Kemenkes Sebut RPP Kesehatan Memperhatikan Titik Keseimbangan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Staf Ahli Menteri Bidang Hukum Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Sundoyo mengatakan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan disusun dengan memperhatikan titik keseimbangan antarkementerian.
Sundoyo mengatakan, saat perumusan RPP Kesehatan, setidaknya ada 28 kementerian dan lembaga (K/L) yang dilibatkan dan masing-masing punya fokus spesifik misalnya kesehatan, industri, dan ketenagakerjaan. Proses koordinasi antar K/L ini masih terus berlangsung, di mana Kemenkes menargetkan RPP Kesehatan dapat rampung di akhir November ini.
"Suara-suara antarkementerian dan lembaga ini yang akan kita rumuskan bersama, dengarkan bersama sehingga rumusan di dalam pasal-pasal yang ada di RPP terkait dengan produk tembakau tadi ada keseimbangan," kata Sundoyo pada diskusi Indonesia Policy Analyst Forum seri kedua yang diselenggarakan Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia secara daring, Senin (20/11/2023).
Kemenkes sebagai pemrakarsa RPP Kesehatan melibatkan berbagai kementerian dan lembaga, dengan harapan dapat memasukkan aspirasi dan kepentingan publik untuk diakomodasi lebih lanjut. Sundoyo membenarkan ada banyak aspirasi yang diterima oleh Kemenkes dalam proses penyusunan RPP, utamanya dalam public hearing, dan tentunya akan sulit untuk menyenangkan semua pihak.
Sundoyo mengambil contoh pada pasal terkait pengamanan zat adiktif tembakau. "Misalnya kalau nanti ada kekhawatiran ada PHK massal, pasti teman-teman Kemenaker akan bersuara di situ. Ketika ini terkait dengan industri, kalau ini nanti diatur secara ketat industri memburuk, pasti nanti teman-teman industri akan bersuara. Kemenkeu dan Kemenko Ekonomi juga akan bersuara," ujar Sundoyo.
Secara konsepsi, menurut Sundoyo pengamanan zat adiktif yang ada pada RPP Kesehatan tidak berbeda jauh dengan apa yang pada PP 109 tahun 2012. Akan tetapi Sundoyo menegaskan, isi dari RPP Kesehatan harusnya sesuai dengan UU 17 Tahun 2023 karena merupakan aturan pelaksana dari UU tersebut.
“Sesuai dengan UU No 12 Tahun 2011 yang kemudian diperbarui dengan UU No 13 Tahun 2022, PP itu pada dasarnya menjalankan amanah UU. Sehingga jangan khawatir, substansi PP tidak akan bertentangan dengan UU 17 tahun 2023,” tambah Sundoyo.
Ketua Umum DPP Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia (AAKI) Trubus Rahardiansyah setuju mengenai perlunya titik keseimbangan antarsektor dalam pembahasan pengamanan zat adiktif. Hal ini berkaca pada banyak aspek, mulai dari ekonomi, kesehatan hingga politik.
"Ini memang ada ketakutan terkait dengan PHK, yang sudah disinggung oleh Pak Sundoyo. Karena kan, saat ini ada industri lain yang melakukan PHK besar-besaran, dengan alasan efisiensi. Sehingga wajar jika muncul kekhawatiran ini," kata Trubus yang mengemban jabatan sebagai Ketua Umum DPP AAKI sejak awal tahun.
Selain itu, Trubus juga menggarisbawahi momen tahun politik yang terjadi saat ini. Menurut beliau banyak petani yang tidak setuju dengan komponen RPP Kesehatan, karena khawatir akan dampaknya terhadap mata pencaharian mereka.
Trubus menyebutkan, ada sekitar 24 hingga 27 juta orang dalam ekosistem tembakau sehingga perlu adanya diskusi yang lebih matang dengan mempertimbangkan segala aspek, termasuk juga keseimbangan antarkementerian.
Sundoyo mengatakan, saat perumusan RPP Kesehatan, setidaknya ada 28 kementerian dan lembaga (K/L) yang dilibatkan dan masing-masing punya fokus spesifik misalnya kesehatan, industri, dan ketenagakerjaan. Proses koordinasi antar K/L ini masih terus berlangsung, di mana Kemenkes menargetkan RPP Kesehatan dapat rampung di akhir November ini.
"Suara-suara antarkementerian dan lembaga ini yang akan kita rumuskan bersama, dengarkan bersama sehingga rumusan di dalam pasal-pasal yang ada di RPP terkait dengan produk tembakau tadi ada keseimbangan," kata Sundoyo pada diskusi Indonesia Policy Analyst Forum seri kedua yang diselenggarakan Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia secara daring, Senin (20/11/2023).
Kemenkes sebagai pemrakarsa RPP Kesehatan melibatkan berbagai kementerian dan lembaga, dengan harapan dapat memasukkan aspirasi dan kepentingan publik untuk diakomodasi lebih lanjut. Sundoyo membenarkan ada banyak aspirasi yang diterima oleh Kemenkes dalam proses penyusunan RPP, utamanya dalam public hearing, dan tentunya akan sulit untuk menyenangkan semua pihak.
Sundoyo mengambil contoh pada pasal terkait pengamanan zat adiktif tembakau. "Misalnya kalau nanti ada kekhawatiran ada PHK massal, pasti teman-teman Kemenaker akan bersuara di situ. Ketika ini terkait dengan industri, kalau ini nanti diatur secara ketat industri memburuk, pasti nanti teman-teman industri akan bersuara. Kemenkeu dan Kemenko Ekonomi juga akan bersuara," ujar Sundoyo.
Secara konsepsi, menurut Sundoyo pengamanan zat adiktif yang ada pada RPP Kesehatan tidak berbeda jauh dengan apa yang pada PP 109 tahun 2012. Akan tetapi Sundoyo menegaskan, isi dari RPP Kesehatan harusnya sesuai dengan UU 17 Tahun 2023 karena merupakan aturan pelaksana dari UU tersebut.
“Sesuai dengan UU No 12 Tahun 2011 yang kemudian diperbarui dengan UU No 13 Tahun 2022, PP itu pada dasarnya menjalankan amanah UU. Sehingga jangan khawatir, substansi PP tidak akan bertentangan dengan UU 17 tahun 2023,” tambah Sundoyo.
Ketua Umum DPP Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia (AAKI) Trubus Rahardiansyah setuju mengenai perlunya titik keseimbangan antarsektor dalam pembahasan pengamanan zat adiktif. Hal ini berkaca pada banyak aspek, mulai dari ekonomi, kesehatan hingga politik.
"Ini memang ada ketakutan terkait dengan PHK, yang sudah disinggung oleh Pak Sundoyo. Karena kan, saat ini ada industri lain yang melakukan PHK besar-besaran, dengan alasan efisiensi. Sehingga wajar jika muncul kekhawatiran ini," kata Trubus yang mengemban jabatan sebagai Ketua Umum DPP AAKI sejak awal tahun.
Selain itu, Trubus juga menggarisbawahi momen tahun politik yang terjadi saat ini. Menurut beliau banyak petani yang tidak setuju dengan komponen RPP Kesehatan, karena khawatir akan dampaknya terhadap mata pencaharian mereka.
Trubus menyebutkan, ada sekitar 24 hingga 27 juta orang dalam ekosistem tembakau sehingga perlu adanya diskusi yang lebih matang dengan mempertimbangkan segala aspek, termasuk juga keseimbangan antarkementerian.
(cip)