ORI, Simbol Kemerdekaan Negara
loading...
A
A
A
Abdul Hofir, pegawai DJP Kemenkeu RI *
SEJAK 1000 SM (versi lain mengatakan 6000 SM), uang menjadi alat tukar dalam perekonomian menggantikan sistem barter yang telah usang dan menyulitkan. Dengan uang, seseorang menjadi mudah mendapatkan barang dan jasa yang diinginkan tanpa harus menukarnya dengan barang atau jasa lainnya.
Penggunaan uang di Indonesia baik sebelum maupun setelah kemerdekaan mengalami beberapa fase perjuangan yang sangat panjang. Pada masa Kerajaan Mataram Kuno era Syailendra, misalnya, terdapat mata uang Kupang (dicetak sekitar tahun 850 M) berbahan emas dan perak.
Beberapa masa kemudian uang Krishnala digunakan Kerajaan Jenggala di Jawa Timur, sekitar tahun 1100 M. Konon, uang Krishnala tersingkir akibat penggunaan Kepeng yang datang dari Tiongkok ke Nusantara. Era 1980-an, kita sering mendengar nama uang Kepeng dari sandiwara radio dengan lakon dan tokoh Mataram Kuno.
Uang Ma atau Masa digunakan Kerajaan Majapahit pada sekitar tahun 1200 M dan kemudian beralih ke Gobog Wayang pada 1300 M. Sementara itu, Kerajaan Pasai pada 1297 mencetak uang Dirham dengan bahan emas yang terdapat tulisan nama Sultan dengan gelar Malik az-Zahrir atau Malik at-Tahir.
Catatan Kementerian Keuangan menyebut bahwa pada masa awal kemerdekaan terdapat tiga keputusan penting yang diambil Menteri Keuangan A.A. Maramis melalui sebuah dekrit pada tanggal 29 September 1945.
Pertama, tidak mengakui hal dan wewenang pejabat pemerintahan tentara Jepang untuk menerbitkan dan menandatangani surat-surat perintah membayar uang dan lain-lain dokumen yang berhubungan dengan pengeluaran negara.
Kedua, terhitung mulai 29 September 1945, hak dan wewenang pejabat pemerintahan tentara Jepang diserahkan kepada Pembantu Bendahara Negara yang ditunjuk dan bertanggungjawab pada Menteri Keuangan.
Ketiga, kantor-kantor kas negara dan semua instansi yang melakukan tugas kas negara (kantor pos) harus menolak pembayaran atas surat perintah membayar uang yang tidak ditandatangani oleh Pembantu Bendahara Negara.
Selanjutnya, pada tanggal 1 Oktober 1945 pemerintah Indonesia menetapkan berlakunya mata uang bersama di wilayah Republik Indonesia (RI), yaitu uang De Javasche Bank, uang Hindia Belanda, dan uang Jepang.
Penulis mencoba menilik pidato Bung Karno pada tanggal 17 Agustus 1946 sebagaimana tercatat dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi (DBR) Jilid II halaman 10. Bung Karno berkata, “Di tengah nyala api, di tengah-tengah menggeledeknya meriam, di tengah-tengah menghebatnya kekacauan, kita harus menjalankan, memperlengkapi, menyempurnakan pemerintahan kita.”
“Kekalutan yang ditinggalkan oleh Jepang di atas lapangan ekonomi, bukan kepalang. Kekalutan warisan Jepang di atas lapangan keuangan, tiada hingganya. Beribu juta uang Jepang beredar di dalam Republik, dan beribu juta uang Jepang ini menghambat segala usaha untuk memulai pembersihan ekonomi.”
Penggalan pidato Presiden pertama RI di atas menggambarkan betapa beratnya perjuangan pemerintah dan bangsa Indonesia pada masa awal kemerdekaan. Bukan hanya perjuangan fisik menghadapi tentara Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia setelah Jepang menyatakan menyerah kepada Sekutu. Bahkan upaya untuk membangun ekonomi melalui penggunaan mata uang asli Indonesia menemui tantangan yang berat.
