Polemik Putusan MK terkait Usia Capres, Pengamat: Tanda Erosi Demokrasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Direktur Puskapol UI, Hurriyah menilai, polemik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menandakan terjadinya erosi demokrasi. MK telah mengabulkan permohonan uji materiel Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu soal batas usia Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (Capres-Cawapres).
Keputusan itu membuktikan keberhasilan pimpinan eksekutif yang notabennya dipilih secara demokratis, menggunakan popularitas dan kekuasaannya dalam rangka memandulkan demokrasi.
Pandangan tersebut disampaikan Hurriyah dalam diskusi Menyikapi Putusan MK tentang usia Calon Presiden dan Wakil Presiden yang digelar Komite Pemilih Indonesia (Tepi Indonesia) secara daring, Selasa (17/10/2023).
"Keberhasilan elite politik dalam mengendalikan lembaga demokrasi utama baik legislatif eksekutif bahkan yudikatif, KPK dan penyelenggaraan pemilu. Ini tanda bahan peringatan sangat serius terjadinya erosi demokrasi di Indonesia," kata Hurriyah.
Menurutnya, erosi ini terjadi secara perlahan-lahan dalam jangka panjang yang memperlihatkan putusan MK tahap panjang erosi demokrasi di Indonesia.
Sehingga kata Hurriyah, tak menutup kemungkinan setelah putusan MK itu akan ada upaya baru yang dilakukan elit politik untuk menggolkan ambisi kekuasaan dengan cara melemahkan institusi demokrasi di Indonesia.
"Hari ini kita menyaksikan MK menjadi institusi terakhir yanh berhasil dikendalikan oleh elite. Bagaimana presiden berhasil mendorong berbagai UU Kebijakan menghancurkan check and balance di DPR. Serta memandulkan oposisi di DPR," ucapnya.
Atas peristiwa itu, ia berharap masyarakat sebagai kekuatan demokrasi terakhir untuk terus mengkampanyekan dan memboikot keputusan tersebut. Hal ini agar demokrasi dapat kembali sebagaimana mestinya.
"Sipil punya potensi luar biasa melawan arus balik penyempitan demokrasi, masyarakat sudah waktunya menjadi aktor oposisi gencar mengkampanyekan ke publik menolak aktor elektoral menggunakan cara yang tidak demokratis. Mereka harus diboikot dan gerakannya dilakukan bersama-sama," tuturnya.
Sebagai informasi, MK mengabulkan permohonan perkara yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru Re A. Dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 itu, Almas Tsaqibbirru Re A meminta MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai kepala daerah baik tingkat provinsi, kabupaten atau kota.
"Mengambulkan Permohonan Pemohon untuk sebagian," ujar Ketua MK, Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (16/10/2023).
Dalam konklusinya, Anwar menyatakan Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a guo. Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. "Permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian," katanya.
Dalam putusannya, Anwar menyatakan Pasal 169 huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum soal batas usia Capres Cawapres 40 tahun bertentangan dengan UUD 1945. Hal itu, apabila tidak dimaknai dengan pemah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemiihan kepala daerah.
"Pasal 169 huruf g UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan, “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun" bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “berusia|paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pemah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemiihan kepala daerah".
Sehingga Pasal 169 huruf g UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi "berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pemah/sedang menduduki jabatan yang dipiih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah," jelas Anwar.
Anwar pun memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Keputusan itu membuktikan keberhasilan pimpinan eksekutif yang notabennya dipilih secara demokratis, menggunakan popularitas dan kekuasaannya dalam rangka memandulkan demokrasi.
Pandangan tersebut disampaikan Hurriyah dalam diskusi Menyikapi Putusan MK tentang usia Calon Presiden dan Wakil Presiden yang digelar Komite Pemilih Indonesia (Tepi Indonesia) secara daring, Selasa (17/10/2023).
"Keberhasilan elite politik dalam mengendalikan lembaga demokrasi utama baik legislatif eksekutif bahkan yudikatif, KPK dan penyelenggaraan pemilu. Ini tanda bahan peringatan sangat serius terjadinya erosi demokrasi di Indonesia," kata Hurriyah.
Menurutnya, erosi ini terjadi secara perlahan-lahan dalam jangka panjang yang memperlihatkan putusan MK tahap panjang erosi demokrasi di Indonesia.
Sehingga kata Hurriyah, tak menutup kemungkinan setelah putusan MK itu akan ada upaya baru yang dilakukan elit politik untuk menggolkan ambisi kekuasaan dengan cara melemahkan institusi demokrasi di Indonesia.
"Hari ini kita menyaksikan MK menjadi institusi terakhir yanh berhasil dikendalikan oleh elite. Bagaimana presiden berhasil mendorong berbagai UU Kebijakan menghancurkan check and balance di DPR. Serta memandulkan oposisi di DPR," ucapnya.
Atas peristiwa itu, ia berharap masyarakat sebagai kekuatan demokrasi terakhir untuk terus mengkampanyekan dan memboikot keputusan tersebut. Hal ini agar demokrasi dapat kembali sebagaimana mestinya.
"Sipil punya potensi luar biasa melawan arus balik penyempitan demokrasi, masyarakat sudah waktunya menjadi aktor oposisi gencar mengkampanyekan ke publik menolak aktor elektoral menggunakan cara yang tidak demokratis. Mereka harus diboikot dan gerakannya dilakukan bersama-sama," tuturnya.
Sebagai informasi, MK mengabulkan permohonan perkara yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru Re A. Dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 itu, Almas Tsaqibbirru Re A meminta MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai kepala daerah baik tingkat provinsi, kabupaten atau kota.
"Mengambulkan Permohonan Pemohon untuk sebagian," ujar Ketua MK, Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (16/10/2023).
Dalam konklusinya, Anwar menyatakan Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a guo. Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. "Permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian," katanya.
Dalam putusannya, Anwar menyatakan Pasal 169 huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum soal batas usia Capres Cawapres 40 tahun bertentangan dengan UUD 1945. Hal itu, apabila tidak dimaknai dengan pemah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemiihan kepala daerah.
"Pasal 169 huruf g UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan, “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun" bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “berusia|paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pemah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemiihan kepala daerah".
Sehingga Pasal 169 huruf g UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi "berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pemah/sedang menduduki jabatan yang dipiih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah," jelas Anwar.
Anwar pun memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
(maf)