Ini Pasal yang Bisa Membuat Jaksa dan Polisi Kapok Menyelingkuhi Hukum
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) memang telah mencopot Pinangki Sirna Melasari, dari jabatan Kepala Sub-Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan. Tapi kesan institusi penuntut umum membekingi jaksa “pelindung” terpidana kasus hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra, itu agak sulit untuk dibantah.
Indikasi itu muncul setelah jaksa cantik itu kembali mangkir dari panggilan Komisi Kejaksaan, Rabu kemarin (5/8). Sebelumnya Pinangki yang meniti karier di kejaksaan sejak tahun 2005 itu absen dari panggilan pertama pada 31 Juli.
Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak) Barita Simanjuntak mengatakan, Pinangki tak hadir dengan alasan sudah diperiksa oleh Jaksa Agung Muda Pengawasan. Hal itu disampaikan melalui secarik surat yang diteken oleh Bambang Sugeng Rukmono, Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan, selaku atasan Pinangki.
Kejagung juga menolak menyerahkan laporan hasil pemeriksaan (LHP) terhadap Pinangki. Kejaksaan hanya menyatakan Pinangki telah melanggar disiplin, sehingga dicopot dari jabatannya.
Dari pemeriksaan itu terungkap Pinangki telah sembilan kali ke luar negeri, antara lain ke Singapura dan Malaysia, sepanjang 2019 tanpa seizin pimpinan. Kepada tim pemeriksa, Pinangki mengaku pergi ke Singapura dan Malaysia dengan biaya sendiri. "Namun, mengenai motif, kami tidak bisa sampaikan apakah dia berobat atau jalan-jalan," kata Hari Setiyono, Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejagung. Ia juga belum bisa memastikan apakah kepergian Pinangki ke luar negeri untuk bertemu Djoko Tjandra atau tidak.
Pemeriksaan ini merupakan tindak lanjut dari pelaporan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) pada 24 Juli 2020. Laporan itu diajukan usai foto Pinangki bersama Djoko Tjandra dan pengacara Anita Kolopaking beredar di media sosial.
Betul, Pinangki sudah dijatuhi hukuman disiplin berupa pencopotan dari jabatan struktural. Tapi selaku penegak hukum, sanksi itu jelas tidak cukup. Bagaimana mungkin seorang aparat hukum yang seharusnya menjaga wibawa dan martabat hukum malah bertemu dengan seorang buronan yang selama ini dicari oleh “seluruh” masyarakat Indonesia. Apa lagi Djoko merupakan buronan yang telah 11 tahun mempermainkan hukum dan mengolok-olok wibawa hukum negara.
Pinangki patut diduga berurusan dengan Djoko dengan memperoleh imbalan. Ini wajib diusut oleh Mabes Polri.
Namun, di balik itu, boleh jadi Pinangki paham betul, menyalahgunakan jabatan sebagai jaksa tidak akan dijatuhi hukuman berat. Menurut data yang dihimpun SINDOnews sepanjang tahun 2008-2019 ada 22 orang jaksa yang tertangkap tangan menerima suap. Mereka tersebar di Kejaksaan Agung, Kejaksaan Negeri (Kejari) Tangerang, Kejari Cibinong, Kejari Praya (NTB), Kejari Jawa Barat, Kejari DI Yogyakarta, Kejari Surabaya, Kejari Lampung, Kejari Soe (NTT), Kejari Wamena, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Barat, Kejati Bengkulu, Kejati DKI, Kejati Bali, Kejati Maluku. Suap yang mereka terima berkisar Rp 100 juta-Rp 6 miliar.
Toh sanksi yang dijatuhkan terhadap mereka hanya berkisar 2,5 tahun-7 tahun penjara. Demikian halnya sanksi pidana bagi polisi. Dalam kasus pembobolan BNI yang melibatkan Maria P. Lumowa dkk, dua jenderal polisi yang mulanya berniat melindungi para tersangka hanya dihukum ringan. Kabareskrim Komisaris Jenderal Suyitno Landung hanya dijatuhi sanksi 1 tahun 6 bulan penjara. Dan Direktur Krimnal Khusus Brigadir Jenderal Samuel Ismoko dihukum 13 bulan penjara.
Perkecualian berlaku bagi jaksa Urip Tri Gunawan dan Irjen Djoko Susilo. Urip, terdakwa penerima suap Rp6,5 miliar dari Artalyta Suryani, orang kepercayaan buronan Syamsul Nursalim dihukum 20 tahun penjara. Tapi dia mendapat korting hukuman (remisi) lima tahun). Alhasil, pada pada tahun kesepuluh dia sudah berhak atas pembebasan bersyarat (telah menjalani dua pertiga hukuman). Urip ditangkap awal Maret 2008, mendapatkan pembebasan bersyarat pada 12 Mei 2017.