Satu tahun kemudian, pada tanggal 17 Agustus 1947 (DBR Jilid II halaman 26) Bung Karno mengatakan, “Di dalam segala pergeseran kekuatan dan percobaan yang kita deritai, untuk menempatkan Republik kita di dunia internasional, maka kemajuan tenaga di dalam, terus-menerus berjalan. Konferensi Pemuda Perbagai Bangsa dilangsungkan di Yogyakarta. Uang Republik pada tanggal 26 Oktober 1946 jam 24.00 mulai beredar, pengendalian harga dicoba dengan berbagai aturan.”
Menteri Keuangan melalui keputusan tanggal 29 Oktober 1946 menetapkan berlakunya ORI secara sah mulai 30 Oktober 1946 pukul 00.00. Jadi, sebetulnya meskipun ORI mulai beredar sejak 26 Oktober 1946, uang tersebut baru sah digunakan tanggal 30 Oktober 1946. Momen tanggal 30 Oktober inilah yang kemudian diperingati sebagai Hari Oeang Republik Indonesia (HORI).
Pada detik-detik diluncurkankannya ORI, Wakil Presiden Mohammad Hatta memberikan pidatonya pada 29 Oktober 1946 melalui Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta yang menggelorakan semangat bangsa Indonesia sebagai negara berdaulat dengan diterbitkannya mata uang ORI.
“Besok tanggal 30 Oktober 1946 adalah suatu hari yang mengandung sejarah bagi tanah air kita. Rakyat kita menghadapi penghidupan baru. Besok mulai beredar Oeang Republik Indonesia sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah.”
Bung Hatta melanjutkan,” Mulai pukul 12 tengah malam nanti, uang Jepang yang selama ini beredar sebagai uang yang sah, tidak laku lagi. Beserta uang Jepang itu ikut pula tidak laku uang Javasche Bank. Dengan ini, tutuplah suatu masa dalam sejarah keuangan Republik Indonesia. Masa yang penuh dengan penderitaan dan kesukaran bagi rakyat kita. Uang sendiri itu adalah tanda kemerdekaan Negara.”
Selain sebagai alat tukar, uang juga menunjukkan identitas suatu bangsa. Ia melambangkan kedaulatan. Setiap negara mempunyai uang yang tentunya lekat dengan sejarah bangsa itu sendiri. Hal tersebut tecermin, antara lain, melalui gambar atau lambang yang tertera dalam uang baik logam maupun kertas. Oleh karenanya, kita tentu menolak upaya merusak uang dengan maksud untuk merendahkan kehormatannya.
Pasal 25 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang menyatakan, “Setiap orang dilarang merusak, memotong, menghancurkan, dan/atau mengubah Rupiah dengan maksud merendahkan kehormatan Rupiah sebagai simbol negara.”
Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang menyatakan, "Setiap orang yang dengan sengaja merusak, memotong, menghancurkan, dan/atau mengubah Rupiah dengan maksud merendahkan kehormatan Rupiah sebagai simbol negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)."
Seiring perkembangan zaman, bentuk uang mengalami perubahan. Jika dulu kita mengenal uang kartal (seperti logam dan kertas) dan giral (misal: cek, giro, kartu kredit), kini uang bahkan sudah berbentuk elektronik. Pembayaran makin praktis dan mudah. Dari mulai urusan belanja, membayar jalan tol, hingga parkir.
Sebutlah beberapa contoh seperti seperti e money Mandiri, GoPay, OVO Cash, Brizzi, Flazz, LinkAja, ShopeePay, Paytren, iSaku, Uangku, T-Cash, dan JakOne. Nama-nama itu tentu tak asing lagi bagi kita, meskipun barangkali hanya beberapa yang kita gunakan.
Bank Indonesia (BI) melaporkan, nilai transaksi uang elektronik sebesar Rp160,47 triliun pada Juli 2023. Jumlah itu naik 4,79% dibandingkan pada bulan sebelumnya (m-to-m) yang sebesar Rp153,14 triliun (sumber: dataindonesia.id).
Meski demikian, modernisasi yang terjadi saat ini hendaknya tidak menghilangkan nilai historis uang dan mata uang negara kita. Mari kita junjung marwahnya sebagai bentuk nyata rasa bangga dan upaya menjaga identitas bangsa. Selamat Hari Oeang Republik Indonesia yang ke-77.
