Cerita Jenderal Besar TNI Menjaga Stabilitas ASEAN, Otak di Balik Perdamaian Filipina
loading...
A
A
A
JAKARTA - Presiden Soeharto adalah sosok yang dihormati di kawasan ASEAN . Ketika memimpin Indonesia, Jenderal Besar TNI itu berperan penting dalam menjaga perdamaian kawasan hingga menjadi tempat meminta saran para pemimpin negara di Asia Tenggara.
Seperti dirasakan Presiden Filipina (periode 1992-1998), Fidel Ramos saat bertemu dengan Presiden Soeharto saat ulang tahun ke-25 penobatan Sultan Hassanal Bolkiah sebagai penguasa Kesultanan Brunei Darussalam pada Oktober 1992. Waktu itu, ia baru empat bulan dilantik menjadi Presiden Filipina.
"Acara yang megah itu dihadiri oleh seluruh pemimpin negara-negara di Asia Tenggara dan Presiden Soeharto adalah tokoh paling senior di antara kami," kata Fidel Ramos dalam buku Pak Harto The Untold Stories dikutip, Rabu (6/9/2023).
Fidel Ramos memanfaatkan pertemuan itu menyampaikan gagasannya membentuk cluster dalam ASEAN yang disebut BIMP EAGA (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipinan East ASEAN Growth Area). Cluster ini meliputi daerah-daerah terdekat Filipina, yakni Sabah, Serawak (Malaysia); seluruh wilayah Brunei; Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Maluku, dan Sulawesi (Indonesia).
Melalui BIMP EAGA diharapkan tidak ada batasan bagi penduduk di wilayah-wilayah tersebut untuk melakukan perdagangan bebas. Tujuannya untuk menggairahkan perekonomian di wilayah tersebut, sehingga dapat menunjang turisme.
"Saya menyampaikan hal itu kepada Pak Harto yang di lingkungan para pemimpin ASEAN, kami memosisikannya sebagai saudara tua. Kami sangat mendengarkan dan memperhatikan pandangan-pandangannya," kata Fidel Ramos.
Di acara tersebut, kata Fidel Ramos, para pemimpin ASEAN, yang saat itu masih berjumlah lima orang, berbincang layaknya sebuah keluarga. Fidel melihat Soeharto adalah tokoh sangat diplomatis, murah senyum, dan suka menolong.
Kesempatan itu juga digunakan Fidel Ramos untuk meminta bantuan kepada Soeharto terkait penyelesaian konflik internal dalam negeri Filipina. Waktu itu, di Filipina terjadi pemberontakan kaum muslim Moro yang digerakkan oleh Moro National Liberation Front (MNLF). Kelompok pimpinan Nurmisuari di Filipinan Selatan itu menuntut kemerdekaan.
Fidel Ramos ingin mengedepankan proses perdamaian dalam penyelesaian masalah tersebut, sehingga membutuhkan dukungan para pemimpin ASEAN. "Saya sampaikan hal itu kepada Pak Harto, Beliau mendukung isu perdamaian yang saya sampaikan," tuturnya.
Berbekal dukungan dari saudara tua, Fidel Ramos kemudian melakukan pendekatan dengan pemimpin Libya, Muammar Khadafi yang memiliki pengaruh kuat terhadap gerakan MNLF. Khadafi pun menyambut baik proses perdamaian di Filipina Selatan dan menyarankan agar pemerintah Filipina dan MNLF bertemu di tempat netral.
Dengan difasilitasi Soeharto, pertemuan pemerintah Filipina dan MNLF akhirnya dilaksanakan di Istana Cipanas, Jawa Barat, 14-17 April 1993. Perundingan yang dihadiri seluruh faksi yang bertikai itu membuahkan kesepakatan damai.
"Perundingan itu membuahkan sejarah besar bagi kami bangsa Filipina. Mempersatukan kembali bangsa kami yang beragam dalam naungan kesatuan nasional Filipina," kata Fidel Ramos.
Presiden Soeharto menerima kunjungan PM Singapura Lee Kuan Yew di Istana Negara Jakarta pada 25 Mei 1973. FOTO REPRO/KOLEKSI MUSEUM PURNA BHAKTI PERTIWI
Cerita lain dituturkan Perdana Menteri Singapura (periode 1959–1990), Lee Kuan Yew. Ketika Phnom Penh (Ibu Kota Kamboja) dan Saigon (sekarang bernama Ho Chi Minh City, ibu kota Vietnam) jatuh pada 1975, beberapa negara regional buru-buru mengakui Indochina (pemerintah komunis Vietnam dan Khmer Merah di Kamboja). Namun Soeharto menyampaikan kepada Lee Kuan Yew bahwa ASEAN melanjutkan kebijakan yang berbeda terhadap persoalan Indochina.
