Ancaman Lingkungan dalam Pembangunan

Senin, 06 November 2023 - 11:42 WIB
loading...
Ancaman Lingkungan dalam...
Candra Fajri Ananda, Staf Khusus Menteri Keuangan RI. Foto/Dok. SINDOnews
A A A
Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan RI

ANOMALI iklim dan cuaca yang semakin sering terjadi, merupakan fenomena nyata bahwa telah terjadinya perubahan iklim yang sangat signifikan di semua belahan dunia (global climate change). Minggu-minggu ini hujan sudah mulai turun di beberapa wilayah, sebelumnya gelombang temperatur udara panas telah melanda, kemarau yang lebih panjang, sehingga menyebabkan krisis pangan dan mendorong kenaikan bahan pokok (terutama cabai) yang berujung naiknya inflasi.

Penebangan hutan secara liar dan tidak terkendali, penggunaan gas freon dan pestisida kimia secara berlebihan, pencemaran udara oleh pabrik maupun kendaraan bermotor, penggunaan plastik dan benda lain yang sulit terurai dalam tanah dan berbagai tindakan atau prilaku tidak peduli kepada lingkungan yang dilakukan baik secara sadar maupun tidak sadar. Alhasil, tindakan atau perilaku tersebut pun kemudian berdampak pada kenaikan suhu permukaan bumi atau pemanasan global (global warming).

Perubahan iklim seperti kita ketahui akan mempengaruhi produksi sektor pangan, yang akhirnya akan berdampak pada stabilitas makroekonomi. World Economic Forum (2021) menjelaskan bahwa total potensi penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) dunia pada tahun 2050 berkisar antara 4%-18%. Selain itu, Kementerian Keuangan (2022) juga memperkirakan bahwa Indonesia akan terkena dampak sebesar 0,66% hingga 3,45% dari PDB Indonesia pada tahun 2030 karena perubahan iklim.

Pada sektor pertanian, menurunnya kualitas, kesuburan dan daya dukung lahan, menyebabkan produktivitas hasil pertanian juga ikut menurun, begitu juga dengan ketersediaan air yang semakin terbatas dan kualitasnyapun yang semakin menurun, juga menjadi penyebab terus anjloknya produksi pertanian. Begitu pula pada Sektor perkebunan yang juga terkena dampak perubahan iklim.

Tanaman seperti kopi, teh, cokelat, dan buah-buahan tropis sangat rentan terhadap fluktuasi suhu dan curah hujan. Penurunan hasil dan kualitas produk perkebunan telah menjadi kenyataan di banyak daerah.

Tak hanya itu, di sektor perikanan juga menghadapi perubahan drastis dalam komposisi dan migrasi ikan sebagai akibat dari perubahan suhu laut. Hal tersebut berdampak langsung pada nelayan dan pasokan ikan. Beberapa spesies ikan menjadi sulit ditemui di perairan yang biasanya menjadi sumber daya penting.

Dampak Perubahan Iklim Terhadap Beban APBN
Perubahan iklim menjadi salah satu tantangan besar pembangunan nasional. Selain ketidakpastian berbagai sektor perekonomian, perubahan iklim mampu mendorong pada titik nadir pembangunan. Oleh karena itu, skema pendanaan iklim menjadi salah satu pilar yang mampu memitigasi ketidakmampuan negara dalam membiayai kerusakan dan kerugian krisis iklim.

Saat ini, pemerintah Indonesia harus mengalokasikan dana yang signifikan untuk mengatasi perubahan iklim, termasuk mitigasi (upaya mengurangi emisi gas rumah kaca) dan adaptasi (upaya beradaptasi dengan dampak perubahan iklim). Anggaran alokasi APBN diperkirakan akan terus melonjak seiring dengan makin buruknya kondisi lingkungan bumi.

Berdasarkan skenario IPCC (panel pemerintah tentang perubahan iklim) dengan level sedang, yaitu representative concentration pathway (RCP) 4,5, nilai APBN yang disalurkan naik mencapai 3,6% (USD37,1 miliar atau Rp560 triliun). Apabila dengan skenario level berat, yaitu RCP 8,5, nilai APBN yang dibelanjakan meningkat hingga 4,2% atau senilai USD44,2 miliar atau Rp667 triliun.

Adapun dari berbagai jenis bencana alam, kerugian terbesar disebabkan oleh kekeringan. Nilai kerugiannya mencapai 74% dari total kerugian tahunan secara nasional. Salah satu kekeringan paling parah terjadi pada kurun 2015-2016 saat El Nino melanda. Akibatnya, cadangan air menyusut secara drastis di sejumlah wilayah.

