Seleksi Anggota LSF 2023 dan Komisi I DPR

Jum'at, 06 Oktober 2023 - 11:46 WIB
loading...
A A A
Sebelumnya, Undang-Undang No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film, yang dikeluarkan zaman Orde Baru itu, menempatkan film berada di bawah Departemen Penerangan. Undang-Undang No. 8 Tahun 1992 disahkan pada 30 Maret 1992 oleh Presiden Soehato; dan PP No. 7 Tahun 1994 ditetapkan pada 3 Maret 1994 juga oleh Presiden Soehato. Maka, masuk akal jika LSF menjadi mitra kerja Komisi Komunikasi yang antara lain membidangi masalah informasi, keamanan, dan luar negeri.

Tapi, setelah reformasi, UU lama itu diganti dengan UU No. 33 Tahun 2009 (disahkan pada 8 Oktober 2009 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono), yang menempatkan perfilman -- termasuk LSF-- berada dalam lingkup kebudayaan. Adapun menteri yang dimaksud dalam UU baru tersebut adalah menteri yang membidangi urusan kebudayaan. UU Perfilman baru ini ingin menggeser posisi film dari rumpun politik menuju rumpun kebudayaan, perkembangan ilmu pengetahuan, dan teknologi. Karena itu ia seharusnya menjadi mitra Komisi X, yang antara lain membidangi masalah pendidikan, kebudayaan, pariwisata, dan olahraga.

Dalam peraturan pemerintah lama, anggota LSF diangkat Presiden atas usul Menteri. Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2014 (ditetapkan pada 11 Maret 2014 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono), anggota LSF diseleksi oleh panitia seleksi, dikonsultasikan ke DPR, dan diangkat oleh presiden. Unsur pemerintah yang dalam peraturan pemerintah lama cukup dominan, kini diubah menjadi lebih banyak unsur masyarakat. Lalu, dalam melaksanakan tugasnya, LSF tidak bisa lagi seenaknya memenggal adegan tanpa dialog dengan pemilik film.

Apalagi, setidaknya sejak tiga tahun terakhir ini, gerakan Sensor Mandiri yang dimotori oleh Anggota LSF saat ini, mendapat sambutan baik dan merupakan gerakan yang bagus. Gerakan ini menyasar dua pihak sekaligus, yakni kepada pembuat film agar menyesuaikan dengan aturan yang ada; dan kepada masyarakat agar menonton sesuai dengan golongan atau kriteria usianya.

Kemungkinan lain dari “kekeliruan” mitra kerja ini adalah kekacauan DPR memahami perbedaan antara Dewan Pers; Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan LSF. Pengaturan Dewan Pers terdapat dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers; KPI diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran; sedangkan LSF ada di dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman.

LSF dan KPI memupunyai latar belakang sejarah yang berbeda. Singkatnya, LSF itu meneruskan kebijakan kolonial Belanda; KPI lahir dari sejarah politik yang relatif baru. Pada zaman Orde Baru, lembaga penyiaran di bawah kontrol penuh penguasa dan digunakan secara maksimal untuk kepentingan penguasa. Pada era reformasi, penyiaran didasarkan prinsip keberagaman isi dan kepemilikan yang menempatkan publik sebagai pemilik dan pengendali ranah penyiaran. Penyiaran, antara lain, radio dan televisi, menggunakan frekuensi milik publik.

Lalu, karena spektrum frekuensi radio merupakan ranah publik dan sumber daya alam yang terbatas, frekuensi tersebut harus digunakan untuk kepentingan publik. Dengan demikian, lembaga penyiaran diharapkan dapat menjalankan fungsi pelayanan informasi publik yang sehat dalam arti seluas-luasnya. Untuk menjaga tujuan itulah dibentuk KPI.

Jadi, kata kunci tentang KPI adalah “penggunaan frekuensi milik publik yang terbatas”. Sementara bioskop adalah usaha swasta murni yang tidak ada urusan dengan frekuensi publik. Orang menonton film di bioskop tidak gratis seperti menonton televisi publik. Bahwa ada film yang kemudian ditayangkan oleh televisi lalu diawasi oleh KPI, hal itu boleh-boleh saja.

Apa sebenarnya yang mengkhawatirkan jika LSF – dan perfilman – menjadi mitra tetap Komisi Komunikasi? Persoalannya tentu bukan sekadar masalah legalitasnya, tetapi juga menunjukkan paradigma yang tidak berubah sejak Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi sekarang ini. Bisa jadi kemudian muncul bayangan menakutkan tentang segala hal yang bisa terjadi di kemudian hari. Pertama, misalnya, posisi film sebagai produk seni budaya akan tereduksi menjadi “sekadar” produk komunikasi massa. Kedua, secara politis situasi itu akan dirasa mundur ke era Orde Lama atau Orde Baru, ketika pemerintah memegang kontrol utama dalam hal seni dan informasi. Ketiga, khusus mengenai keanggotaan LSF, dikhawatirkan DPR akan terlalu jauh terlibat dalam seleksi keanggotaannya.

Film memang tidak semata-mata produk hiburan. Ia bisa memberi informasi atau bermuatan ideologi tertentu. Namun, film sebagai karya seni tetaplah harus dipandang sebagai produk seni budaya. Para seniman yang berkreasi itu dilindungi oleh undang-undang dasar, Undang-Undang Hak Asasi Manusia, juga Undang-Undang Hak Cipta.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1771 seconds (0.1#10.140)