Kebijakan Politik di Tengah Perang Tembakau

Senin, 22 Mei 2017 - 14:45 WIB
Kebijakan Politik di...
Kebijakan Politik di Tengah Perang Tembakau
A A A
Sidratahta Mukhtar
Dosen Ilmu Politik UKI, Peneliti Kebijakan Politik Parlemen, Alumni Legislative Fellow Program di Kongres AS

SEJAK Maret 2017 silam terjadi power interplay atau tarik-menarik kepentingan antara Presiden Joko Widodo (Jokowi), DPR, dan petani soal isu tembakau. Posisi DPR ingin menuntaskan dan memprioritaskan pembuatan UU Tembakau.

Kepentingan DPR ingin menyusun regulasi propetani tembakau di tengah iklim usaha tembakau global yang makin kompetitif. Namun Presiden Jokowi menyatakan penolakan atas RUU Tembakau.

Peristiwa pertama adalah DPR menyatakan berkeinginan melakukan pembahasan RUU Tembakau dan menunggu jawaban pemerintah. RUU Tembakau telah dibahas sejak lama.

Pembahasan paling intensif adalah dalam dua tahun masa pemerintahan Jokowi. Namun RUU ini tak kunjung disahkan. Kali ini RUU Tembakau masuk lagi dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan menjadi prioritas pembahasan. Adapun Presiden Jokowi tidak akan mengeluarkan surat presiden (surpres).

Presiden Jokowi menyalahkan rokok sebagai penyebab kemiskinan karena konsumsi rokok menempati peringkat kedua konsumsi rumah tangga miskin. Rumah tangga miskin bahkan lebih memilih rokok ketimbang belanja makanan bergizi, biaya pendidikan dan kesehatan.

Jokowi menyatakan konsumsi produk tembakau dengan jumlah yang tinggi juga menyebabkan terjadinya high cost economy yang berakibat pada beban biaya kesehatan yang tinggi dari negara maupun masyarakat.

Menariknya, Jokowi menugasi setidak-tidaknya 6 anggota kabinetnya untuk mempertahankan posisi pemerintahnya pada pembahasan RUU Tembakau di DPR. Surpres yang dikirimkan ke DPR bernomor R-16/Pres/03/2017 ditandatangani Jokowi pada tanggal 17 Maret 2017 lalu.

Pada pihak lain, Jokowi menerima Co-Chair and Trustee of the Bill and Melinda Gates Foundation, Melinda Gates, pada 23 Maret lalu. Melinda Gates Foundation adalah donatur utama gerakan antitembakau global. Melinda berjanji akan memberikan bantuan keuangan kepada pemerintah Jokowi.

Di balik proses politik itu tampak adanya suatu pertarungan kepentingan pemerintah yang paradoks, apakah membela kepentingan petani tembakau ataukah perusahaan multinasional yang "berlindung di balik" bantuan dan dukungan gerakan antitembakau global oleh Melinda Gates. Kita ketahui sesungguhnya, tak ada makan siang gratis. Bantuan Gates connection itu menyiratkan kepentingan bisnis korporasi internasional atas tembakau.

Di sini dibutuhkan sikap kenegarawanan DPR dan pemerintah. Apakah mendapatkan dana dari donor global untuk antitembakau atau melindungi petani dalam rangka swasembada tembakau guna memenuhi kebutuhan industri nasional dan mengakhiri impor tembakau yang semakin tinggi.

Godaan Dana Besar
Pembahasan RUU Tembakau termasuk paling lama dibahas di DPR. Nasibnya sama dengan misalnya UU keamanan nasional yang sarat intervensi rezim keamanan global. Jika UU Terorisme terperangkap dalam Washington Consensus "war on terrorism" Amerika Serikat, hal yang sama terjadi pada UU Tembakau ini.

Rezim ekonomi dunia seperti World Health Organization (WHO) mengeluarkan regulasi internasional, yakni Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), yang berisikan peraturan tentang pembatasan tembakau dengan alasan kesehatan. WHO melakukan pengendalian kebijakan parlemen dengan kemasan isu kemanusiaan.