Banyak lahan pertanian mengalami kekeringan dan pasokan air bersih ke warga juga terganggu. Saat itu, produksi padi nasional turun hingga 11,5% atau setara 7 juta ton. Kekeringan kembali terulang pada 2019 yang menyebabkan produksi padi susut 7,8%.

Bencana kekeringan ini berdampak langsung pada kegagalan panen sehingga menurunkan produksi pangan dan mendorong kenaikan harga pangan. Implikasi jangka panjangnya dapat mengancam ketahanan pangan Indonesia.

Dewasa ini, ketahanan pangan nasional Indonesia kerapkali dihadapkan pada tantangan yang tak mudah, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Salah satu dimensi terbaru adalah perubahan iklim dan cuaca ekstrem akibat pemanasan global yang tidak terduga langsung berdampak pada ketahanan pangan nasional.

Kaitannya sekilas tampak jauh, namun sesungguhnya sangat berpengaruh. Pemanasan global menimbulkan perubahan iklim dan cuaca ekstrem. Iklim dan cuaca menjadi serba tidak pasti dan kadang berubah drastis tidak lagi mengikuti ritme iklim tropis dua musim penghujan dan musim kering, melainkan dalam ritme tumpang-tindih keduanya, hujan di musim kering, pun kering di musim hujan.

Selain kekeringan, tiga bencana lain yang berdampak signifikan adalah banjir, wabah penyakit, dan gempa bumi. Ketiganya menyumbang kerugian sekitar 16% secara nasional. Dana iklim sangat berperan penting dalam menuntaskan persoalan tersebut.

Oleh sebab itu, salah satu tujuan pemetaan tantangan terbesar itu adalah menekan dampak kehilangan secara valuasi ekonomi yang jauh lebih besar. Artinya, pemerintah perlu segera melakukan upaya mitigasi guna memperbaiki kualitas lingkungan.

Segala upaya pemerintah dalam memitigasi perubahan iklim dapat ditempuh secara optimal melalui perencanaan keuangan yang tepat. Apabila Indonesia melewatkan kesempatan memperbaiki kualitas lingkungan di tengah krisis iklim ini, ratusan triliun rupiah akan hilang.

Kajian Bappenas dalam dokumen Climate Resilience Development Policy 2020-2045 menunjukkan bahwa kerugian finansial karena krisis iklim hingga tahun 2024 mencapai Rp 544,93 triliun. Perhitungan tersebut didasarkan pada empat sektor utama, yaitu pesisir, air, pertanian, dan kesehatan.

Mitigasi Melalui Kolaborasi dan Teknologi
Demi mengurangi beban APBN yang diakibatkan oleh perubahan iklim, investasi dalam adaptasi dan mitigasi menjadi sangat penting. Adaptasi mencakup investasi dalam infrastruktur yang tahan terhadap bencana alam, pengembangan teknologi pertanian yang lebih tahan terhadap fluktuasi cuaca, hingga promosi praktik pertanian yang berkelanjutan.

Sementara itu, mitigasi dapat mencakup investasi dalam energi terbarukan, pengurangan emisi gas rumah kaca, dan pelestarian hutan sebagai penyerap karbon alam.

Di sisi lain, kolaborasi dengan negara-negara lain dan lembaga internasional dalam upaya mitigasi perubahan iklim juga perlu terus didorong guna membantu mengurangi beban APBN Indonesia. Selain itu, pemulihan ekonomi hijau, yang mendorong pertumbuhan sektor-sektor berkelanjutan seperti energi terbarukan dan pariwisata ramah lingkungan pun dapat membantu mengurangi dampak perubahan iklim pada fiskal negara.

Pada situasi yang kian mendesak, kolaborasi internasional dan dukungan untuk inovasi teknologi menjadi kunci untuk menghadapi dampak perubahan iklim. Melalui langkah-langkah proaktif dan kerja sama yang solid, Indonesia dapat mengurangi beban APBN yang disebabkan oleh perubahan iklim, seiring dengan upaya memperkuat ketahanan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan.

Demi hasil yang optimal, hal ini sangat memerlukan komitmen bersama dari pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat untuk menciptakan masa depan yang lebih tahan terhadap perubahan iklim, menjaga ketahanan pangan, dan melestarikan sumber daya alam bagi generasi mendatang untuk kesejahteraan bangsa. Semoga.
(poe)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1037 seconds (0.1#10.140)