Akademisi Hukum Sebut Anwar Usman Diduga Jadikan MK Alat Politik Pragmatis

Jum'at, 27 Oktober 2023 - 20:14 WIB
loading...
Akademisi Hukum Sebut...
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman, dinilai telah membiarkan lembaga yang dia pimpinnya tersebut sebagai alat politik, Jumat (27/10/2023). Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman , dinilai telah membiarkan lembaga yang dia pimpin tersebut sebagai alat politik. Hal ini dikatakan oleh Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Beni Kurnia.

Pandangan tersebut berkaitan dengan putusan MK yang telah mengabulkan gugatan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (Capres-Cawapres) 40 tahun atau punya pengalaman sebagai kepala daerah.

"Anwar Usman selaku Ketua MK diduga kuat membiarkan lembaganya menjadi alat politik pragmatis dengan secara serampangan mengubah persyaratan batas umur minimal 40 tahun bagi calon presiden dan wakil presiden," ujarnya kepada MNC Portal Indonesia, Jumat (27/10/2023).

Dia menuturkan, putusan tersebut telah berseberangan dengan prinsip nemo judex in causa sua yang artinya, tidak boleh ada yang menjadi hakim untuk perkaranya sendiri.

"Ketentuan dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, yang menghendaki agar hakim tidak boleh menangani perkara yang berkiatan dengan dirinya," kata Beni.



Beni merupakan salah satu dari 16 guru besar dan akademisi yang melaporkan Anwar Usman ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MK) atas dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim.

Untuk informasi, sebanyak 16 guru besar bidang hukum melaporkan Ketua MK, Anwar Usman ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MK) atas dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim. Laporan itu terkait dengan putusan gugatan batas usia Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (Capres Cawapres).

Pada guru besar itu merupakan koalisi yang tergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society (CALS) dengan didampingi oleh kuasa hukum dari YLBHI, PSHK, ICW, IM57.

Berikut daftar guru besar Bidang hukum yang melapor:

1. Prof Denny Indrayana.
2. Prof Hesti Armiwulan.
3. Prof Muchamad Ali Safaat.
4. Prof Susi Dwi Harijanti.

5. Dr Aan Eko Widiarto.
6. Dr Auliya Khasanofa.
7. Dr Dhia Al Uyun.
8. Dr Herdiansyah Hamzah.

9. Dr Herlambang P Wiratraman.
10. Iwan Satriawan.
11. Richo Andi Wibowo.
12. Dr. Yance Arizona.

13. Beni Kurnia Illahi.
14. Bivitri Susanti.
15. Feri Amsari.
16. Warkhatun Najidah.

Laporan pelanggaran kode etik Anwar Usman ini bermula ketika, para hakim MK menangani perkara soal uji materiil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

Tepatnya, soal batas usia Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (Capres Cawapres), dari 11 gugatan hanya 1 saja yang dikabulkan oleh MK.

Yakni gugatan yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru Re A. Dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 itu, Almas meminta MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai kepala daerah baik tingkat provinsi, kabupaten atau kota.

Gugatan tersebut ditengarai untuk memuluskan Gibran Raka Buming Raka menjadi Cawapres. Sebab, dia baru berusia 36 tahun namun memiliki pengalaman menjadi Wali kota Solo.

Benar atau tidak anggapan tersebut, sepekan pascauji materiil itu dikabulkan MK, Gibran resmi diumumkan menjadi Cawapres mendampingi Capres Prabowo Subianto, Minggu, (22/10/2023). Mereka juga sudah mendaftar di KPU sebagai pasangan Capres Cawapres.

Hubungan kekeluargaan antara Gibran dan Anwar Usman pun disorot. Anwar merupakan paman dari Gibran. Lantaran hubungan kekeluargaan itu, Anwar Usman dikhawatirkan ada konflik kepentingan dalam perkara tersebut.

Dia menjelaskan, posisi hakim MK terkait putusan tersebut di antaranya :

1. 3 hakim: syarat usia 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pilkada.

2. 1 hakim: syarat usia 40 tahun atau berpengalaman sebagai gubernur yang persyaratannya ditentukan oleh pembentuk undang-undang.

3. 1 hakim: syarat usia 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah tingkat provinsi.

4. 4 orang hakim: menolak (open legal policy pembentuk undang-undang). Dengan komposisi seperti ini, mestinya perkara belum bisa diputus karena tidak ada yang mayoritas.

"Jika karya ilmiah yang bagus adalah karya ilmiah yang selesai, maka putusan pengadilan yang bagus pun adalah putusan yang selesai," ucapnya.

Lanjut dia, putusan ini ternyata belum selesai. Menurut Beni, ketika sebuah Putusan Mahkamah belum selesai, maka seharusnya kebijaksanaan Anwar Usman utk mencarikan solusi dan mengadakan RPH kembali.

"Sehingga tidak melahirkan Putusan yang cacat," katanya.

Dia menuturkan, perkara tersebut seharusnya ditolak. Sebab, pada pokoknya berkenaan dengan open legal policy atau kewenangan pembuat Undang-undang yakni DPR dan Pemerintah.

"Justru dikabulkan dengan pertimbangan hukum yang tidak konsisten dengan putusan terdahulu serta ratio decidendi yang tidak mumpuni," jelasnya.

Putusan tersebut kata Beni membuat independensi MK dipertanyakan. Kata dia konstitusi telah tersandera oleh cabang kekuasaan lain. Termasuk oleh kepentingan elite oligarki.

"Hal tersebut langsung terkonfirmasi tidak selang beberapa hari setelah putusan MK diputus, Gibran Rakabuming, Keponakan Ketua MK langsung bisa mencalonkan diri menjadi Cawapres-nya pasangan Capres Prabowo yang sebelumnya tidak memenuhi di dalam ketentuan UU Pemilu," jelasnya.

"Ini tentu saja semakin menguatkan kami mengapa Anwar Usman layak untuk diberhentikan secara tidak hormat oleh MKMK," tutupnya.
(maf)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1126 seconds (0.1#10.140)