Kesehatan adalah hal penting bagi manusia, tetapi membela nasib petani tembakau juga hal nyata yang menjadi tugas negara dan wakil rakyat. WHO dan Gates Foundation patut dianggap sebagai agen perusahaan farmasi raksasa internasional yang memproduksi tembakau sintetis.

Asumsi realisme mengingatkan kita akan efek lain di balik kampanye antirokok itu, yakni kepentingan bisnis perusahaan multinasional. Hukum ekonomi-politik internasional juga berlaku dalam melihat kampanye WHO, yaitu 30% kontribusi untuk anggaran WHO 2011-2012 berasal dari donor swasta, mencapai USD4,9 miliar, dengan Gates Foundation sebagai donatur utama sebesar USD220 juta. Uang tersebut berasal dari hasil perusahaan papan atas di industri kimia, farmasi, dan makanan.

Melinda Gates yang diterima Jokowi itu ditengarai sebagai tokoh internasional di balik gerakan antitembakau. Sebelumnya Bill & Melinda Gates Foundation mengumumkan sumbangan senilai USD125 juta dalam lima tahun untuk melawan tembakau, termasuk USD24 juta dalam bentuk grant kepada Bloomberg Initiative.

Bill & Melinda Gates Foundation mulai mendanai gerakan antitembakau sejak 2008. Bloomberg Philanthropies adalah perusahaan multinasional global yang mendonasikan USD1 miliar untuk "memaksakan" regulasi internasional antitembakau FCTC . Bloomberg juga menjadikan Indonesia sebagai salah satu prioritas dan telah mendonasikan lebih dari USD10 juta sejak tahun 2007 dalam gerakan antitembakau.

Tak dapat dimungkiri bahwa gerakan antitembakau dengan pendanaan miliaran dolar itu mengukuhkan gerakan antitembakau dan memberikan efek absennya regulasi tembakau yang berpihak kepada petani kita. Seperti biasa, DPR dengan mudah mendukung upaya ratifikasi FCTC yang diajukan pemerintah tanpa memikirkan desain internasional di baliknya.

Sebelum ratifikasi, tampaknya, FCTC disusupkan ke dalam UU nasional, yakni UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan selanjutnya PP No 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.

Langkah pemerintah untuk menerapkan FCTC melalui regulasi nasional merupakan langkah yang membahayakan. FCTC berisikan aturan tentang pengalihan tanaman dalam rangka membatasi suplai tembakau bagi industri. Aturan ini tentu akan sangat membahayakan petani.

Penerapan aturan ini telah menyebabkan petani tembakau terancam tidak dapat menanam tembakau lagi. Akibatnya Indonesia akan semakin terancam oleh tembakau impor yang menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun.

Selain itu FCTC banyak mengatur pembatasan industri dan standardisasi yang membahayakan industri nasional, khususnya industri kecil dan menengah. Selain itu FCTC juga mengatur pajak dan cukai tembakau yang tinggi dan mematikan industri nasional. Akibatnya secara perlahan-lahan pasar tembakau nasional akan diambil alih oleh perusahaan asing.

Wajar bila Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menyebut FCTC sebagai ancaman karena menjadi bagian proxy war. Penyebabnya, FCTC merupakan produk regulasi asing yang kemudian diadopsi sebagai kebijakan nasional yang berdampak pada kondisi ekonomi dalam negeri.

Hukum pemerintahan demokratis mestinya menomorsatukan kepentingan nasional agar kita mampu berdiplomasi di tingkat dunia dengan berwibawa dan tangguh menghadapi tekanan rezim ekonomi-politik global. Kalangan petani telah meninta pemerintah untuk menjamin kemerdekaan petani menanam tembakau dan membatasi impor tembakau.

Pasalnya sektor tembakau telah memberikan sumbangan terbesar kepada pendapatan negara melalui APBN melebihi kontribusi gabungan sektor tambang, migas, dan perkebunan sawit. Simpulan akhirnya sangat jelas bahwa pengesahan UU Tembakau menjadi konsensus nasional melindungi petani dan industri nasional.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7128 seconds (0.1#10.140)