Kalau Penyadapan Harus Izin, Sama Saja Menyuruh Kita Tidak Ada OTT

Senin, 06 Maret 2017 - 13:25 WIB
Kalau Penyadapan Harus Izin, Sama Saja Menyuruh Kita Tidak Ada OTT
Kalau Penyadapan Harus Izin, Sama Saja Menyuruh Kita Tidak Ada OTT
A A A
JAKARTA - Di tengah pesimisme publik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuktikan kiprahnya. Tahun 2016, misalnya, lembaga anti rasuah itu berhasil melakukan operasi tangkap tangan (OTT) 17 kali.

Hal ini merupakan OTT terbesar dalam sejarah KPK sejak berdiri pada 2002. Meski begitu, KPK mengakui masih banyak pekerjaan dan tantangan yang harus diselesaikan, termasuk upaya pelemahan KPK. Hal yang tak kalah penting adalah bagaimana penindakan dan pen cegahan harus berjalan beriringan.

KPK percaya pencegahan merupakan bagian penting dari upaya penin dak an korupsi yang telah membudaya di negara ini. Berikut petikan wawan cara tim KORAN SINDO khusus dengan Ketua KPK Agus Rahardjo, Senin 27 Februari 2017.

Pencapaian KPK di tahun 2016 cukup gemilang. Apa strateginya?
Kalau prestasi pasti itu hasil kerja anak-anak (penyelidik, penyidik, dan penuntut) yang bekerja di lapangan ya. Walaupun kita memang mendorong dan mendukung. Jadi kami mungkin sedikit terpacu karena waktu pertama kali masuk kan hampir kebanyakan orang underestimate terhadap kami. Jangan-jangan lari hanya ke pencegahan. Saya mungkin sudah pernah cerita.

Pertama kali saya masuk malah yang saya lihat penindakan. Kami kekurangan alat apa, perlu apa lagi yang kita tambah. Kemudian secara periodik saya selalu mendatangi, mengontrol. Jadi, seperti hari ini, (akhirnya) banyak kerja (penindakan) karena bagaimanapun pencegahan yang paling baik yang dengan penindakan.

Sejauh ini apa saja kendala yang ditemukan?
Berbicara mengenai kendala, saya terus terang belum berhasil (menanganinya). Inginnya ketika ada OTT, ada kasus, kita sentuh (sampai tuntas). Maksudnya, persoalan di kasus tersebut terbongkar semua.

Anda bisa melihat kasus daging itu, dulu pernah kita tangani, sekarang muncul lagi, kasus Pak BHR. Itu kan berarti yang dulu (kasus suap kuota impor daging sapi yang melibatkan Luthfi Hasan Ishaaq, Ahmad Fathanah, Maria Elizabeth Liman, dkk) enggak selesai.

Saya pengin itu kalau OTT ada satu tim yang membawa ke penuntutan. Lalu, ada tim lain yang mengembangkan sehingga jaringan-jaringannya itu bisa (terbongkar). Tapi itu kendalanya juga bukan main.

Bisa dijelaskan lebih detail soal kendala yang dimaksud?
Anda bayangkan saja kalau kemudian saksi utamanya itu diam. Bungkam. Itu kan kemudian hubungan dengan yang lain menjadi sangat anu (sulit terungkap). Jadi memang kita misalkan Pak Syarif (Wakil Ketua KPK Laode M Syarif ) pernah berbicara grand corruption, (kasus) reklamasi itu harapan kita besar. Tapi, begitu saksi utamanya diam, hubungan ke anu (aktor besar) seperti terputus kan?

Nah, kita mencoba menggalinya seperti dari awal lagi. Jadi seperti kasus ini akhirnya enggak banyak bermanfaat karena saksi utamanya diam. Karena itu, kita di dalam selalu banyak (memberi) kesempatan supaya orang mau membuka (kasus).

Kita tawari menjadi justice collaborator. Itu sebenarnya upaya mengungkap hubungan tadi supaya lebih terbuka, menjadi lebih jelas. Tapi itu juga susah.

Bagaimana upaya Anda untuk mengatasi kendala-kendala itu?
Jadi, kesulitan-kesulitan kami begitu. Tapi kami tetap mencoba menyelesaikan kasus. Kami mau membuat pencegahan jauh lebih efektif dibanding yang lain. Pencegahan hari ini bukan hanya sosialisasi, bukan hanya edukasi. Tapi harus ada aksi, harus ada langkah nyata.

