Dokumen Perbaikan Perkara di MK Tak Ditandatangani, Pengamat UGM: Cacat Administrasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pengamat hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yance Arizona menyoroti soal dokumen perbaikan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak ditanda tangani oleh pemohon Almas Tsaqibbirru Re A dan kuasa hukumnya. Menurutnya, cacat administrasi dapat jadi refleksi lemahnya judicial governance (JG) di bawah Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman.
"Hal ini menambah daftar cacat administrasi dalam perkara No. 90/PUU-XXI/2023. Hal ini semestinya menjadi refleksi untuk melihat lemahnya judicial governance di bawah Ketua Anwar Usman," kata Yance, Jumat (3/11/2023).
Yance menegaskan kesalahan administrasi sudah semestinya tak perlu terjadi dalam penanganan perkara di MK. "Semestinya kesalahan-kesalahan administrasi tidak perlu terjadi dalam penanganan perkara di MK," ucapnya.
Sebelumnya, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Indonesia (PBHI) melampirkan bukti baru dalam sidang lanjutan laporan pelanggaran kode etik Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman Cs dalam putusan batas usia capres cawapres.
Di mana, dokumen perbaikan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut ternyata tidak ditandatangani oleh pemohon Almas Tsaqibbirru Re A dan kuasa hukumnya.
Ketua Badan Pengurus Nasional PBHI Julius Ibrani berharap agar Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) juga memeriksa dokumen tersebut.
"Kami khawatir apabila dokumen ini tidak pernah ditandatangani sama sekali, maka seharusnya dianggap tidak pernah ada perbaikan permohonan atau bahkan batal permohonannya," ujarnya dalam sidang pemeriksaan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis, 2 November 2023.
Untuk diketahui, laporan pelanggaran kode etik Anwar Usman ini bermula ketika, para hakim MK menangani perkara soal uji materiil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Tepatnya, soal batas usia Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (Capres Cawapres), dari 11 gugatan hanya 1 saja yang dikabulkan oleh MK.
"Hal ini menambah daftar cacat administrasi dalam perkara No. 90/PUU-XXI/2023. Hal ini semestinya menjadi refleksi untuk melihat lemahnya judicial governance di bawah Ketua Anwar Usman," kata Yance, Jumat (3/11/2023).
Yance menegaskan kesalahan administrasi sudah semestinya tak perlu terjadi dalam penanganan perkara di MK. "Semestinya kesalahan-kesalahan administrasi tidak perlu terjadi dalam penanganan perkara di MK," ucapnya.
Sebelumnya, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Indonesia (PBHI) melampirkan bukti baru dalam sidang lanjutan laporan pelanggaran kode etik Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman Cs dalam putusan batas usia capres cawapres.
Baca Juga
Di mana, dokumen perbaikan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut ternyata tidak ditandatangani oleh pemohon Almas Tsaqibbirru Re A dan kuasa hukumnya.
Ketua Badan Pengurus Nasional PBHI Julius Ibrani berharap agar Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) juga memeriksa dokumen tersebut.
"Kami khawatir apabila dokumen ini tidak pernah ditandatangani sama sekali, maka seharusnya dianggap tidak pernah ada perbaikan permohonan atau bahkan batal permohonannya," ujarnya dalam sidang pemeriksaan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis, 2 November 2023.
Untuk diketahui, laporan pelanggaran kode etik Anwar Usman ini bermula ketika, para hakim MK menangani perkara soal uji materiil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Tepatnya, soal batas usia Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (Capres Cawapres), dari 11 gugatan hanya 1 saja yang dikabulkan oleh MK.