Akan halnya Djoko Susillo dihukum 18 tahun penjara (bekekuatan hukum tetap). Namun seperti Urip, ia tentu masih punya hak mendapatkan remisi.
Remisi bagi koruptor sebetulnya pernah diusulkan oleh Komisi Pemberantas korupsi (KPK) untuk dihapus pada tahun 2011. Namun, wacana ini tak berlanjut. Kementerian Hukum dan HAM berpendapat UU No. 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan dan Keppres no, 174 Tahun 1999 tentang Remisi masih memberi hak itu bagi narapidana.
Pendapat itu pun didukung oleh Komnas HAM yang menyatakan tidak boleh ada diskriminasi dalam memperlakukan narapidana, termasuk dalam hak mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor. Alhasil, hingga kini para tikus pemangsa uang rakyat masih punya kesempatan mendapat korting hukuman.
Pinangki, sarjana hukum lulusan Universitas Ibnu Chaldun, niscaya tahu persis hukuman di pengadilan tingkat pertama bukan harga mati. Para terdakwa masih punya peluang mendapat diskon hukuman di tingkat banding, kasasi, bahkan Peninjauan Kembali. Kalaupun harus dihukum, seperti Urip, seniornya, ia masih berhak mendapatkan remisi.
Sebenarnya sistem hukum pidana Indonesia memiliki sebuah taring yang tajam guna menggertak para aparat penegak hukum berpikir 13 kali untuk melakukan perbuatan tercela. Taring itu tak lain Pasal 52 KUHP. Pasal itu berbunyi sebagai berikut:
“Bilamana seorang pejabat karena melakukan tindak pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan tindak pidana memakai kekuasaan, kesempatan dan sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya ditambah sepertiga”.
Nah, terbongkarnya kasus pelarian Djoko Tjandra seharusnya jadi momentum untuk membongkar praktik busuk di tubuh instansi penegak hukum. Salah satu caranya, ya mereaktivasi pasal 52 KUHP yang sudah lama diabaikan. Tanpa itu, kisah tentang jaksa, polisi, hakim, bahkan pengacara nakal, masih akan terus muncul di kemudian hari.
Indikasi itu muncul setelah jaksa cantik itu kembali mangkir dari panggilan Komisi Kejaksaan, Rabu kemarin (5/8). Sebelumnya Pinangki yang meniti karier di kejaksaan sejak tahun 2005 itu absen dari panggilan pertama pada 31 Juli.
Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak) Barita Simanjuntak mengatakan, Pinangki tak hadir dengan alasan sudah diperiksa oleh Jaksa Agung Muda Pengawasan. Hal itu disampaikan melalui secarik surat yang diteken oleh Bambang Sugeng Rukmono, Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan, selaku atasan Pinangki.
Kejagung juga menolak menyerahkan laporan hasil pemeriksaan (LHP) terhadap Pinangki. Kejaksaan hanya menyatakan Pinangki telah melanggar disiplin, sehingga dicopot dari jabatannya.
Dari pemeriksaan itu terungkap Pinangki telah sembilan kali ke luar negeri, antara lain ke Singapura dan Malaysia, sepanjang 2019 tanpa seizin pimpinan. Kepada tim pemeriksa, Pinangki mengaku pergi ke Singapura dan Malaysia dengan biaya sendiri. "Namun, mengenai motif, kami tidak bisa sampaikan apakah dia berobat atau jalan-jalan," kata Hari Setiyono, Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejagung. Ia juga belum bisa memastikan apakah kepergian Pinangki ke luar negeri untuk bertemu Djoko Tjandra atau tidak.
Pemeriksaan ini merupakan tindak lanjut dari pelaporan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) pada 24 Juli 2020. Laporan itu diajukan usai foto Pinangki bersama Djoko Tjandra dan pengacara Anita Kolopaking beredar di media sosial.
Betul, Pinangki sudah dijatuhi hukuman disiplin berupa pencopotan dari jabatan struktural. Tapi selaku penegak hukum, sanksi itu jelas tidak cukup. Bagaimana mungkin seorang aparat hukum yang seharusnya menjaga wibawa dan martabat hukum malah bertemu dengan seorang buronan yang selama ini dicari oleh “seluruh” masyarakat Indonesia. Apa lagi Djoko merupakan buronan yang telah 11 tahun mempermainkan hukum dan mengolok-olok wibawa hukum negara.
