Anwar Usman Diduga Kuat Membiarkan Mahkamah Konstitusi Jadi Alat Politik Pragmatis
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman terus mendapatkan kritikan pascaputusan MK soal seseorang yang belum berusia 40 tahun, tetapi pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah bisa maju sebagai capres dan cawapres. Kali ini, kritikan disampaikan oleh Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Beni Kurnia Illahi.
Beni mengungkapkan, Constitutional and Administrative Law Society (CALS) sejak awal sudah memprediksi putusan MK tentang batas usia capres-cawapres itu bakal berujung seperti saat ini. Apalagi, semakin kuat dengan komposisi 9 hakim MK yang memutus perkara nomor 90 itu.
"Pertama, lewat putusan MK Nomor 90, Anwar Usman selaku Ketua MK diduga kuat membiarkan lembaganya menjadi alat politik pragmatis dengan secara serampangan mengubah persyaratan batas umur minimal 40 tahun bagi calon presiden dan wakil presiden yang tertuang dalam UU Pemilu," ujarnya, Jumat (27/10/2023).
Sehingga, kata dia, dapat dilangkahi apabila yang mencalonkan diri pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah. Hal ini tentu saja berseberangan dengan prinsip nemo judex in causa sua dan ketentuan dalam UU Kekuasaan Kehakiman, yang menghendaki agar hakim tak boleh menangani perkara yang berkaitan dengan dirinya.
Kedua, kata dia, posisi hakim MK terkait putusan syarat usia capres/cawapres adalah: (1) 3 hakim: syarat usia 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pilkada. (2) 1 hakim: syarat usia 40 tahun atau berpengalaman sebagai gubernur yang persyaratannya ditentukan oleh pembentuk undang-undang.
Lalu, (3) 1 hakim: syarat usia 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah tingkat provinsi. (4) 4 orang hakim: menolak (open legal policy pembentuk undang-undang).
"Dengan komposisi seperti ini, mestinya perkara belum bisa diputus karena tidak ada yang mayoritas. Jika karya ilmiah yang bagus adalah karya ilmiah yang selesai, maka putusan pengadilan yang bagus pun adalah putusan yang selesai," tuturnya.
Beni menuturkan, putusan ini ternyata belum selesai. Ketika sebuah putusan Mahkamah belum selesai, maka di sana seharusnya kebijaksanaan Ketua MK Anwar Usman untuk mencarikan solusi dan mengadakan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) kembali, sehingga tak melahirkan putusan yang cacat.
"Ketiga, perkara yang materi permohonannya seharusnya ditolak oleh MK karena pada pokoknya berkenaan dengan open legal policy dan seharusnya menjadi ranah dari pembentuk UU (pemerintah dan DPR), justru dikabulkan dengan pertimbangan hukum yang tidak konsisten dengan putusan terdahulu serta ratio decidendi yang tidak mumpuni," pungkasnya.
Sebelumnya, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman tak mau ambil pusing soal pihak yang melaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas tuduhan nepotisme. Ketika ditanya soal laporan tersebut, Anwar memilih untuk tertawa. "Saya ketawa saja ha ha ha," ujar Anwar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa, (24/10/2023).
Anwar tak menjelaskan, lebih dalam soal laporan tersebut. Sebelumnya, Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) melaporkan Ketua MK Anwar Usman ke KPK atas dugaan tindak pidana kolusi dan nepotisme.
Koordinator TPDI Erick S. Paat, menjelaskan alasan pihaknya melaporkan Anwar Usman hingga keluarga Jokowi terkait putusan MK yang mengabulkan gugatan batas usia capres-cawapres.
Erick pun mempertanyakan alasan Ketua MK Anwar Usman yang tidak mundur dari jabatannya usai memberikan putusan tersebut. “Sesuai dengan UU daripada kekuasaan kehakiman kalau punya hubungan kekeluargaan itu ketuanya majelisnya harus mengundurkan diri, itu tegas. Tapi kenapa Ketua MK membiarkan dirinya tetap menjadi ketua majelis hakim,” ucapnya.
