Jalan Tengah Penyelesaian Sawit Rakyat dalam Kawasan Hutan

Selasa, 04 Agustus 2020 - 14:01 WIB
loading...
Jalan Tengah Penyelesaian Sawit Rakyat dalam Kawasan Hutan
Direktur HICON Law & Policy Strategies, Hifdzil Alim. Foto/Istimewa
A A A
JAKARTA - Pemerintah diminta segera menyelesaikan permasalahan sawit rakyat dengan memasukkan sawit dalam definisi lahan garapan sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 88 Tahun 2017.

Demikian dikatakan Direktur HICON Law & Policy Strategies, Hifdzil Alim dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (4/8/2020). (Baca juga: Antisipasi Konflik, Pemerintah Harus Benahi Tata Kelola Lahan Sawit)

Menurut Hifdzil, pemerintah telah menerbitkan kebijakan dan regulasi sebagai jalan keluar, namun hal tersebut belum menjawab sengkarut pengelolaan sawit rakyat. Imbasnya, rakyat menjadi subjek yang paling dirugikan dengan adanya konflik sawit dalam kawasan hutan.

HICON telah mengkaji enam regulasi yang diterbitkan pemerintah untuk mengatasi sengkarut sawit rakyat, diantaranya, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial (PermenLHK P.83); Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (Perpres 88/2017); dan ketiga Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria (Perpres 86/2018).

Keempat, Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit (Inpres 8/2018); kelima, Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Tahun 2019-2024 (Inpres 6/2019); dan terakhir, Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan (Perpres 44/2020).

Dalam catatan HICON, keberadaan enam instrumen hukum dan kebijakan itu belum sepenuhnya memberikan ruang bagi penyelesaian sawit rakyat dalam kawasan hutan. Kebijakan pemerintah tentang perhutanan sosial, nyatanya belum bisa mengakomodasi fakta adanya sawit rakyat dalam kawasan hutan.

Persoalan semakin kompleks karena pada kawasan perhutanan sosial yang lahannya terdapat tanaman sawit, diberikan toleransi selama 12 tahun sejak masa tanam diwajibkan menanam pohon berkayu paling sedikit 100 pohon per hektar (Pasal 65 huruf h PermenLHK P.83). Termasuk, masalah legalitas perkebunan kelapa sawit rakyat yang berdampak tidak berputarnya roda sertifikasi.

Menurut HICON, semestinya perlu ada tawaran lain. Misalnya, diganti dengan jangka waktu daur ulang atau menerapkan kebun campur (agroforestry)

HICON juga mengidentifikasi masalah krusial lainnya yaitu pola penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan juga dilakukan tanpa melihat cost yang berpotensi muncul dalam penerapan pola penyelesaian tersebut.

"Contohnya, ketika resettlement, apakah pemerintah daerah mempunyai modal yang cukup untuk menekan potensi konflik tenurial (lahan)? Atau ketika pemerintah menetapkan status kawasan hutan sebagai perhutanan sosial, apakah ada jaminan lahan tersebut akan dikelola dengan cara-cara yang berkelanjutan? Pertanyaan ini belum mampu dijawab oleh Perpres 88/2017," ucap Hifdzil.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1193 seconds (0.1#10.140)