Kebebasan Berpendapat di Dalam UUD 45

Senin, 25 September 2023 - 17:15 WIB
loading...
Kebebasan Berpendapat di Dalam UUD 45
Romli Atmasasmita, Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran. Foto/Dok. SINDOnews
A A A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran

STUDI yang bersifat rasional dalam hukum adalah sejarah, menurut Oliver Wendell Holmes, dalam karya terkenal pada zamannya sebelum PD II, The Path of the Law. Karena sejarah itulah yang dapat membuka seterang-terangnya keadaan sebenarnya dari suatu (perkembangan hukum). Oleh karena itu, jangan selalu melupakan sejarah pembentukan hukum (undang-undang/UU).

Pola pemikiran bersejarah ini dikenal dalam doktrin hukum, penafsiran teleologis. Selain penafsiran tersebut juga untuk jelasnya suatu ketentuan UU diperlukan penafsiran sistematis, sosiologis, yuridis, dan komparatif. Kelima jenis penafsiran hukum tersebut sering dilupakan dalam praktik karena aparatur hukum sering terpaku pada fakta dan penafsiran sistematis-logis saja.

Begitu pula di dalam menafsirkan ketentuan-ketentuan Bab XA UUD45 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Pembentuk UUD45 Perubahan Kedua yang disahkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tanggal 19 Oktober 1999. Di dalam UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Per-UU-an telah dinyatakan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam peraturan perundang-undangan. Sedangkan Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara.

Dengan demikian, setiap orang yang menjadi warga negara Indonesia wajib dan sudah dengan sendirinya mengetahui dan memahami segala hal ikhwal tentang ketentuan yang tercantum di dalam UUD45, Konstitusi RI sebagai Negara Kesatuan dan tidak ada alasan kekecualian penafsiran lain selain yang tertulis di dalamnya (lex scripta dan lex stricta).

Ketentuan tentang HAM di dalam UUD 45 berbeda dengan ketentuan HAM sebagaimana diatur dalam ICCPR yang diadopsi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berdasarkan Resolusi 2200A (XXI) pada tanggal 16 Desember 1966. Kovenan tentang Hak-Sipil dan Hak Politik tahun 1966 tersebut telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights.

Pada Bagian Menimbang Kovenan tersebut dicantumkan pertimbangan sebagai berikut: Mengakui bahwa sehubungan dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM), suatu idealisme tentang kebebasan umat manusia untuk menikmati kebebasan/kemerdekaan atas hak sipil dan politik dari ketakutan dan kekurangan yang dapat dicapai jika keadaan diciptakan di mana setiap orang (berhak) menikmati hak-hak sipil dan hak politik, juga hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.

Bersamaan dengan keberadaan Hak Asasi Manusia tersebut, dan mengingat kewajiban negara-negara di bawah Piagam PBB untuk menjunjung tinggi dan menghargai serta memahami, hak asasi manusia dan kebebasannya. Dan menyadari bahwa setiap inidvidu memiliki kewajiban terhadap orang lain dan terhadap masyarakatnya di mana ia berada. Setiap individu memiliki kewajiban untuk memperkuat perlindungan dan pemahaman untuk menghargai hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini.

Bagian Ketiga dari Menimbang Kovenan tersebut di atas merupakan kata kunci dari perjuangan setiap orang (individu) anggota masyarkat Indonesia untuk sungguh-sungguh menjunjung tinggi, memahami secara benar tentang adanya Kewajiban selain Hak (asasi) yang selalu dilontarkan di dalam berbagai ajang demonstrasi-demonstrasi memperjuangkan hak-haknya.

Intinya HAM harus dan tidaklah lengkap jika tidak dilekatkan padanya Kewajiban Asasi Manusia. Namun di dalam Piagam Universal HAM PBB tidak dinyatakan apa yang menjadi parameter Hak Asasi Manusia tersebut. Sehingga dapat ditafsirkan merupakan Hak Asasi Manusia yang bersifat universal (sama) bagi setiap bangsa di semua negara. Sedangkan dalam peta politik global, PBB terdiri dari 193 negara merdeka dan memiliki Dewan Keamanan PBB yang beranggotakan, 15 anggota tetap (Amerika Serikat, Inggris, Prancis, RRC, Rusia) dan 10 anggota tidak tetap.

Hal yang sering diabaikan negara termasuk pendudukannya adalah bahwa selain hak sipil dan hak politik juga diakui hak sosial dan budaya yang berbeda-beda pada setiap bangsa dan negara. Indonesia termasuk Negara Kepulauan (Archipelagic State) yang diakui baik di forum internasional maupun di dalam UUD45. Pasal 25 E yang mengakui bahwa Indonesia adalah sebuah kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah dan batas-batas haknya ditetapkan dalam undang-undang.

Begitu pula dalam Deklarasi HAM diikuti negara anggota ASEAN telah dinyatakan pula bahwa, negara-negara anggota ASEAN tidak mengakui Prinsip HAM yang bersifat Universal. Namun, secara eksplisit Deklarasi menyatakan bahwa, HAM yang diakui oleh bangsa-bangsa di ASEA adalah prinsip HAM yang bersifat partikularistik yaitu disesuaikan dengan kondisi sosio-kulural masing-masing bangsa di ASEAN.

Dengan demikian pendapat yang sangat keliru dan disesalkan jika masih ada warga negara Indonesia menyatakan bahkan memaksakan bahwa prinsip HAM Universal yang seharusnya diakui dan dijalankan di negeri ini. Karena cara-cara seperti itu bertentangan dengan hak-hak asasi manusia sebagaimana telah diakui di dalam UUD45 Perubahan Kedua tahun 1999.

Berdasarkan rujukan tersebut dapat disimpulkan bahwa, hak sosial dan hak budaya bangsa Indonesia bahkan di setiap negara berbeda-beda satu sama lain. Dan satu-satunya ciri perbedaan tersebut bagi bangsa Indonesia tentang HAM tercermin di dalam pembatasan-pembatasan yang diakui oleh bangsa Indonesia; bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bemasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Di dalam kehidupan bermsyarakat, berbangsa dan bernegara telah dimandatkan dalam Konstitusi Negara Indonesia bahwa, di dalam menjalankan hak dan kebebasannya itu setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan berdasarkan undang-undang. Dimana, pembatasan itu semata-mata menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan memenuhi tuntutan yang sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan serta ketertiban umum dalam suatu Masyarakat demokratis.

Berdasarkan UUD45 Konstitusi RI yang sah dan diakui dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka HAM tidak boleh dan sekali-kali dilarang dijalankan tanpa batas-batas melainkan harus dijalankan dengan 4 (empat) pembatasan. Yaitu: pertimbangan moral, nilai agama, ketertiban, dan keamanan (MAKK). Begitu pula seharusnya di dalam kebebasan berpendapat atas pelaksanaan pemberantasan korupsi sebagaimana telah dicantumkan dbaik di dalam ketentuan Bab V UU Nomor 31 tahun 1999 yang diubah UU Nomor 20 tahun 2001 maupun di dalam UU Nomor 9 tahun 1998 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
(poe)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1624 seconds (0.1#10.140)