Atasi Perubahan Iklim, KLHK Tekankan Sistem Registri Nasional
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terus melakukan upaya untuk mengatasi perubahan iklim. Upaya tersebut dengan menekankan Sistem Registri Nasional (SRN), metodologi, dan prinsip tata kelola karbon yang berintegritas.
Pandangan ini disampaikan oleh Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) KLHK, Laksmi Dhewanthi saat media briefing untuk meluruskan pemahaman Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) mengenai karbon dan metodologi di SRN yang dianggap belum lengkap di Jakarta, Kamis 9 November 2023.
Dijelaskan Laksmi, Sistem Registri Nasional (SRN) merupakan sistem registri yang mencatatkan berbagai aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang dilakukan seluruh pemangku kepentingan di Indonesia.
"SRN ini selain menjadi pencatatan, saat ini juga difungsikan sebagai karbon registri yang nanti mampu melakukan penelusuran pada saat diterbitkan Sertifikat Pengurangan Emisi (SPE)," kata Laksmi dalam keterangannya, Jumat (10/11/2023).
"Meski demikian, saya ingin menggarisbawahi bahwa SRN bukan semata-mata untuk melakukan perdagangan karbon. Tetapi untuk melakukan perdagangan karbon di Indonesia, atau seluruh mekanisme nilai karbon termasuk Result Based Payment, perdagangan emisi dan offset emisi harus melalui SRN," tambahnya.
Laksmi juga menekankan bahwa untuk mendorong perdagangan karbon, maka metodologi penting untuk bersama dikembangkan dalam menjaga penerapan perdagangan karbon yang transparan, berintegritas, inklusif dan adil.
Kemudian, Laksmi menyampaikan selain sosialisasi dan kerja bersama dengan berbagai macam pemangku kepentingan, KLHK juga sudah membangun Rumah Kolaborasi dan Konsultasi Iklim dan Karbon (RKKIK) yang menyediakan informasi lebih detail.
"Kami sangat senang Bapak/Ibu silahkan manfaatkan RKKIK tidak hanya untuk konsultasi, tapi untuk kolaborasi yang lebih erat dalam rangka pengendalian perubahan iklim di Indonesia," ungkapnya.
Pada kesempatan berbeda, Menteri LHK Siti Nurbaya menegaskan, dengan penjelasan ini, pernyataan APHI sebelumnya pada Seminar Internasional tentang Karbon yang mengatakan SRN Indonesia belum lengkap dan tidak bisa mereka pakai adalah tidak benar. Karena pada kenyataannya sudah ada SRN, rumah karbon, dan bursa karbon.
Menteri Siti mengatakan APHI dan semua pemegang izin PBPH harus lebih memahami aturan secara detail dan diminta untuk sosialisasikan kepada anggota-anggotanya.
"Kalau salah mengartikan akan membawa konsekuensi yang buruk terhadap sistem penyelamatan sumber daya alam Indonesia," tegas Menteri Siti.
Oleh karena itu, sekali lagi Menteri Siti menyatakan SRN sudah bisa dipakai dan diharapkan PBPH melakukan registrasi apabila akan bekerja untuk jasa lingkungan terkait karbon.
Diketahui, kehutanan menjadi sektor yang sangat diharapkan dan potensial dalam perdagangan karbon. Sektor kehutanan juga menyumbang porsi terbesar di dalam target penurunan emisi gas rumah kaca dengan kontribusi sekitar 60 persen dalam pemenuhan target netral karbon atau net-zero emission.
Oleh karena itu, melalui Indonesia's Folu Net Sink 2030, Pemerintah menargetkan tingkat serapan emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya pada tahun 2030 akan seimbang atau bahkan lebih tinggi dari tingkat emisi.
Ketua Umum APHI Indroyono Soesilo mengungkapkan, untuk mencapai target Net Sink sektor FOLU pada 2030, membutuhkan pendanaan yang diperkirakan mencapai 14 miliar dollar AS. Dari angka tersebut, 55 persen di antaranya diharapkan datang dari investasi sektor swasta.
"Saya kira arahnya ke sana ya. Jadi untuk mencapai Folu Net Sink 2030, kita harus melaksanakan aksi mitigasi maupun investasi, baik pemerintah maupun private sector, untuk itulah dibuat regulasi yang harus diikuti," kata Indroyono saat media briefing di Jakarta.
Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) Agus Justianto mengatakan, Pemerintah telah menyiapkan semua instrumennya. Oleh karena itu, pemegang PBPH juga harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan tersebut.
"Oleh karena itu, mohon bantuan dan dukungan dari kawan-kawan media untuk menyampaikan seluas-luasnya informasi kepada publik, sehingga akan ada percepatan dari sektor kehutanan untuk masuk dalam perdagangan karbon," katanya.
Lebih lanjut Agus menyampaikan kesiapan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) yang merupakan sub sektor kehutanan untuk melaksanakan perdagangan karbon.
Dirinya menyatakan bahwa instrumennya sudah tersedia termasuk metodologi yang ada di SRN, walaupun masih dimungkinkan untuk mengusulkan metodologi yang diperlukan untuk dapat digunakan oleh SRN.
"Sebagai sektor yang diharapkan mempunyai kontribusi yang paling besar yaitu hampir 60 persen dari total pengurangan emisi GRK, maka PBPH sudah mulai mempersiapkan diri bahkan mungkin paling siap untuk melaksanakan perdagangan karbon, khususnya dari segi legalitas, kinerja, rencana kerja usaha, SDM, luas wilayah aksi mitigasi, pendanaan dan lain lain," ujar Agus.
