Nasib Memprihatinkan Para Pekerja Migran saat Ditahan di Sabah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Koalisi Buruh Migran Berdaulat (KBMB) mengaku menemukan praktik penyiksaan terhadap pekerja migran Indonesia (PMI) yang ditahan di lokasi semantara di Sabah, Malaysia. Diperkirakan masih ada 900 PMI di tempat penahanan sementara.
Menurut Koordinator KBMB Musdalifah Jamal, mereka adalah bagian dari ribuan PMI yang sudah dideportasi selama Maret-Juli 2020. Berdasarkan penelusuran KBMB melalui 33 pekerja yang sudah kembali ke Tanah Air, Musdalifah mengungkapkan,
PMI yang dideportasi rata-rata menyatakan diperlakukan tidak manusiawi.
Selain itu, penahanan yang berkepanjangan telah menyebabkan perampasan kebebasan PMI tanpa alasan. Ketiga, PTS menjadi tempat penyiksaan.
“Kondisi penampungan buruk. Mayoritas deportan mengalami penyakit kulit akut. Fasilitas kesehatan terbatas, bahkan ada penghuni yang dibiarkan melahirkan sendiri. Tidak ada bantuan medis secara kontinu untuk memeriksa,” terangnya dalam konferensi pers bersama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Rabu (5/7/2020).
(Baca: BP2MI Bakal Kawal Penempatan 88.973 Pekerja Migran di Luar Negeri)
Musdalifah memaparkan para deportan mengalami depresi selama dalam tahanan. Akses terhadap air bersih dan makanan yang layak juga sangat minim.
“Makanan yang diberikan itu tidak layak untuk dimakan. Lauk atau ayamnya tidak bersih, masih ada darah dalam daging. Beberapa makanan yang diberikan sudah basi. Sayurnya bercampur dengan rumput,” katanya.
Menurutnya, para PMI ini harus menjalani hukuman yang lebih lama di PTS dibandingkan dari hukuman resmi penjara. Ada beberapa PMI yang seharusnya dikeluarkan Januari dan Februari 2020, tapi baru dideportasi pada Juni-Juli ini.
(Baca: Perbudakan di Laut Terus Berlanjut, Pemerintah Dinilai Gagal Lindungi ABK)
KBMB menyatakan PTS sebagai institusi penyiksaan dan teror bagi PMI tidak memiliki berdokumen. Dalam tahanan meskipun satu keluarga, tetapi mereka tidak bisa bertemu dan saling berkomunikasi. “Bahkan ada yang meninggal, keluarganya tidak diizinkan untuk melihat,” ucapnya.
PTS disinyalir menjadi tempat bisnis dan pemerasan. Musdalifah menjelaskan kiriman uang dari kerabat sering dipotong oleh petugas PT. Begitu juga dengan kiriman makanan kadang hanya tinggal setengah ketika diterima PMI.
“Karena diambil petugas. Kami menyebut petugas PTS berbisnis karena mengizinkan komunikasi dengan keluarga tapi harus membayar 10-20 ringgit Malaysia. Itu untuk satu jam telepon,” pungkasnya.
Lihat Juga: Ciptakan Alat Pembayaran TransJakarta Berbasis Gantungan Kunci, 3 Siswa Ini Raih Emas di KLESF Malaysia
Menurut Koordinator KBMB Musdalifah Jamal, mereka adalah bagian dari ribuan PMI yang sudah dideportasi selama Maret-Juli 2020. Berdasarkan penelusuran KBMB melalui 33 pekerja yang sudah kembali ke Tanah Air, Musdalifah mengungkapkan,
PMI yang dideportasi rata-rata menyatakan diperlakukan tidak manusiawi.
Selain itu, penahanan yang berkepanjangan telah menyebabkan perampasan kebebasan PMI tanpa alasan. Ketiga, PTS menjadi tempat penyiksaan.
“Kondisi penampungan buruk. Mayoritas deportan mengalami penyakit kulit akut. Fasilitas kesehatan terbatas, bahkan ada penghuni yang dibiarkan melahirkan sendiri. Tidak ada bantuan medis secara kontinu untuk memeriksa,” terangnya dalam konferensi pers bersama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Rabu (5/7/2020).
(Baca: BP2MI Bakal Kawal Penempatan 88.973 Pekerja Migran di Luar Negeri)
Musdalifah memaparkan para deportan mengalami depresi selama dalam tahanan. Akses terhadap air bersih dan makanan yang layak juga sangat minim.
“Makanan yang diberikan itu tidak layak untuk dimakan. Lauk atau ayamnya tidak bersih, masih ada darah dalam daging. Beberapa makanan yang diberikan sudah basi. Sayurnya bercampur dengan rumput,” katanya.
Menurutnya, para PMI ini harus menjalani hukuman yang lebih lama di PTS dibandingkan dari hukuman resmi penjara. Ada beberapa PMI yang seharusnya dikeluarkan Januari dan Februari 2020, tapi baru dideportasi pada Juni-Juli ini.
(Baca: Perbudakan di Laut Terus Berlanjut, Pemerintah Dinilai Gagal Lindungi ABK)
KBMB menyatakan PTS sebagai institusi penyiksaan dan teror bagi PMI tidak memiliki berdokumen. Dalam tahanan meskipun satu keluarga, tetapi mereka tidak bisa bertemu dan saling berkomunikasi. “Bahkan ada yang meninggal, keluarganya tidak diizinkan untuk melihat,” ucapnya.
PTS disinyalir menjadi tempat bisnis dan pemerasan. Musdalifah menjelaskan kiriman uang dari kerabat sering dipotong oleh petugas PT. Begitu juga dengan kiriman makanan kadang hanya tinggal setengah ketika diterima PMI.
“Karena diambil petugas. Kami menyebut petugas PTS berbisnis karena mengizinkan komunikasi dengan keluarga tapi harus membayar 10-20 ringgit Malaysia. Itu untuk satu jam telepon,” pungkasnya.
Lihat Juga: Ciptakan Alat Pembayaran TransJakarta Berbasis Gantungan Kunci, 3 Siswa Ini Raih Emas di KLESF Malaysia
(muh)