Menurut Lee Kuan Yew, Soeharto menciptakan suatu era stabilitas yang membangkitkan keyakinan internasional di wilayah ASEAN dan membuatnya atraktif untuk investasi asing serta mendorong kegiatan ekonomi.
"Pada saat itu, perkembangan ekonomi penting untuk menjaga wilayah ini dari ketidakpuasan dalam negeri yang dapat mendorong terciptanya pro-komunis," katanya.
Sebagai negara besar di kawasan, kata Lee Kuan Yew, Indonesia di bawah Presiden Soeharto, tidak menjadi negara hegemoni, tidak bersikeras terhadap pandangan sendiri, dan mempertimbangkan kepentingan negara lain di ASEAN.
"Sikap ini membuat Indonesia diterima oleh anggota ASEAN lain sebagai the first among equals atau yang terutama di antara yang sederajat, dan memungkinkan ASEAN berkonsolidasi di tengah saat-saat tidak menentu dan bergejolak," katanya.
Presiden Soeharto menyambut Yang Mulia Sultan Hasanal Bolkiah saat peresmian Gedung Kerja Sama Teknik Selatan-Selatan di Gedung GNB, Kemayoran, Jakarta. FOTO REPRO/SETNEG
Perdana Menteri Malaysia (periode 1981-2003, 2018-2020), Mahathir Mohamad menganggap Soeharto sebagai sahabat. Setiap ada masalah antara Malaysia dan Indonesia, ia dan Soeharto bicara baik-baik, sehingga tidak membesar dan membuat buruk hubungan kedua negara.
"Malaysia memiliki masalah dengan Thailand, Singapura, Filipina, Brunei Darussalam, dan Indonesia. Tetapi yang paling mudah diselesaikan adalah dengan Indonesia. Saya merasa berutang budi terhadap Indonesia dan Pak Harto," katanya.
Senada juga disampaikan Perdana Menteri Brunei Darussalam, Hasanal Bolkiah. Ia ingat ketika pertemuan pertamanya dengan Presiden Soeharto di Jakarta pada April 1981. Waktu itu, Soeharto mendorong Brunei yang belum sepenuhnya merdeka masuk ke dalam organisasi ASEAN. Dorongan Soeharto terealisasi tiga tahun kemudian. Brunei masuk menjadi anggota ASEAN pada 7 Januari 1984 atau seminggu setelah hari kemerdekaannya.
"Presiden Soeharto sangat dihormati di kalangan pemimpin negara di rantau ini dan adalah antara pemimpin yang sangat berjasa pada ASEAN. Beliau merupakan salah seorang pengasas ASEAN dan telah memainkan peranan yang penting dalam membangun ASEAN," katanya.
Seperti dirasakan Presiden Filipina (periode 1992-1998), Fidel Ramos saat bertemu dengan Presiden Soeharto saat ulang tahun ke-25 penobatan Sultan Hassanal Bolkiah sebagai penguasa Kesultanan Brunei Darussalam pada Oktober 1992. Waktu itu, ia baru empat bulan dilantik menjadi Presiden Filipina.
"Acara yang megah itu dihadiri oleh seluruh pemimpin negara-negara di Asia Tenggara dan Presiden Soeharto adalah tokoh paling senior di antara kami," kata Fidel Ramos dalam buku Pak Harto The Untold Stories dikutip, Rabu (6/9/2023).
Baca Juga
Fidel Ramos memanfaatkan pertemuan itu menyampaikan gagasannya membentuk cluster dalam ASEAN yang disebut BIMP EAGA (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipinan East ASEAN Growth Area). Cluster ini meliputi daerah-daerah terdekat Filipina, yakni Sabah, Serawak (Malaysia); seluruh wilayah Brunei; Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Maluku, dan Sulawesi (Indonesia).
Melalui BIMP EAGA diharapkan tidak ada batasan bagi penduduk di wilayah-wilayah tersebut untuk melakukan perdagangan bebas. Tujuannya untuk menggairahkan perekonomian di wilayah tersebut, sehingga dapat menunjang turisme.
"Saya menyampaikan hal itu kepada Pak Harto yang di lingkungan para pemimpin ASEAN, kami memosisikannya sebagai saudara tua. Kami sangat mendengarkan dan memperhatikan pandangan-pandangannya," kata Fidel Ramos.
Di acara tersebut, kata Fidel Ramos, para pemimpin ASEAN, yang saat itu masih berjumlah lima orang, berbincang layaknya sebuah keluarga. Fidel melihat Soeharto adalah tokoh sangat diplomatis, murah senyum, dan suka menolong.
Kesempatan itu juga digunakan Fidel Ramos untuk meminta bantuan kepada Soeharto terkait penyelesaian konflik internal dalam negeri Filipina. Waktu itu, di Filipina terjadi pemberontakan kaum muslim Moro yang digerakkan oleh Moro National Liberation Front (MNLF). Kelompok pimpinan Nurmisuari di Filipinan Selatan itu menuntut kemerdekaan.
