Utang Bayar Bunga Utang

Kamis, 15 Juni 2017 - 07:01 WIB
Utang Bayar Bunga Utang
Utang Bayar Bunga Utang
A A A
TARIK utang untuk bayar bunga utang masih sulit dihindari pemerintah untuk tahun depan. Dalam rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018, praktik ”gali lubang tutup lubang” ini tecermin dalam posisi defisit keseimbangan primer (selisih antara pendapatan negara dikurangi belanja negara tanpa memperhitungkan pembayaran bunga utang) yang diprediksi pada kisaran Rp50 triliun hingga Rp99 triliun.

Memang dalam postur APBN tahun depan defisit anggaran dibuat cukup lebar. Defisit anggaran diasumsikan 1,9% hingga 2,3% terhadap produk domestik bruto (PDB) dengan belanja anggaran sebesar Rp2.204 triliun sampai dengan Rp2.349 triliun.

Sejak kapan terjadi defisit keseimbangan primer? Mengutip data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), negeri ini sudah mengalami defisit keseimbangan primer sejak 2012 sebesar Rp52,7 triliun, setahun kemudian atau 2013 membengkak menjadi sekitar Rp98,6 triliun, lalu 2014 mengalami penurunan tipis menjadi Rp93,2 triliun.

Namun tahun berikutnya atau 2015 meroket lagi hingga sebesar Rp142,4 triliun dan kembali melemah pada 2016 yang terekam sekitar Rp105,5 triliun serta untuk tahun ini diprediksi sebesar Rp109 triliun. Apa boleh buat, kemampuan pemerintah membayar bunga utang dari penerimaan negara tak sampai. Salah satu solusinya adalah menarik utang baru untuk melunasi bunga utang.

Seberapa besar utang pemerintah saat ini? Berdasarkan data yang dirilis Kemenkeu, total utang pemerintah mencapai Rp3.667,41 triliun pada posisi akhir April 2017. Yang menarik dicermati adalah penarikan utang pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tercatat cukup besar.

Tengok saja utang pemerintah pada akhir 2014 terlampir sebesar Rp2.604,93 triliun. Jadi kalau dihitung kenaikan utang pemerintah selama 2,5 tahun di masa pemerintahan Presiden Jokowi mencapai Rp1.062,48 triliun.

Masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga tak luput dari penambahan utang, tetapi tidak sederas zaman sekarang. Dalam periode kedua pemerintahan Presiden SBY, yakni 2010 sampai dengan 2014, total penarikan utang sebesar Rp1.019 triliun. Hanya saja pada era Presiden SBY, keuangan negara terbebani oleh subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan tarif listrik.

Dalam dua tahun terakhir ini, diakui Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Darmin Nasution, pemerintah memang banyak menarik utang untuk membiayai sarana infrastruktur yang menjadi fokus pembangunan.

Terlepas dari penjelasan formal soal penambahan utang pemerintah yang cukup besar, memang ada beberapa situasi dalam dua tahun terakhir ini ”memaksa” pemerintah untuk berutang lebih besar lagi.

Pada 2015, tercatat kenaikan utang sangat signifikan disebabkan target pajak yang dipatok jauh lebih besar daripada tahun sebelumnya. Celakanya situasi perekonomian nasional tidak mendukung alias melambat, sedangkan anggaran belanja yang dikucurkan sangat besar.

Akibatnya penarikan utang pun jadi solusi efektif yang ditempuh pemerintah. Tahun lalu pemerintah kembali dihantui penarikan utang yang besar. Namun ”pedang” Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani berhasil memangkas belanja pemerintah pusat dan transfer ke daerah pada pertengahan tahun.

Dari total utang pemerintah pusat sebagian besar berbentuk surat utang atau surat berharga negara (SBN). Tercatat nilai penerbitan SBN mencapai Rp2.932,69 triliun hingga periode April 2017.

Adapun pinjaman dalam bentuk bilateral maupun multilateral tercatat sebesar Rp734,71 triliun. Data jenis utang pemerintah tersebut hasil publikasi dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu.

Secara bilateral, negara pemberi utang terbesar adalah Jepang di urutan teratas, lalu Prancis dan Jerman. Adapun secara multilateral berasal dari Bank Dunia, lalu Bank Pembangunan Asia, dan Bank Pembangunan Islam.

Meski total utang sudah menembus Rp3.667,41 triliun, pemerintah menyatakan masih dalam kondisi terkontrol, dengan alasan bahwa rasio utang terhadap PDB masih dalam batas aman, yakni di bawah 30%.

Pemerintah pun mengklaim bahwa utang yang ada sekarang masih dalam kategori produktif untuk pembangunan sarana infrastruktur. Kita percaya bahwa utang masih produktif. Namun bagaimana dengan fakta menarik utang untuk bayar bunga utang?
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3698 seconds (0.1#10.140)