Kritisi Kebebasan berpendapat, LBH Sebut Demokrasi Indonesia Jauh dari Ideal
loading...
A
A
A
JAKARTA - Demokrasi yang dijalankan Indonesia hari ini dinilai jauh dari ideal. Hal itu ditandai sebagian masyarakat yang merasa takut mengemukakan pendapat .
Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana menjelaskan dalam sebuah negara demokrasi, kebebasan berpendapat sangat penting. Sebab, prinsip demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Masyarakat berhak berbicara agar kepentingannya didengar dan kebutuhannya dipenuhi oleh penguasa.
Kebebasan berpendapat sejatinya dijamin dan dilindungi sebagai fondasi dari demokrasi. Namun kenyataan hari ini, sikap-sikap aparat, undang-undang yang berlaku seperti UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), UU KUHP, justru membelenggu suara rakyat dan antikritik.
"Jika kita membaca hasil dari Indikator Politik, 60-70% masyarakat Indonesia mereka takut untuk berpendapat. Tidak percaya pemerintah bisa menerima kritik. Wajar kalau indeks demokrasi di Indonesia terjun bebas," ujar Arif dalam keterangannya, Sabtu (2/12/2023).
Intimidasi dan tekanan dialami orang-orang yang mengkritisi pemerintah. "Represi bukan hanya fisik, tetapi bisa juga di-bully, offline-online, akunnya bisa dibajak. Lebih besar ancamannya. Dan ini tidak sesuai dengan prinsip demokrasi," katanya.
Arif menilai sekarang ini hukum justru dijadikan alat untuk melegitimasi praktik penyalahgunaan wewenang. Dia mencontohkan penggunaan aparat pemerintah seperti aparatur sipil negara (ASN), TNI-Polri, termasuk aparat desa dalam kampanye.
"Padahal mereka tidak boleh ikut politik praktis, berkampanye. Ketika kemudian mereka dimanfaatkan untuk melabrak aturan, itu jelas penyalahgunaan wewenang, tidak sesuai prinsip demokrasi. Tidak fair," jelasnya.
Dengan begitu banyak penyelewengan, Arif sulit untuk percaya bahwa pemilu kita ke depan akan berlangsung jujur dan adil (Jurdil).
Sementara itu, Direktur Imparsial Gufron Mabruri menilai suasana kebatinan masyarakat tengah sensitif dengan isu demokrasi. Hal itu muncul ketika ada berbagai pelarangan yang menghambat kebebasan masyarakat sipil untuk bersuara dan menyampaikan pendapat.
"Saya kira ini suasana kebatinan yang dirasakan oleh masyarakat sipil, misalnya ada kasus pelarangan diskusi, pencegahan beberapa orang yang ingin diskusi di kampus karena ada intervensi kekuasaan, kemudian beberapa kawan yang mengkritik pejabat publik dilaporkan ke polisi, bahkan ada yang menghadapi proses hukum," katanya.
Gufron menyoroti beberapa kasus yang dialami Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti yang kini berhadapan dengan hukum dalam kasus dugaan pencemaran nama baik. Bahkan yang terbaru Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) Melki Sedek Huang juga dikabarkan menerima intimidassi akibat mengkritik Putusan MK Nomor 90.
"Saya kira itu beberapa tanda yang dirasakan masyarakat dari menurunnya kebebasan sebagai cerminan dari demokrasi yang mengalami regresi," paparnya.
Berbagai kejadian itu juga dinilai menjadi potret yang secara induktif menggambarkan situasi umum hari ini. Kebebasan di ruang publik untuk kritis, berekspresi, berorganisasi, berdiskusi itu menghadapi dinamika politik elite yang anti terhadap kebebasan.
Gufron menilai kondisi dan situasi demokrasi di Indonesia tengah mengalami kemunduran serius, terutama di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurutnya, kemunduran demokrasi Indonesia semakin nyata saat Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan atas perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait batas usia capres dan cawapres yang dinilai melanggengkan politik dinasti.
"Demokrasi Indonesia mengalami de-konsolidasi, regresi. Indikatornya banyak. Puncak dari kemunduran itu salah satunya ditandai dengan politik dinasti yang dimuluskan lewat Putusan MK Nomor 90," katanya.
Bahkan jauh sebelum Putusan MK muncul, publik juga sudah dihantui ketakutan untuk berbicara kritis di ruang publik.
"Sebelumnya kan sudah banyak yang secara kritis menyoroti situasi kebebasan di ruang publik yang menurun. Orang takut untuk bicara, menyuarakan pandangan kritisnya ke pemerintah, presiden, DPR, dan elite politik. Beberapa di antaranya ada yang dilaporkan ke polisi, dikriminalisasi," jelasnya.
Gufron menyayangkan penguasa saat ini yang muncul dari mekanisme demokrasi justru menyerang demokrasi. "Padahal mereka misalnya presiden, elite politik lain yang duduk dalam kekuasaan kan mereka muncul dari mekanisme politik demokrasi. Tapi justru mereka menjadi aktor yang menyerang demokrasi, kebebasan. Tentu itu menjadi sebuah ironi," tutupnya.
Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana menjelaskan dalam sebuah negara demokrasi, kebebasan berpendapat sangat penting. Sebab, prinsip demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Masyarakat berhak berbicara agar kepentingannya didengar dan kebutuhannya dipenuhi oleh penguasa.
Kebebasan berpendapat sejatinya dijamin dan dilindungi sebagai fondasi dari demokrasi. Namun kenyataan hari ini, sikap-sikap aparat, undang-undang yang berlaku seperti UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), UU KUHP, justru membelenggu suara rakyat dan antikritik.
"Jika kita membaca hasil dari Indikator Politik, 60-70% masyarakat Indonesia mereka takut untuk berpendapat. Tidak percaya pemerintah bisa menerima kritik. Wajar kalau indeks demokrasi di Indonesia terjun bebas," ujar Arif dalam keterangannya, Sabtu (2/12/2023).
Intimidasi dan tekanan dialami orang-orang yang mengkritisi pemerintah. "Represi bukan hanya fisik, tetapi bisa juga di-bully, offline-online, akunnya bisa dibajak. Lebih besar ancamannya. Dan ini tidak sesuai dengan prinsip demokrasi," katanya.
Arif menilai sekarang ini hukum justru dijadikan alat untuk melegitimasi praktik penyalahgunaan wewenang. Dia mencontohkan penggunaan aparat pemerintah seperti aparatur sipil negara (ASN), TNI-Polri, termasuk aparat desa dalam kampanye.
"Padahal mereka tidak boleh ikut politik praktis, berkampanye. Ketika kemudian mereka dimanfaatkan untuk melabrak aturan, itu jelas penyalahgunaan wewenang, tidak sesuai prinsip demokrasi. Tidak fair," jelasnya.
Dengan begitu banyak penyelewengan, Arif sulit untuk percaya bahwa pemilu kita ke depan akan berlangsung jujur dan adil (Jurdil).
Sementara itu, Direktur Imparsial Gufron Mabruri menilai suasana kebatinan masyarakat tengah sensitif dengan isu demokrasi. Hal itu muncul ketika ada berbagai pelarangan yang menghambat kebebasan masyarakat sipil untuk bersuara dan menyampaikan pendapat.
"Saya kira ini suasana kebatinan yang dirasakan oleh masyarakat sipil, misalnya ada kasus pelarangan diskusi, pencegahan beberapa orang yang ingin diskusi di kampus karena ada intervensi kekuasaan, kemudian beberapa kawan yang mengkritik pejabat publik dilaporkan ke polisi, bahkan ada yang menghadapi proses hukum," katanya.
Gufron menyoroti beberapa kasus yang dialami Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti yang kini berhadapan dengan hukum dalam kasus dugaan pencemaran nama baik. Bahkan yang terbaru Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) Melki Sedek Huang juga dikabarkan menerima intimidassi akibat mengkritik Putusan MK Nomor 90.
"Saya kira itu beberapa tanda yang dirasakan masyarakat dari menurunnya kebebasan sebagai cerminan dari demokrasi yang mengalami regresi," paparnya.
Berbagai kejadian itu juga dinilai menjadi potret yang secara induktif menggambarkan situasi umum hari ini. Kebebasan di ruang publik untuk kritis, berekspresi, berorganisasi, berdiskusi itu menghadapi dinamika politik elite yang anti terhadap kebebasan.
Gufron menilai kondisi dan situasi demokrasi di Indonesia tengah mengalami kemunduran serius, terutama di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurutnya, kemunduran demokrasi Indonesia semakin nyata saat Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan atas perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait batas usia capres dan cawapres yang dinilai melanggengkan politik dinasti.
"Demokrasi Indonesia mengalami de-konsolidasi, regresi. Indikatornya banyak. Puncak dari kemunduran itu salah satunya ditandai dengan politik dinasti yang dimuluskan lewat Putusan MK Nomor 90," katanya.
Bahkan jauh sebelum Putusan MK muncul, publik juga sudah dihantui ketakutan untuk berbicara kritis di ruang publik.
"Sebelumnya kan sudah banyak yang secara kritis menyoroti situasi kebebasan di ruang publik yang menurun. Orang takut untuk bicara, menyuarakan pandangan kritisnya ke pemerintah, presiden, DPR, dan elite politik. Beberapa di antaranya ada yang dilaporkan ke polisi, dikriminalisasi," jelasnya.
Gufron menyayangkan penguasa saat ini yang muncul dari mekanisme demokrasi justru menyerang demokrasi. "Padahal mereka misalnya presiden, elite politik lain yang duduk dalam kekuasaan kan mereka muncul dari mekanisme politik demokrasi. Tapi justru mereka menjadi aktor yang menyerang demokrasi, kebebasan. Tentu itu menjadi sebuah ironi," tutupnya.
(kri)