Kita membuat (aplikasi) JAGA yang sekarang ada di Android Anda. Itu (JAGA) salah satu bentuk dari partisipasi masyarakat untuk melakukan pengawasan publik. Jadi, kalau itu (misalnya) JAGA Perizinanku akan sangat berpengaruh kepada keep of doing business.

Di hari ini baru di kabupaten, kota, dan provinsi. Itu pun belum lengkap. Saya masih mendorong mana kabupaten yang terlibat, mana provinsi yang terlibat. Memang, mengembangkan seperti itu (aplikasi JAGA) enggak mudah.

Saya mengembangkan e-Proc (e-procurement). Dulu saya pernah (di Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah/LKPP), e-Proc itu baru bisa membawa transaksi Rp120 miliar di tahun pertama, lalu 8 tahun kemudian angkanya Rp360 triliun. Padahal, potensinya Rp1.000 triliun.

Nah, itu berikutnya harus dikembangkan betul. Karena seperti e-Proc itu, (kalau) Rp1.000 triliun kita enggak melakukan apa-apa lagi. Kita bisa jadi hemat kok, tanpa kita melakukan apa pun. Sama, aplikasi (JAGA) juga begitu, itu (e-Proc) memerlukan kesabaran.

Apakah KPK bisa menindaklanjutinya?
Saya ingatkan juga kami (KPK) pernah pengalaman mengembangkan aplikasi yang namanya, kalau Anda ingat, mungkin “Indonesia Memantau Jalan”, “Indonesia Memantau Hutan”. Kalau model pengembangannya begitu, itu nggak akan jalan. Kita jangan berpikiran KPK bisa segalanya. KPK itu mestinya cuma sebagai overside saja. Kita kemudian serahkan itu ke kementerian/lembaga.

Kita masuk kalau mereka tidak menjaga dan mereka harus bertanggung jawab. Jadi kita cukup di situ. Jadi, awalnya kalau lihat di Android Anda kan, ada empat aplikasi. JAGA Perizinanku, JAGA Sekolahku, JAGA Puskesmasku, JAGA Rumah Sakitku.

Tapi harapan kita kan semua layanan publik nanti bisa masuk ke situ. Wong Anda hari ini kalau jadi orang Indonesia masih dihadapkan pada situasi mulai lahir sampai meninggal kan ketemu dengan praktik tipikor (tindak pidana korupsi) semua kan? Wong ngurus akta kelahiran bayarnya juga tidak sesuai dengan yang semestinya. Iya kan?

Kemudian ngurus KTP, ngurus sertifikat tanah, apa pun, SIM, STNK, apapun ya. Sekolah pun ada guru yang jualan buku. Itu semua kan harus kita luruskan. Caranya ya itu tadi, aplikasi yang baru ini (JAGA), aplikasi yang ada nanti, masyarakat harus bisa berpartisipasi mengontrol, menyempurnakan, dan memberikan saran perbaikan. Mungkin itu. Jadi sudah waktunya kalau pencegahan itu bukan hanya edukasi, tapi hasil dari edukasi itu harus kita libatkan langsung dalam langkah-langkah perbaikan.

Bagaimana Anda melihat pemberantasan korupsi saat ini?
Banyak yang kita pikirkan di tahun kedua (periode 2015- 2019) ini. Seperti kami melihat organisasi ini tidak cukup mampu mewadahi kalau kita melangkah lebih cepat.

Contoh, Anda hari ini masih melihat yang namanya orang tertangkap OTT itu, dia ngomong, saya sial. Iya kan? (Dia ngomong) saya sial karena banyak yang melakukan (korupsi) tapi enggak tertangkap.

Karena itu, sistem harus berjalan, yang terkait pun harus ditangkap. Caranya bagaimana? Caranya ya dilakukan terpisah. Organisasi penindakan itu harus terpisah. Jadi mungkin sudah waktunya orangnya duduk di KPK, di Jakarta, tapi mereka sudah mulai terbagi ke dalam wilayah-wilayah sendiri.