Fidel Ramos ingin mengedepankan proses perdamaian dalam penyelesaian masalah tersebut, sehingga membutuhkan dukungan para pemimpin ASEAN. "Saya sampaikan hal itu kepada Pak Harto, Beliau mendukung isu perdamaian yang saya sampaikan," tuturnya.
Berbekal dukungan dari saudara tua, Fidel Ramos kemudian melakukan pendekatan dengan pemimpin Libya, Muammar Khadafi yang memiliki pengaruh kuat terhadap gerakan MNLF. Khadafi pun menyambut baik proses perdamaian di Filipina Selatan dan menyarankan agar pemerintah Filipina dan MNLF bertemu di tempat netral.
Dengan difasilitasi Soeharto, pertemuan pemerintah Filipina dan MNLF akhirnya dilaksanakan di Istana Cipanas, Jawa Barat, 14-17 April 1993. Perundingan yang dihadiri seluruh faksi yang bertikai itu membuahkan kesepakatan damai.
"Perundingan itu membuahkan sejarah besar bagi kami bangsa Filipina. Mempersatukan kembali bangsa kami yang beragam dalam naungan kesatuan nasional Filipina," kata Fidel Ramos.
Presiden Soeharto menerima kunjungan PM Singapura Lee Kuan Yew di Istana Negara Jakarta pada 25 Mei 1973. FOTO REPRO/KOLEKSI MUSEUM PURNA BHAKTI PERTIWI
Cerita lain dituturkan Perdana Menteri Singapura (periode 1959–1990), Lee Kuan Yew. Ketika Phnom Penh (Ibu Kota Kamboja) dan Saigon (sekarang bernama Ho Chi Minh City, ibu kota Vietnam) jatuh pada 1975, beberapa negara regional buru-buru mengakui Indochina (pemerintah komunis Vietnam dan Khmer Merah di Kamboja). Namun Soeharto menyampaikan kepada Lee Kuan Yew bahwa ASEAN melanjutkan kebijakan yang berbeda terhadap persoalan Indochina.
Menurut Lee Kuan Yew, Soeharto menciptakan suatu era stabilitas yang membangkitkan keyakinan internasional di wilayah ASEAN dan membuatnya atraktif untuk investasi asing serta mendorong kegiatan ekonomi.
"Pada saat itu, perkembangan ekonomi penting untuk menjaga wilayah ini dari ketidakpuasan dalam negeri yang dapat mendorong terciptanya pro-komunis," katanya.
Sebagai negara besar di kawasan, kata Lee Kuan Yew, Indonesia di bawah Presiden Soeharto, tidak menjadi negara hegemoni, tidak bersikeras terhadap pandangan sendiri, dan mempertimbangkan kepentingan negara lain di ASEAN.
"Sikap ini membuat Indonesia diterima oleh anggota ASEAN lain sebagai the first among equals atau yang terutama di antara yang sederajat, dan memungkinkan ASEAN berkonsolidasi di tengah saat-saat tidak menentu dan bergejolak," katanya.
Presiden Soeharto menyambut Yang Mulia Sultan Hasanal Bolkiah saat peresmian Gedung Kerja Sama Teknik Selatan-Selatan di Gedung GNB, Kemayoran, Jakarta. FOTO REPRO/SETNEG
Perdana Menteri Malaysia (periode 1981-2003, 2018-2020), Mahathir Mohamad menganggap Soeharto sebagai sahabat. Setiap ada masalah antara Malaysia dan Indonesia, ia dan Soeharto bicara baik-baik, sehingga tidak membesar dan membuat buruk hubungan kedua negara.
"Malaysia memiliki masalah dengan Thailand, Singapura, Filipina, Brunei Darussalam, dan Indonesia. Tetapi yang paling mudah diselesaikan adalah dengan Indonesia. Saya merasa berutang budi terhadap Indonesia dan Pak Harto," katanya.
Senada juga disampaikan Perdana Menteri Brunei Darussalam, Hasanal Bolkiah. Ia ingat ketika pertemuan pertamanya dengan Presiden Soeharto di Jakarta pada April 1981. Waktu itu, Soeharto mendorong Brunei yang belum sepenuhnya merdeka masuk ke dalam organisasi ASEAN. Dorongan Soeharto terealisasi tiga tahun kemudian. Brunei masuk menjadi anggota ASEAN pada 7 Januari 1984 atau seminggu setelah hari kemerdekaannya.
"Presiden Soeharto sangat dihormati di kalangan pemimpin negara di rantau ini dan adalah antara pemimpin yang sangat berjasa pada ASEAN. Beliau merupakan salah seorang pengasas ASEAN dan telah memainkan peranan yang penting dalam membangun ASEAN," katanya.
(abd)