Ekonomi Tumbuh 5,01%

Selasa, 08 Agustus 2017 - 06:59 WIB
Ekonomi Tumbuh 5,01%
Ekonomi Tumbuh 5,01%
A A A
PERTUMBUHAN ekonomi pada triwulan kedua tak beringsut dari triwulan pertama 2017 alias tetap sekitar 5,01%. Bila dibandingkan pertumbuhan ekonomi pada periode yang sama tahun lalu justru terjadi penurunan, sebab kuartal kedua 2016 ekonomi bertumbuh sekitar 5,18%.

Pertumbuhan ekonomi dalam tiga bulan terakhir ini, sebagaimana dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS), bertumbuh pada konsumsi rumah tangga mencapai sebesar 4,95% sebaliknya konsumsi pemerintah justru minus 1,93%, disusul ekspor dan impor yang tercatat masing-masing 3,36% dan 0,55% serta lembaga nonprofit dengan kontribusi 8,46%.

Konsumsi rumah tangga pada kuartal kedua 2017 mengalami kenaikan sekitar 0,01% dibandingkan pada kuartal pertama 2017. BPS mencatat konsumsi hotel dan restoran sekitar 5,87%, disusul kesehatan dan pendidikan sebesar 5,40%, transportasi dan komunikasi 5,32%, makanan dan minuman naik 5,24%, perumahan dan per­lengkapan rumah 4.12%, dan pakaian dan alas kaki tumbuh 3,47%.

Karena itu, BPS meragukan polemik seputar penurunan daya beli masyarakat. Jadi, versi BPS daya beli tidak turun yang terjadi adalah kecenderungan masyarakat kelas menengah atas yang menahan konsumsi. Indikatornya? Pihak lembaga statistik tersebut menyebut bahwa persentase transaksi debit melambat dan persentase uang yang ditabung mengalami kenaikan.

Sebelum pertumbuhan ekonomi kuartal kedua 2017 dirilis BPS, muncul polemik dengan topik pelemahan ekonomi nasional yang ditandai dengan melemahnya daya beli masyarakat, yang berdampak langsung pada penjualan sektor ritel yang mengerut. Menyikapi polemik soal daya beli yang turun itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) merespons cepat dengan menggelar rapat kabinet untuk mengetahui penyebab dan mencari solusinya.

Memang, cukup membingungkan angka pertumbuhan ekonomi dalam dua kuartal tahun ini sedikit di atas 5%, artinya ekonomi nasional masih tumbuh positif. Namun, fakta lain pelaku usaha yang bergerak di bidang ritel malah berkeluh kesah karena penjualan turun akibat daya beli masyarakat yang merosot.

Sementara itu, data realisasi dari pajak pertambahan nilai (PPN)—pajak yang menggambarkan transaksi jual-beli di masyarakat—versi Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak mengalami pertumbuhan sekitar 13,5% hingga semester pertama 2017. Lalu di mana letak persoalannya, mengapa angka-angka itu tidak mencerminkan kesesuaian, terutama data dan Ditjen Pajak dan keluhan pelaku bisnis ritel konvensional seputar anjloknya daya beli masyarakat? Apakah karena pengaruh dari transaksi secara online?

Sayangnya, data-data komprehensif dari transaksi online secara statistik belum ter-cover sehingga analisis dari bank sentral yang bisa menjadi pegangan masyarakat belum ada. Yang jelas, berdasarkan pengakuan dua pelaku perusahaan bisnis online di negeri ini, yakni Bukalapak dan Tokopedia, sama sekali tak terimbas penurunan daya beli masyarakat yang dikeluhkan pemain bisnis ritel konvensional.

Setiap bulan, seperti diklaim CEO Bukalapak Achmad Zaky, mencatat transaksi senilai Rp1 triliun per bulan dengan jumlah pelapak sebanyak 1,7 juta. Klaim serupa datang dari Tokopedia. Sebagaimana dituturkan Communications Lead Tokopedia Siti Fauziah, pihaknya mengantongi tak kurang dari Rp1 triliun per bulan dengan menjual 40 juta produk dari jutaan merchants.

Meski transaksi online terbukti sangat fenomenal belakangan ini, pihak BPS belum meyakini telah menggerus transaksi di sektor ritel konvensional. Dari data sementara BPS bahwa nilai peralihan transaksi ritel dari konvensional ke online masih sangat kecil, namun diakui telah terjadi pergeseran pola berbelanja di masyarakat dewasa ini.

Dan, pola belanjanya belum rutin pada umumnya berbelanja bukan kebutuhan bahan pokok. Di sisi lain menunjukkan rata-rata tingkat kekosongan pusat perbelanjaan mencapai 10,8% di Jakarta, demikian dirilis oleh sebuah konsultan properti ternama.

Jadi, wajar saja bila terjadi polemik soal daya beli masyarakat yang melemah karena masing-masing pihak memiliki data yang diyakini validitasnya. Sehubungan itu, kita berharap pemerintah lebih bijak dan solutif menyikapi soal polemik daya beli masyarakat yang turun itu. Apalagi berdasarkan prediksi Bank Indonesia (BI), tingkat konsumsi masyarakat pada triwulan ketiga 2017 berpotensi lebih rendah dari periode triwulan sebelumnya.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4075 seconds (0.1#10.140)