* Pendapat pribadi, bukan institusi tempat penulis bekerja.
SEJAK 1000 SM (versi lain mengatakan 6000 SM), uang menjadi alat tukar dalam perekonomian menggantikan sistem barter yang telah usang dan menyulitkan. Dengan uang, seseorang menjadi mudah mendapatkan barang dan jasa yang diinginkan tanpa harus menukarnya dengan barang atau jasa lainnya.
Penggunaan uang di Indonesia baik sebelum maupun setelah kemerdekaan mengalami beberapa fase perjuangan yang sangat panjang. Pada masa Kerajaan Mataram Kuno era Syailendra, misalnya, terdapat mata uang Kupang (dicetak sekitar tahun 850 M) berbahan emas dan perak.
Beberapa masa kemudian uang Krishnala digunakan Kerajaan Jenggala di Jawa Timur, sekitar tahun 1100 M. Konon, uang Krishnala tersingkir akibat penggunaan Kepeng yang datang dari Tiongkok ke Nusantara. Era 1980-an, kita sering mendengar nama uang Kepeng dari sandiwara radio dengan lakon dan tokoh Mataram Kuno.
Uang Ma atau Masa digunakan Kerajaan Majapahit pada sekitar tahun 1200 M dan kemudian beralih ke Gobog Wayang pada 1300 M. Sementara itu, Kerajaan Pasai pada 1297 mencetak uang Dirham dengan bahan emas yang terdapat tulisan nama Sultan dengan gelar Malik az-Zahrir atau Malik at-Tahir.
Catatan Kementerian Keuangan menyebut bahwa pada masa awal kemerdekaan terdapat tiga keputusan penting yang diambil Menteri Keuangan A.A. Maramis melalui sebuah dekrit pada tanggal 29 September 1945.
Pertama, tidak mengakui hal dan wewenang pejabat pemerintahan tentara Jepang untuk menerbitkan dan menandatangani surat-surat perintah membayar uang dan lain-lain dokumen yang berhubungan dengan pengeluaran negara.
Kedua, terhitung mulai 29 September 1945, hak dan wewenang pejabat pemerintahan tentara Jepang diserahkan kepada Pembantu Bendahara Negara yang ditunjuk dan bertanggungjawab pada Menteri Keuangan.
Ketiga, kantor-kantor kas negara dan semua instansi yang melakukan tugas kas negara (kantor pos) harus menolak pembayaran atas surat perintah membayar uang yang tidak ditandatangani oleh Pembantu Bendahara Negara.
Selanjutnya, pada tanggal 1 Oktober 1945 pemerintah Indonesia menetapkan berlakunya mata uang bersama di wilayah Republik Indonesia (RI), yaitu uang De Javasche Bank, uang Hindia Belanda, dan uang Jepang.
Penulis mencoba menilik pidato Bung Karno pada tanggal 17 Agustus 1946 sebagaimana tercatat dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi (DBR) Jilid II halaman 10. Bung Karno berkata, “Di tengah nyala api, di tengah-tengah menggeledeknya meriam, di tengah-tengah menghebatnya kekacauan, kita harus menjalankan, memperlengkapi, menyempurnakan pemerintahan kita.”
“Kekalutan yang ditinggalkan oleh Jepang di atas lapangan ekonomi, bukan kepalang. Kekalutan warisan Jepang di atas lapangan keuangan, tiada hingganya. Beribu juta uang Jepang beredar di dalam Republik, dan beribu juta uang Jepang ini menghambat segala usaha untuk memulai pembersihan ekonomi.”
Penggalan pidato Presiden pertama RI di atas menggambarkan betapa beratnya perjuangan pemerintah dan bangsa Indonesia pada masa awal kemerdekaan. Bukan hanya perjuangan fisik menghadapi tentara Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia setelah Jepang menyatakan menyerah kepada Sekutu. Bahkan upaya untuk membangun ekonomi melalui penggunaan mata uang asli Indonesia menemui tantangan yang berat.
