Wacana MA Libatkan TNI Amankan Pengadilan Dinilai Tak Ada Urgensi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) mewacanakan melibatkan TNI dalam pengamanan seluruh pengadilan di Tanah Air menuai pro-kontra. Wacana tersebut dinilai bermasalah hingga tidak memiliki urgensi.
"Kami memandang bahwa pelibatan militer dalam pengamanan pengadilan di seluruh Indonesia adalah kebijakan yang bermasalah, tidak memiliki urgensi, dan berlebihan," ungkap Peneliti Senior Imparsial Al Araf dalam keterangannya dikutip, Sabtu (16/9/2023).
"Apalagi jika alasannya sebagaimana yang dikatakan oleh Plt Sekretaris MA, Sugiyanto, yaitu untuk menghindari konflik kepentingan dengan Polri, maka hal ini justru akan menyeret-nyeret institusi TNI dalam konflik kepentingan tersebut karena TNI juga memiiki kepentingan dengan Mahkamah Agung melalui peradilan militer. Pengamanan pengadilan oleh TNI tentu tidak menjawab permasalahan yang disampaikan oleh Plt Sekretaris MA tersebut," sambungnya.
Al Araf mengatakan, hadirnya TNI untuk mengamankan pengadilan justru akan menciptakan atmosfer yang intimidatif yang mengancam integritas proses penegakan hukum. Selain itu, berpotensi menghambat akses masyarakat terhadap keadilan yang akuntabel dan transparan.
"Lembaga pengadilan harus jauh dari kesan intimidatif agar rakyat dapat secara leluasa mencari dan mengupayakan keadilan bagi mereka. Pengamanan pengadilan oleh TNI justru dapat mengubah proses hukum menjadi pengalaman yang menakutkan bagi pihak-pihak yang sedang berperkara," katanya.
Al Araf memandang penegakan hukum dan keamanan pengadilan merupakan tanggungjawab pemerintah dan aparat penegak hukum yang secara eksklusif harus dilakukan oleh lembaga yang sudah memiliki tugas dan wewenang di bidangnya, misalnya satuan pengamanan khusus dan kepolisian.
"Pengamanan pengadilan oleh TNI harus dihindari untuk memastikan tegaknya prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia selama proses penegakan hukum," ujarnya.
Al Araf menegaskan, pengamanan pengadilan oleh TNI tidaklah termasuk tugas pokok dan fungsi TNI sebagaimana telah diatur secara jelas dalam Pasal 6 dan 7 Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Jika pengamanan pengadilan oleh TNI dijalankan dalam rangka tugas pokok terkait operasi militer selain perang, seharusnya hal tersebut didasarkan pada keputusan politik negara (Pasal 7 ayat 3 UU TNI), bukan keputusan MA.
Yang dimaksud dengan keputusan politik negara, lanjut dia, adalah kebijakan politik pemerintah bersama-sama dengan DPR yang dirumuskan melalui mekanisme hubungan kerja antara pemerintah dan DPR (Penjelasan Pasal 5 UU TNI).
"Wacana MA untuk melibatkan prajurit TNI sebagai satuan pengamanan di lingkungan pengadilan di seluruh Indonesia bertentangan dengan UU TNI dan mengganggu profesionalitas TNI karena menarik jauh TNI ke dalam tugas-tugas sipil di luar tugas pokok dan fungsinya," tegasnya.
Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) berencana bekerja sama dengan militer untuk pengamanan di pengadilan. Selama ini, pengamanan hanya dilakukan kepolisian dan selalu mendapat kendala.
"Kami memandang bahwa pelibatan militer dalam pengamanan pengadilan di seluruh Indonesia adalah kebijakan yang bermasalah, tidak memiliki urgensi, dan berlebihan," ungkap Peneliti Senior Imparsial Al Araf dalam keterangannya dikutip, Sabtu (16/9/2023).
"Apalagi jika alasannya sebagaimana yang dikatakan oleh Plt Sekretaris MA, Sugiyanto, yaitu untuk menghindari konflik kepentingan dengan Polri, maka hal ini justru akan menyeret-nyeret institusi TNI dalam konflik kepentingan tersebut karena TNI juga memiiki kepentingan dengan Mahkamah Agung melalui peradilan militer. Pengamanan pengadilan oleh TNI tentu tidak menjawab permasalahan yang disampaikan oleh Plt Sekretaris MA tersebut," sambungnya.
Al Araf mengatakan, hadirnya TNI untuk mengamankan pengadilan justru akan menciptakan atmosfer yang intimidatif yang mengancam integritas proses penegakan hukum. Selain itu, berpotensi menghambat akses masyarakat terhadap keadilan yang akuntabel dan transparan.
"Lembaga pengadilan harus jauh dari kesan intimidatif agar rakyat dapat secara leluasa mencari dan mengupayakan keadilan bagi mereka. Pengamanan pengadilan oleh TNI justru dapat mengubah proses hukum menjadi pengalaman yang menakutkan bagi pihak-pihak yang sedang berperkara," katanya.
Al Araf memandang penegakan hukum dan keamanan pengadilan merupakan tanggungjawab pemerintah dan aparat penegak hukum yang secara eksklusif harus dilakukan oleh lembaga yang sudah memiliki tugas dan wewenang di bidangnya, misalnya satuan pengamanan khusus dan kepolisian.
"Pengamanan pengadilan oleh TNI harus dihindari untuk memastikan tegaknya prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia selama proses penegakan hukum," ujarnya.
Al Araf menegaskan, pengamanan pengadilan oleh TNI tidaklah termasuk tugas pokok dan fungsi TNI sebagaimana telah diatur secara jelas dalam Pasal 6 dan 7 Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Jika pengamanan pengadilan oleh TNI dijalankan dalam rangka tugas pokok terkait operasi militer selain perang, seharusnya hal tersebut didasarkan pada keputusan politik negara (Pasal 7 ayat 3 UU TNI), bukan keputusan MA.
Yang dimaksud dengan keputusan politik negara, lanjut dia, adalah kebijakan politik pemerintah bersama-sama dengan DPR yang dirumuskan melalui mekanisme hubungan kerja antara pemerintah dan DPR (Penjelasan Pasal 5 UU TNI).
"Wacana MA untuk melibatkan prajurit TNI sebagai satuan pengamanan di lingkungan pengadilan di seluruh Indonesia bertentangan dengan UU TNI dan mengganggu profesionalitas TNI karena menarik jauh TNI ke dalam tugas-tugas sipil di luar tugas pokok dan fungsinya," tegasnya.
Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) berencana bekerja sama dengan militer untuk pengamanan di pengadilan. Selama ini, pengamanan hanya dilakukan kepolisian dan selalu mendapat kendala.
(hab)