Selain Anwar Usman, pihaknya juga melaporkan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka dan Ketua Umum PSI Kaesang Pangarep. Kemudian Mensesneg Pratikno, Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto, Almas Tsaqibbirru selaku pemohon, Arif Suhadi serta seluruh hakim konstitusi yang mengawal putusan tersebut.
Beni mengungkapkan, Constitutional and Administrative Law Society (CALS) sejak awal sudah memprediksi putusan MK tentang batas usia capres-cawapres itu bakal berujung seperti saat ini. Apalagi, semakin kuat dengan komposisi 9 hakim MK yang memutus perkara nomor 90 itu.
"Pertama, lewat putusan MK Nomor 90, Anwar Usman selaku Ketua MK diduga kuat membiarkan lembaganya menjadi alat politik pragmatis dengan secara serampangan mengubah persyaratan batas umur minimal 40 tahun bagi calon presiden dan wakil presiden yang tertuang dalam UU Pemilu," ujarnya, Jumat (27/10/2023).
Sehingga, kata dia, dapat dilangkahi apabila yang mencalonkan diri pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah. Hal ini tentu saja berseberangan dengan prinsip nemo judex in causa sua dan ketentuan dalam UU Kekuasaan Kehakiman, yang menghendaki agar hakim tak boleh menangani perkara yang berkaitan dengan dirinya.
Kedua, kata dia, posisi hakim MK terkait putusan syarat usia capres/cawapres adalah: (1) 3 hakim: syarat usia 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pilkada. (2) 1 hakim: syarat usia 40 tahun atau berpengalaman sebagai gubernur yang persyaratannya ditentukan oleh pembentuk undang-undang.
Lalu, (3) 1 hakim: syarat usia 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah tingkat provinsi. (4) 4 orang hakim: menolak (open legal policy pembentuk undang-undang).
"Dengan komposisi seperti ini, mestinya perkara belum bisa diputus karena tidak ada yang mayoritas. Jika karya ilmiah yang bagus adalah karya ilmiah yang selesai, maka putusan pengadilan yang bagus pun adalah putusan yang selesai," tuturnya.
Beni menuturkan, putusan ini ternyata belum selesai. Ketika sebuah putusan Mahkamah belum selesai, maka di sana seharusnya kebijaksanaan Ketua MK Anwar Usman untuk mencarikan solusi dan mengadakan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) kembali, sehingga tak melahirkan putusan yang cacat.
"Ketiga, perkara yang materi permohonannya seharusnya ditolak oleh MK karena pada pokoknya berkenaan dengan open legal policy dan seharusnya menjadi ranah dari pembentuk UU (pemerintah dan DPR), justru dikabulkan dengan pertimbangan hukum yang tidak konsisten dengan putusan terdahulu serta ratio decidendi yang tidak mumpuni," pungkasnya.
Sebelumnya, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman tak mau ambil pusing soal pihak yang melaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas tuduhan nepotisme. Ketika ditanya soal laporan tersebut, Anwar memilih untuk tertawa. "Saya ketawa saja ha ha ha," ujar Anwar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa, (24/10/2023).
Anwar tak menjelaskan, lebih dalam soal laporan tersebut. Sebelumnya, Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) melaporkan Ketua MK Anwar Usman ke KPK atas dugaan tindak pidana kolusi dan nepotisme.
Koordinator TPDI Erick S. Paat, menjelaskan alasan pihaknya melaporkan Anwar Usman hingga keluarga Jokowi terkait putusan MK yang mengabulkan gugatan batas usia capres-cawapres.
Erick pun mempertanyakan alasan Ketua MK Anwar Usman yang tidak mundur dari jabatannya usai memberikan putusan tersebut. “Sesuai dengan UU daripada kekuasaan kehakiman kalau punya hubungan kekeluargaan itu ketuanya majelisnya harus mengundurkan diri, itu tegas. Tapi kenapa Ketua MK membiarkan dirinya tetap menjadi ketua majelis hakim,” ucapnya.
Selain Anwar Usman, pihaknya juga melaporkan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka dan Ketua Umum PSI Kaesang Pangarep. Kemudian Mensesneg Pratikno, Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto, Almas Tsaqibbirru selaku pemohon, Arif Suhadi serta seluruh hakim konstitusi yang mengawal putusan tersebut.
(rca)