Pandangan ini disampaikan oleh Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) KLHK, Laksmi Dhewanthi saat media briefing untuk meluruskan pemahaman Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) mengenai karbon dan metodologi di SRN yang dianggap belum lengkap di Jakarta, Kamis 9 November 2023.
Dijelaskan Laksmi, Sistem Registri Nasional (SRN) merupakan sistem registri yang mencatatkan berbagai aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang dilakukan seluruh pemangku kepentingan di Indonesia.
"SRN ini selain menjadi pencatatan, saat ini juga difungsikan sebagai karbon registri yang nanti mampu melakukan penelusuran pada saat diterbitkan Sertifikat Pengurangan Emisi (SPE)," kata Laksmi dalam keterangannya, Jumat (10/11/2023).
"Meski demikian, saya ingin menggarisbawahi bahwa SRN bukan semata-mata untuk melakukan perdagangan karbon. Tetapi untuk melakukan perdagangan karbon di Indonesia, atau seluruh mekanisme nilai karbon termasuk Result Based Payment, perdagangan emisi dan offset emisi harus melalui SRN," tambahnya.
Laksmi juga menekankan bahwa untuk mendorong perdagangan karbon, maka metodologi penting untuk bersama dikembangkan dalam menjaga penerapan perdagangan karbon yang transparan, berintegritas, inklusif dan adil.
Kemudian, Laksmi menyampaikan selain sosialisasi dan kerja bersama dengan berbagai macam pemangku kepentingan, KLHK juga sudah membangun Rumah Kolaborasi dan Konsultasi Iklim dan Karbon (RKKIK) yang menyediakan informasi lebih detail.
"Kami sangat senang Bapak/Ibu silahkan manfaatkan RKKIK tidak hanya untuk konsultasi, tapi untuk kolaborasi yang lebih erat dalam rangka pengendalian perubahan iklim di Indonesia," ungkapnya.
Pada kesempatan berbeda, Menteri LHK Siti Nurbaya menegaskan, dengan penjelasan ini, pernyataan APHI sebelumnya pada Seminar Internasional tentang Karbon yang mengatakan SRN Indonesia belum lengkap dan tidak bisa mereka pakai adalah tidak benar. Karena pada kenyataannya sudah ada SRN, rumah karbon, dan bursa karbon.
Menteri Siti mengatakan APHI dan semua pemegang izin PBPH harus lebih memahami aturan secara detail dan diminta untuk sosialisasikan kepada anggota-anggotanya.
"Kalau salah mengartikan akan membawa konsekuensi yang buruk terhadap sistem penyelamatan sumber daya alam Indonesia," tegas Menteri Siti.
Oleh karena itu, sekali lagi Menteri Siti menyatakan SRN sudah bisa dipakai dan diharapkan PBPH melakukan registrasi apabila akan bekerja untuk jasa lingkungan terkait karbon.
Diketahui, kehutanan menjadi sektor yang sangat diharapkan dan potensial dalam perdagangan karbon. Sektor kehutanan juga menyumbang porsi terbesar di dalam target penurunan emisi gas rumah kaca dengan kontribusi sekitar 60 persen dalam pemenuhan target netral karbon atau net-zero emission.
Oleh karena itu, melalui Indonesia's Folu Net Sink 2030, Pemerintah menargetkan tingkat serapan emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya pada tahun 2030 akan seimbang atau bahkan lebih tinggi dari tingkat emisi.
Ketua Umum APHI Indroyono Soesilo mengungkapkan, untuk mencapai target Net Sink sektor FOLU pada 2030, membutuhkan pendanaan yang diperkirakan mencapai 14 miliar dollar AS. Dari angka tersebut, 55 persen di antaranya diharapkan datang dari investasi sektor swasta.
"Saya kira arahnya ke sana ya. Jadi untuk mencapai Folu Net Sink 2030, kita harus melaksanakan aksi mitigasi maupun investasi, baik pemerintah maupun private sector, untuk itulah dibuat regulasi yang harus diikuti," kata Indroyono saat media briefing di Jakarta.
Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) Agus Justianto mengatakan, Pemerintah telah menyiapkan semua instrumennya. Oleh karena itu, pemegang PBPH juga harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan tersebut.
"Oleh karena itu, mohon bantuan dan dukungan dari kawan-kawan media untuk menyampaikan seluas-luasnya informasi kepada publik, sehingga akan ada percepatan dari sektor kehutanan untuk masuk dalam perdagangan karbon," katanya.
Lebih lanjut Agus menyampaikan kesiapan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) yang merupakan sub sektor kehutanan untuk melaksanakan perdagangan karbon.
Dirinya menyatakan bahwa instrumennya sudah tersedia termasuk metodologi yang ada di SRN, walaupun masih dimungkinkan untuk mengusulkan metodologi yang diperlukan untuk dapat digunakan oleh SRN.
"Sebagai sektor yang diharapkan mempunyai kontribusi yang paling besar yaitu hampir 60 persen dari total pengurangan emisi GRK, maka PBPH sudah mulai mempersiapkan diri bahkan mungkin paling siap untuk melaksanakan perdagangan karbon, khususnya dari segi legalitas, kinerja, rencana kerja usaha, SDM, luas wilayah aksi mitigasi, pendanaan dan lain lain," ujar Agus.
(maf)