Kenapa Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman Layak Dipecat?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Beni Kurnia Illahi menilai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman layak diberhentikan secara tidak hormat oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Alasannya, kata dia, Anwar Usman diduga kuat membiarkan MK menjadi alat politik pragmatis melalui putusan soal seseorang yang belum berusia 40 tahun, tetapi pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah bisa maju sebagai capres dan cawapres.
Menurutnya, Anwar Usman diduga kuat membiarkan MK menjadi alat politik pragmatis dengan secara serampangan mengubah persyaratan batas umur minimal 40 tahun bagi calon presiden dan wakil presiden yang tertuang dalam UU Pemilu. Komposisi posisi hakim MK terkait putusan syarat usia capres/cawapres juga mestinya belum bisa diputus karena tidak ada suara mayoritas.
"Jika karya ilmiah yang bagus adalah karya ilmiah yang selesai, maka putusan pengadilan yang bagus pun adalah putusan yang selesai. Putusan ini ternyata belum selesai, ketika sebuah putusan Mahkamah belum selesai, maka di sana seharusnya kebijaksanaan Ketua MK Anwar Usman untuk mencarikan solusi dan mengadakan RPH (Rapat Permusyawaratan Hakim, red) kembali sehingga tak melahirkan putusan yang cacat," ujarnya saat dikonfirmasi, Jumat (27/10/2023).
Dia menerangkan, perkara yang materi permohonannya seharusnya ditolak oleh MK karena pada pokoknya berkenaan dengan open legal policy dan seharusnya menjadi ranah dari pembentuk UU (pemerintah dan DPR) justru dikabulkan dengan pertimbangan hukum yang tidak konsisten dengan putusan terdahulu serta ratio decidendi yang tidak mumpuni.
"Tentu apa yang dilakukan oleh Anwar Usman juga meneguhkan banyak temuan serta asumsi yang mensinyalir MK sebagai lembaga yudikatif yang seharusnya independen, telah tersandera (court captured) oleh cabang kekuasaan lain, termasuk oleh kepentingan elite oligarki," tuturnya.
Beni menambahkan, hal tersebut langsung terkonfirmasi tak selang beberapa hari setelah putusan MK diputus, Gibran Rakabuming Raka, keponakan Ketua MK langsung bisa mencalonkan diri menjadi cawapresnya pendamping Prabowo Subianto yang sebelumnya tak memenuhi di dalam ketentuan UU Pemilu.
"Ini tentu saja semakin menguatkan kami mengapa Anwar Usman layak untuk diberhentikan secara tidak hormat oleh MKMK," kata peneliti yang juga tergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society (CALS) ini.
Sebelumnya, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman tak mau ambil pusing soal pihak yang melaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas tuduhan nepotisme. Ketika ditanya soal laporan tersebut, Anwar memilih untuk tertawa. "Saya ketawa saja ha ha ha," ujar Anwar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa, (24/10/2023).
Anwar tak menjelaskan, lebih dalam soal laporan tersebut. Sebelumnya, Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) melaporkan Ketua MK Anwar Usman ke KPK atas dugaan tindak pidana kolusi dan nepotisme.
Koordinator TPDI Erick S. Paat, menjelaskan alasan pihaknya melaporkan Anwar Usman hingga keluarga Jokowi terkait putusan MK yang mengabulkan gugatan batas usia capres-cawapres.
Erick pun mempertanyakan alasan Ketua MK Anwar Usman yang tidak mundur dari jabatannya usai memberikan putusan tersebut. “Sesuai dengan UU daripada kekuasaan kehakiman kalau punya hubungan kekeluargaan itu ketuanya majelisnya harus mengundurkan diri, itu tegas. Tapi kenapa Ketua MK membiarkan dirinya tetap menjadi ketua majelis hakim,” ucapnya.