Satu tahun kemudian, pada tanggal 17 Agustus 1947 (DBR Jilid II halaman 26) Bung Karno mengatakan, “Di dalam segala pergeseran kekuatan dan percobaan yang kita deritai, untuk menempatkan Republik kita di dunia internasional, maka kemajuan tenaga di dalam, terus-menerus berjalan. Konferensi Pemuda Perbagai Bangsa dilangsungkan di Yogyakarta. Uang Republik pada tanggal 26 Oktober 1946 jam 24.00 mulai beredar, pengendalian harga dicoba dengan berbagai aturan.”
Menteri Keuangan melalui keputusan tanggal 29 Oktober 1946 menetapkan berlakunya ORI secara sah mulai 30 Oktober 1946 pukul 00.00. Jadi, sebetulnya meskipun ORI mulai beredar sejak 26 Oktober 1946, uang tersebut baru sah digunakan tanggal 30 Oktober 1946. Momen tanggal 30 Oktober inilah yang kemudian diperingati sebagai Hari Oeang Republik Indonesia (HORI).
Pada detik-detik diluncurkankannya ORI, Wakil Presiden Mohammad Hatta memberikan pidatonya pada 29 Oktober 1946 melalui Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta yang menggelorakan semangat bangsa Indonesia sebagai negara berdaulat dengan diterbitkannya mata uang ORI.
“Besok tanggal 30 Oktober 1946 adalah suatu hari yang mengandung sejarah bagi tanah air kita. Rakyat kita menghadapi penghidupan baru. Besok mulai beredar Oeang Republik Indonesia sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah.”
Bung Hatta melanjutkan,” Mulai pukul 12 tengah malam nanti, uang Jepang yang selama ini beredar sebagai uang yang sah, tidak laku lagi. Beserta uang Jepang itu ikut pula tidak laku uang Javasche Bank. Dengan ini, tutuplah suatu masa dalam sejarah keuangan Republik Indonesia. Masa yang penuh dengan penderitaan dan kesukaran bagi rakyat kita. Uang sendiri itu adalah tanda kemerdekaan Negara.”
Selain sebagai alat tukar, uang juga menunjukkan identitas suatu bangsa. Ia melambangkan kedaulatan. Setiap negara mempunyai uang yang tentunya lekat dengan sejarah bangsa itu sendiri. Hal tersebut tecermin, antara lain, melalui gambar atau lambang yang tertera dalam uang baik logam maupun kertas. Oleh karenanya, kita tentu menolak upaya merusak uang dengan maksud untuk merendahkan kehormatannya.
Pasal 25 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang menyatakan, “Setiap orang dilarang merusak, memotong, menghancurkan, dan/atau mengubah Rupiah dengan maksud merendahkan kehormatan Rupiah sebagai simbol negara.”
Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang menyatakan, "Setiap orang yang dengan sengaja merusak, memotong, menghancurkan, dan/atau mengubah Rupiah dengan maksud merendahkan kehormatan Rupiah sebagai simbol negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)."
Seiring perkembangan zaman, bentuk uang mengalami perubahan. Jika dulu kita mengenal uang kartal (seperti logam dan kertas) dan giral (misal: cek, giro, kartu kredit), kini uang bahkan sudah berbentuk elektronik. Pembayaran makin praktis dan mudah. Dari mulai urusan belanja, membayar jalan tol, hingga parkir.
Sebutlah beberapa contoh seperti seperti e money Mandiri, GoPay, OVO Cash, Brizzi, Flazz, LinkAja, ShopeePay, Paytren, iSaku, Uangku, T-Cash, dan JakOne. Nama-nama itu tentu tak asing lagi bagi kita, meskipun barangkali hanya beberapa yang kita gunakan.
Bank Indonesia (BI) melaporkan, nilai transaksi uang elektronik sebesar Rp160,47 triliun pada Juli 2023. Jumlah itu naik 4,79% dibandingkan pada bulan sebelumnya (m-to-m) yang sebesar Rp153,14 triliun (sumber: dataindonesia.id).
Meski demikian, modernisasi yang terjadi saat ini hendaknya tidak menghilangkan nilai historis uang dan mata uang negara kita. Mari kita junjung marwahnya sebagai bentuk nyata rasa bangga dan upaya menjaga identitas bangsa. Selamat Hari Oeang Republik Indonesia yang ke-77.
* Pendapat pribadi, bukan institusi tempat penulis bekerja.
(zik)