupakan tujuan utama bagi setiap negara, dan salah satu faktor kunci yang secara teoritis dapat memacu pertumbuhan tersebut adalah belanja, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh rumah tangga. Terkait hal ini, belanja bukan hanya sekadar pengeluaran, tetapi merupakan "injeksi" yang memberikan dorongan positif bagi perekonomian, di mana belanja tersebut memiliki efek multiplier yang signifikan.

Artinya, setiap unit uang yang diinvestasikan dalam perekonomian akan menciptakan pendapatan dan belanja tambahan. Oleh sebab itu, kebijakan ekonomi yang menggalakkan belanja, baik melalui stimulus pemerintah maupun mendorong daya beli rumah tangga, menjadi kunci untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif.

Sebagai upaya menjaga pertumbuhan ekonomi nasional di tengah ketidakpastian global, APBN mutlak diperlukan untuk tampil sebagai garda terdepan. APBN memainkan peran penting sebagai shock absorber dalam merespons ketidakpastian dan volatilitas ekonomi yang tinggi. Melalui dorongan konsumsi, baik dari pihak pemerintah maupun masyarakat.

Peningkatan belanja pemerintah yang terencana dengan cermat dapat menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang sektor-sektor vital. Di sisi lain, melalui kebijakan yang mendukung konsumsi masyarakat, seperti insentif pajak atau program stimulus ekonomi, APBN dapat menjaga daya beli masyarakat, mencegah penurunan tajam yang dapat terjadi dalam situasi ekonomi sulit.

Artinya, dengan menjalankan peran ganda sebagai pendorong konsumsi pemerintah dan pelindung daya beli masyarakat, APBN bukan hanya sekadar alat keuangan, namun juga instrumen dinamis yang dapat membantu menciptakan kestabilan ekonomi dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.

Saat ini, kinerja APBN sampai dengan triwulan III - 2023 masih terjaga positif meskipun pada sisi pendapatan maupun belanja pemerintah perlu optimalisasi. Pada sisi pendapatan, saat ini pendapatan negara menunjukkan tren perlambatan meski masih tumbuh positif 3,1% dengan realisasi mencapai Rp2.035,6 triliun atau 82,6% dari target APBN.

Begitu juga pada sisi belanja, data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa realisasi belanja negara hingga akhir Oktober 2023 sebesar Rp2.240,8 triliun, setara 73,2% dari alokasi pagu anggaran belanja. Serapan itu mengalami penurunan 4,7% dibanding periode yang sama pada 2022.

Realisasi belanja negara itu terdiri dari belanja pemerintah pusat yang tercatat Rp1.572,2 triliun, setara 70% dari pagu anggaran, lebih rendah 5,6% dari realisasi di Oktober 2022. Selain itu, penyerapan anggaran belanja yang belum optimal tak hanya terjadi pada anggaran pemerintah pusat.

Realisasi belanja APBD juga mengalami hal yang sama. Hingga Oktober 2023, realisasi belanja APBD baru mencapai Rp811,70 triliun, atau 63,5% dari pagu tersedia sebesar Rp1.278,15 triliun. Serapan belanja APBD terbesar terjadi pada belanja pegawai.

Data Kemenkeu menunjukkan realisasi belanja pegawai pada APBD mencapai Rp304,45 triliun, lebih tinggi 2,6% dari serapan di periode yang sama pada 2022 senilai Rp296,72 triliun.

Sinkronisasi Belanja Pusat dan Daerah
Sinkronisasi belanja APBN dan APBD merupakan kunci utama dalam upaya penguatan ekonomi dalam negeri. Artinya, kolaborasi yang sinergis antara pemerintah pusat dan daerah di dalam penyusunan dan pelaksanaan anggaran diperlukan dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang seimbang dan berkelanjutan.

Koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam perencanaan dan pelaksanaan anggaran dapat menciptakan sinergi yang mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Melalui sinkronisasi tersebut, prioritas pembangunan nasional dapat diintegrasikan dengan kebutuhan lokal, memastikan bahwa alokasi dana telah mencerminkan kebutuhan riil masyarakat di berbagai daerah.

Selain itu, keterlibatan aktif pemerintah daerah dalam pengelolaan anggaran juga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi lokal, terutama sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

Adanya sinkronisasi belanja antara pemerintah pusat dan daerah akan menjadi langkah strategis yang dapat memberikan perlindungan bagi UMKM, terutama yang menampung banyak tenaga kerja. Hal ini karena dalam upaya melindungi UMKM, perlu adanya kebijakan protektif yang mendukung keberlanjutan UMKM tersebut, terutama di tengah situasi ekonomi global yang tak pasti.

Selain itu, salah satu aspek lainnya yang dapat diperkuat adalah akses terhadap kredit yang murah. Ketersediaan dana dengan suku bunga yang bersaing dapat membantu UMKM untuk mengatasi tantangan finansial dan mengembangkan bisnis mereka. Langkah ini akan memberikan keberlanjutan finansial bagi UMKM, sehingga mereka dapat terus berkontribusi pada peningkatan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi setempat.

Lebih lanjut, bantuan teknologi juga menjadi hal yang penting untuk terus didorong pemerintah. Melalui penyediaan pelatihan dan bantuan teknologi, UMKM dapat meningkatkan efisiensi operasional mereka dan lebih mudah beradaptasi dengan perkembangan pasar.

Secara umum, penetrasi pasar yang lebih baik akan dapat membuka peluang baru bagi UMKM untuk bersaing dan berkembang, bahkan di tengah ketidakpastian kondisi ekonomi global. Artinya, dengan sinkronisasi belanja pusat dan daerah yang mengarah pada kebijakan protektif, kredit yang terjangkau, dan bantuan teknologi, pemerintah dapat menciptakan lingkungan yang mendukung bagi pertumbuhan UMKM.

Hal ini bukan hanya akan melindungi pekerjaan yang ada, tetapi juga memberikan dorongan bagi UMKM untuk menjadi motor penggerak ekonomi lokal yang lebih kuat dan berdaya saing. Semoga.
(poe)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2097 seconds (0.1#10.140)