Jimly Sebut Putusan MK soal Usia Capres-Cawapres Harusnya Berlaku di 2029
loading...
A
A
A
Dalam PKPU Pasal 13 tentang Persyaratan Calon di Ayat 1 poin Q juga menyebutkan, syarat capres dan cawapres minimal berusia 40 tahun. Kata Jimly, untuk mengubah peraturan itu, KPU diwajibkan berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah.
Meski begitu, kata dia konsultasi itu tidak mengikat. Artinya, KPU tidak wajib mengikuti pendapat DPR. Namun dalam praktiknya KPU segan bila tidak mengikuti pendapat DPR secara mayoritas. Hal ini membuat independensi KPU dipertanyakan.
"Sanggup enggak mereka (KPU) mengikuti putusan MK itu dengan mengubah PKPU mengabaikan pendapat-pendapat DPR," ucapnya.
Apalagi menurut Jimly, banyak fraksi yang geram dengan putusan tersebut. Yakni fraksi parlemen yang berkoalisi dengan partai pendukung capres. Di antaranya, PDIP, PPP, Nasdem, PKB, PKS, dan Demokrat.
"Kalau dikumpulkan dua kubu. Kubu AMIN (Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar) yakni Nasdem, PKB, PKS Ini pada marah semua ini sekarang dengan putusan MK itu. Nah kubu kedua, PDIP plus PPP juga marah dengan putusan MK ini dan jumlahnya dua kubu ini sudah 54 persen," jelas Jimly.
Dia mengatakan, kalau KPU mengabaikan tahapan untuk mengubah PKPU akan menimbulkan masalah. Misalnya, PKPU bertentangan dengan putusan MK.
"Untuk menilai karena putusan MK itu sama dengan undang-undang, maka untuk menilai apakah PKPU itu bertentangan atau tidak bertentangan dengan UU itu harus dinilai dengan MA, Judical Riview ke Mahkamah Agung (MA)," ungkapnya.
Kemudian, apabila PKPU tersebut tidak diubah namun terjadi Pilpres juga akan menimbulkan perselisihan. Yakni perselisihan hasil Pilpres.
"Nanti perselisihan hasil Pilpres itu kan dibawa ke MK. Nanti MK akan menjadikan putusannya terdahulu sebagai putusan. Bisa saja, capres yang menang tapi tidak memenuhi syarat menurut Putusan MK. Dibatalkanlah oleh MK keterpilihannya, jadi kemungkinannya masih banyak," jelas Jimly.
Oleh sebab itu, dia meminta Pemerintah memperhatikan stabilitas sistem aturan. Kata Jimly, menata negara dan bangsa sebagai satu kesatuan membutuhkan sistem tersebut. Hal inilah yang seharusnya dipikirkan oleh para hakim konstitusi sebagai negarawan.
Meski begitu, kata dia konsultasi itu tidak mengikat. Artinya, KPU tidak wajib mengikuti pendapat DPR. Namun dalam praktiknya KPU segan bila tidak mengikuti pendapat DPR secara mayoritas. Hal ini membuat independensi KPU dipertanyakan.
"Sanggup enggak mereka (KPU) mengikuti putusan MK itu dengan mengubah PKPU mengabaikan pendapat-pendapat DPR," ucapnya.
Apalagi menurut Jimly, banyak fraksi yang geram dengan putusan tersebut. Yakni fraksi parlemen yang berkoalisi dengan partai pendukung capres. Di antaranya, PDIP, PPP, Nasdem, PKB, PKS, dan Demokrat.
"Kalau dikumpulkan dua kubu. Kubu AMIN (Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar) yakni Nasdem, PKB, PKS Ini pada marah semua ini sekarang dengan putusan MK itu. Nah kubu kedua, PDIP plus PPP juga marah dengan putusan MK ini dan jumlahnya dua kubu ini sudah 54 persen," jelas Jimly.
Dia mengatakan, kalau KPU mengabaikan tahapan untuk mengubah PKPU akan menimbulkan masalah. Misalnya, PKPU bertentangan dengan putusan MK.
"Untuk menilai karena putusan MK itu sama dengan undang-undang, maka untuk menilai apakah PKPU itu bertentangan atau tidak bertentangan dengan UU itu harus dinilai dengan MA, Judical Riview ke Mahkamah Agung (MA)," ungkapnya.
Kemudian, apabila PKPU tersebut tidak diubah namun terjadi Pilpres juga akan menimbulkan perselisihan. Yakni perselisihan hasil Pilpres.
"Nanti perselisihan hasil Pilpres itu kan dibawa ke MK. Nanti MK akan menjadikan putusannya terdahulu sebagai putusan. Bisa saja, capres yang menang tapi tidak memenuhi syarat menurut Putusan MK. Dibatalkanlah oleh MK keterpilihannya, jadi kemungkinannya masih banyak," jelas Jimly.
Oleh sebab itu, dia meminta Pemerintah memperhatikan stabilitas sistem aturan. Kata Jimly, menata negara dan bangsa sebagai satu kesatuan membutuhkan sistem tersebut. Hal inilah yang seharusnya dipikirkan oleh para hakim konstitusi sebagai negarawan.