Dispute Royalti Ilustrasi dalam Film

Senin, 04 September 2023 - 11:32 WIB
loading...
A A A
Tetapi, tampaknya LMKN dan LMK punya tafsir yang berbeda, sehingga berniat atau mencoba untuk menagih pembayaran royalti ilustrasi musik di dalam film. Dasarnya adalah Hak Ekonomi dari Pelaku Pertunjukan. Di dalam Undang-Undang Hak Cipta memang dikenal apa yang disebut dengan Hak Terkait. Apa itu Hak Terkait? Hak Terkait adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cipta yang merupakan hak eksklusif bagi “pelaku pertunjukan”, produser fonogram, atau lembaga Penyiaran.

Salah satu yang disebut dalam definisi di atas adalah “Pelaku Pertunjukan”. Lalu siapakah pelaku pertunjukan itu? Pelaku Pertunjukan adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama “menampilkan dan mempertunjukkan suatu Ciptaan”.

Di sini perbedaan tafsir dimulai. Misalnya, apakah ilustrator musik di dalam sebuah film termasuk “pelaku pertunjukan” yang dimaksudkan undang-undang? Mdenurut tafsir umum yang bderlaku saat ini, dan menurut saya juga menurut original intent dari pembuat undang-undang, yang dimaksud dengan “pelaku pertunjukan” adalah misalnya, penyanyi, pemain gitar solo, group band, penari, pemain pantomim, pembaca puisi atau monolog, dan seterusnya. Jadi bukan ilustrator musik dalam film yang hanya salah satu untuk dari sebuah karya jadi. Tafsir itu selaras dengan UUHC yang tidak menyebutkan bahwa ilustrasi musik dalam film termasuk hak cipta yang dilindungi.

Ilustrasi dalam film ini tentu berbeda makna atau pengertiannya dengan theme song yang biasa digunakan di akhir film atau nyanyian (lagu) yang dibawakan oleh seorang penyanyi di dalam film, yang tentunya juga sudah diperjanjikan khusus oleh Produser dan Pencipta atau Pemegang Hak Ciptanya. Mengenai theme song itu, baik yang berasal dari musik yang sudah jadi (hasil fiksasi) atau dibuat baru oleh penciptanya, biasanya dilakukan dengan perjanjian khusus antara Produser dengan Penciptanya. Biasanya pula ada klausul khusus yang membolehkan pemilik theme song tetap melakukan eksploitasi ekonomi di luar film tersebut. Semua tergantung bunyi kontraknya. Di dalam kontrak perdata semacam itu, berlaku asas pacta sunt servanda, yakni “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dan yang pasti tidak ada urusan dengan bioskop atau platform lain yang menayangkan film tersebut.

Benar, bahwa mereka yang masuk dalam ketagori “Pelaku Pertunjukan” memiliki Hak Ekonomi (Pasal 23 Ayat 1). Hak ekonomi Pelaku Pertunjukan sebagaimana dimaksud pada ayat 1) meliputi hak melaksanakan sendiri, memberikan izin, atau melarang pihak lain untuk melakukan: a. Penyiaran atau Komunikasi atas pertunjukan Pelaku Pertunjukan; b. Fiksasi dari pertunjukannya yang belum difiksasi; c. Penggandaan atas Fiksasi pertunjukannya dengan cara atau bentuk apapun; d. Pendistribusian atas Fiksasi salinannya; pertunjukan atau e. penyewaan atas Fiksasi pertunjukan atau saiinannya kepada publik; dan f. penyediaan atas Fiksasi pertunjukan yang dapat diakses publik.

Namun, karena ilustrator dalam sebuah film bukanlah “Pelaku Pertunjukan” tersendiri, maka Produser, bioskop dan platform lain tidak dapat dituduh sebagai pihak yang melakukan Penyiaran atau Komunikasi atas sebuah pertunjukan secara ilegal. Kalaupun tuduhan itu dipaksakan, mestinya dengan mudah Produser menunjukkan kontrak di antara mereka yang menyatakan bahwa penayangan di bioskop itu sudah mendapat izin dan sudah dibayar sebelumnya termasuk untuk penayangannya kepada publik. Sebab, sekali lagi, untuk maksud penayangan film di gedung bioskop ataun platform lain itulah Produser merekrut dan membayar sang ilustrator musik.

Meski tidak mengenai musik, kesalahan atau perbedaan tafsir LMKN atas terminologi “Pelaku Pertunjukan” di atas bisa merembet ke mana-mana dan berpotensi untuk memperberat pertumbuhan industri perfilman nasional. Kenapa? Salah satu komponen dalam film adalah pemain, baik pemeran utama atau figuran (talent). Dengan dalih yang sama seperti yang dimegerti LMKN, maka setiap pemain akan meminta pembayaran royalti lagi karena pihak bioskop atau platform lain telah menyiarkan hasil aktingnya di dalam film. Seorang pemain bisa beralasan bahwa dia adalah “pelaku pertunjukan” dan telah memainkan perannya, misalnya sebagai sopir taksi yang bagus, dan itu adalah karya tersendiri yang harus dibayar ulang. Padahal, menjadi sopir taksi itu adalah peran yang diberikan Produser dan untuk itu dia dibayar. Penonton bioskop tidak membeli tiket khusus untuk menonton akting sopir taksi itu, tapi melihat film sebagai karya sinematografi secara keseluruhan.

Bisa dibayangkan akibatnya jika setiap komponen di dalam film melakukan hal yang sama? Berapa biaya tambahan yang harus dikeluarkan oleh Produser? Padahal, tidak semua film mendatangkan untung. Tidak sedikit film yang justru kurang mendapat sambutan masyarakat alias rugi.

Hal lain yang juga berpotensi menimbulkan keributan adalah soal besaran angka yang ditetapkan oleh LMKN. Melalui Keputusan Menteri Hukum dan HAM No. HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016, tarif royalti untuk bioskop dipungut secara lumpsum sebesar Rp. 3.600.000,- (tiga juta enam ratus ribu rupiah) per layar per tahun. Besaran angka tersebut, sejauh yang saya tahu, tidak pernah dirundingkan dengan pihak-pihak terkait, yakni pihak Bioskop dan Produser. Sehingga penetapan tersebut semena-mena dan bisa dianggap memberatkan.

Lalu, penarikan royalti secara lumpsum juga bisa mengundang perdebatan serius. Hak Cipta adalah hak eksklusif milik Pencipta baik yang dilakukan sendiri atau bersama orang lain. Maka, konpensasi atau nilai ekonomi yang timbul dari sebuah Ciptaan haruslah diberikan kepada masing-masing Pencipta. Selain itu, nilai sebuah ciptaan bisa berbeda-beda harganya tergantung si pencipta. Maka, penarikan secara lumpsum bisa saja mengutungkan buat salah satu pencipta, tapi bisa dianggap merugikan bagi pencipta yang lain.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2303 seconds (0.1#10.140)