Pinangki patut diduga berurusan dengan Djoko dengan memperoleh imbalan. Ini wajib diusut oleh Mabes Polri.
Namun, di balik itu, boleh jadi Pinangki paham betul, menyalahgunakan jabatan sebagai jaksa tidak akan dijatuhi hukuman berat. Menurut data yang dihimpun SINDOnews sepanjang tahun 2008-2019 ada 22 orang jaksa yang tertangkap tangan menerima suap. Mereka tersebar di Kejaksaan Agung, Kejaksaan Negeri (Kejari) Tangerang, Kejari Cibinong, Kejari Praya (NTB), Kejari Jawa Barat, Kejari DI Yogyakarta, Kejari Surabaya, Kejari Lampung, Kejari Soe (NTT), Kejari Wamena, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Barat, Kejati Bengkulu, Kejati DKI, Kejati Bali, Kejati Maluku. Suap yang mereka terima berkisar Rp 100 juta-Rp 6 miliar.
Toh sanksi yang dijatuhkan terhadap mereka hanya berkisar 2,5 tahun-7 tahun penjara. Demikian halnya sanksi pidana bagi polisi. Dalam kasus pembobolan BNI yang melibatkan Maria P. Lumowa dkk, dua jenderal polisi yang mulanya berniat melindungi para tersangka hanya dihukum ringan. Kabareskrim Komisaris Jenderal Suyitno Landung hanya dijatuhi sanksi 1 tahun 6 bulan penjara. Dan Direktur Krimnal Khusus Brigadir Jenderal Samuel Ismoko dihukum 13 bulan penjara.
Perkecualian berlaku bagi jaksa Urip Tri Gunawan dan Irjen Djoko Susilo. Urip, terdakwa penerima suap Rp6,5 miliar dari Artalyta Suryani, orang kepercayaan buronan Syamsul Nursalim dihukum 20 tahun penjara. Tapi dia mendapat korting hukuman (remisi) lima tahun). Alhasil, pada pada tahun kesepuluh dia sudah berhak atas pembebasan bersyarat (telah menjalani dua pertiga hukuman). Urip ditangkap awal Maret 2008, mendapatkan pembebasan bersyarat pada 12 Mei 2017.
Akan halnya Djoko Susillo dihukum 18 tahun penjara (bekekuatan hukum tetap). Namun seperti Urip, ia tentu masih punya hak mendapatkan remisi.
Remisi bagi koruptor sebetulnya pernah diusulkan oleh Komisi Pemberantas korupsi (KPK) untuk dihapus pada tahun 2011. Namun, wacana ini tak berlanjut. Kementerian Hukum dan HAM berpendapat UU No. 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan dan Keppres no, 174 Tahun 1999 tentang Remisi masih memberi hak itu bagi narapidana.
Pendapat itu pun didukung oleh Komnas HAM yang menyatakan tidak boleh ada diskriminasi dalam memperlakukan narapidana, termasuk dalam hak mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor. Alhasil, hingga kini para tikus pemangsa uang rakyat masih punya kesempatan mendapat korting hukuman.
Pinangki, sarjana hukum lulusan Universitas Ibnu Chaldun, niscaya tahu persis hukuman di pengadilan tingkat pertama bukan harga mati. Para terdakwa masih punya peluang mendapat diskon hukuman di tingkat banding, kasasi, bahkan Peninjauan Kembali. Kalaupun harus dihukum, seperti Urip, seniornya, ia masih berhak mendapatkan remisi.
Sebenarnya sistem hukum pidana Indonesia memiliki sebuah taring yang tajam guna menggertak para aparat penegak hukum berpikir 13 kali untuk melakukan perbuatan tercela. Taring itu tak lain Pasal 52 KUHP. Pasal itu berbunyi sebagai berikut:
“Bilamana seorang pejabat karena melakukan tindak pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan tindak pidana memakai kekuasaan, kesempatan dan sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya ditambah sepertiga”.
Nah, terbongkarnya kasus pelarian Djoko Tjandra seharusnya jadi momentum untuk membongkar praktik busuk di tubuh instansi penegak hukum. Salah satu caranya, ya mereaktivasi pasal 52 KUHP yang sudah lama diabaikan. Tanpa itu, kisah tentang jaksa, polisi, hakim, bahkan pengacara nakal, masih akan terus muncul di kemudian hari.
(rza)