Selain Anwar Usman, pihaknya juga melaporkan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka dan Ketua Umum PSI Kaesang Pangarep. Kemudian Mensesneg Pratikno, Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto, Almas Tsaqibbirru selaku pemohon, Arif Suhadi serta seluruh hakim konstitusi yang mengawal putusan tersebut.
Menurutnya, Anwar Usman diduga kuat membiarkan MK menjadi alat politik pragmatis dengan secara serampangan mengubah persyaratan batas umur minimal 40 tahun bagi calon presiden dan wakil presiden yang tertuang dalam UU Pemilu. Komposisi posisi hakim MK terkait putusan syarat usia capres/cawapres juga mestinya belum bisa diputus karena tidak ada suara mayoritas.
"Jika karya ilmiah yang bagus adalah karya ilmiah yang selesai, maka putusan pengadilan yang bagus pun adalah putusan yang selesai. Putusan ini ternyata belum selesai, ketika sebuah putusan Mahkamah belum selesai, maka di sana seharusnya kebijaksanaan Ketua MK Anwar Usman untuk mencarikan solusi dan mengadakan RPH (Rapat Permusyawaratan Hakim, red) kembali sehingga tak melahirkan putusan yang cacat," ujarnya saat dikonfirmasi, Jumat (27/10/2023).
Dia menerangkan, perkara yang materi permohonannya seharusnya ditolak oleh MK karena pada pokoknya berkenaan dengan open legal policy dan seharusnya menjadi ranah dari pembentuk UU (pemerintah dan DPR) justru dikabulkan dengan pertimbangan hukum yang tidak konsisten dengan putusan terdahulu serta ratio decidendi yang tidak mumpuni.
"Tentu apa yang dilakukan oleh Anwar Usman juga meneguhkan banyak temuan serta asumsi yang mensinyalir MK sebagai lembaga yudikatif yang seharusnya independen, telah tersandera (court captured) oleh cabang kekuasaan lain, termasuk oleh kepentingan elite oligarki," tuturnya.
Beni menambahkan, hal tersebut langsung terkonfirmasi tak selang beberapa hari setelah putusan MK diputus, Gibran Rakabuming Raka, keponakan Ketua MK langsung bisa mencalonkan diri menjadi cawapresnya pendamping Prabowo Subianto yang sebelumnya tak memenuhi di dalam ketentuan UU Pemilu.
"Ini tentu saja semakin menguatkan kami mengapa Anwar Usman layak untuk diberhentikan secara tidak hormat oleh MKMK," kata peneliti yang juga tergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society (CALS) ini.
Sebelumnya, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman tak mau ambil pusing soal pihak yang melaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas tuduhan nepotisme. Ketika ditanya soal laporan tersebut, Anwar memilih untuk tertawa. "Saya ketawa saja ha ha ha," ujar Anwar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa, (24/10/2023).
Anwar tak menjelaskan, lebih dalam soal laporan tersebut. Sebelumnya, Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) melaporkan Ketua MK Anwar Usman ke KPK atas dugaan tindak pidana kolusi dan nepotisme.
Koordinator TPDI Erick S. Paat, menjelaskan alasan pihaknya melaporkan Anwar Usman hingga keluarga Jokowi terkait putusan MK yang mengabulkan gugatan batas usia capres-cawapres.
Erick pun mempertanyakan alasan Ketua MK Anwar Usman yang tidak mundur dari jabatannya usai memberikan putusan tersebut. “Sesuai dengan UU daripada kekuasaan kehakiman kalau punya hubungan kekeluargaan itu ketuanya majelisnya harus mengundurkan diri, itu tegas. Tapi kenapa Ketua MK membiarkan dirinya tetap menjadi ketua majelis hakim,” ucapnya.
Selain Anwar Usman, pihaknya juga melaporkan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka dan Ketua Umum PSI Kaesang Pangarep. Kemudian Mensesneg Pratikno, Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto, Almas Tsaqibbirru selaku pemohon, Arif Suhadi serta seluruh hakim konstitusi yang mengawal putusan tersebut.
(rca)