Maksudnya bagaimana?
Kan ketakutannya Presiden (Joko Widodo), ketakutannya Menteri Keuangan (Sri Mulyani) itu kalau KPK ada di daerah itu seperti penegak hukum yang lain dikooptasi oleh penguasa-penguasa di daerah. Jadi nanti kasus enggak bisa (naik) atau bagaimana gitu kan? Karena itu, desk-nya itu satu. Jadi desk khusus menangani kasus daerah tertentu itu juga efektifnya di sini (Jakarta). Mungkin kita mulai ada satu desk di seluruh Indonesia untuk daerah besar. Jakarta nanti sendiri.

Karena di Jakarta ini ada 84 kementerian/lembaga dan Pemda DKI. Tapi untuk seluruh daerah desk-nya satu, begitu. Nah, kalau itu nanti berfungsi, orangnya kemudian cukup, nanti itu akan sangat lebih signifikan penindakannya karena kemudian kita lebih banyak mendengar isu, lebih banyak bisa memonitor isu. Kemudian ya itu tadi, tidak bisa lagi ketemu ada perkataan “sial” ketika ada langkah penindakan.

Bagaimana dukungan pemerintah terhadap KPK termasuk soal anggaran?
Saya sudah ketemu dengan Menteri Keuangan (Sri Mulyani). Menteri Keuangan mendukung sepenuhnya. Begini perbandingannya. Anggaran tahun lalu memang di atas Rp1 triliun. Anggaran sekarang (2017) sekitar Rp700 miliar. Bukan berarti itu pengurangan yang drastis, karena di dalam Rp1 triliun itu ada untuk gedung ini (gedung baru, Gedung Merah Putih KPK). Jadi kalau untuk gedung ini, wajar dong kalau (2017) turun.

Tapi, memang karena kita mau menambah pegawai, kemudian salah satunya anggaran kurang. Nah, saya sudah ketemu dengan Menteri Keuangan, beliau akan mendukung sepenuhnya. Jadi komitmennya sangat bagus dari pemerintah. Saya juga beberapa kali bertemu Presiden dan itu menjadi perhatian beliau, itu (anggaran) akan ditambahkan.

Jadi dukung an pemerintah sangat baik. Tapi kan dukungan tidak hanya di anggaran ya. Kami juga berharap sebetulnya regulasi juga perlu menjadi pertimbangan untuk diperkuat. Banyak undang-undang yang lain mestinya perlu ditambahkan, di samping UU Pemberantasan Tipikor yang perlu diperbaiki.

Bisa dijelaskan lebih jauh soal dukungan regulasi seperti apa yang diinginkan?
Saya sejak masuk sebenarnya melihat kelembagaan KPK banyak kelemahan. Tapi kalau revisinya (UU KPK) itu arahnya adalah pelemahan KPK, pasti enggak setuju. Iya kan?

Kalau revisinya adalah tujuannya untuk memperkuat KPK, ya. (Jadi) jangan nyentuh yang melemahkanlah. Kalau namanya apa, penyadapan harus izin pengadilan, itu sama saja menyuruh kami tidak ada OTT. Karena bagaimana ada OTT kalau kita mau nanganin, mau nyadap kemudian lapor dulu. Siapa yang bisa menjamin kalau ini enggak bocor, ya kan? Banyak hal yang sebetulnya bisa diperkuat.

Contohnya kalau kita melihat kewenangan dan organisasi, sebetulnya juga tidak sebanding. Apalagi kalau yang tadi, penindakan harus diperkuat, kemudian pencegahan harus mulai ada action plan juga.

Itu pasti kemudian kita rapatkan, itu perlu diubah. Tapi perubahan revisinya (UU KPK) dalam rangka memperkuat. Kami akan menolak sama sekali kalau revisinya itu dalam rangka memperlemah.

Nah, di samping itu, masih banyak UU yang lain (perlu diadakan). Jadi, saya melihat, dibandingkan dengan UNCAC, United Nations Convention Against Corruption, yang kita sudah meratifikasi, itu kita gap-nya masih luas.

Contohnya kalau asset recovery kita belum punya undang-undang, padahal itu sangat penting untuk TPPU (tindak pidana pencucian uang). Kemudian trading influence (memperdagangkan pengaruh) kita belum punya undang-undangnya. Dan tidak kalah pentingnya adalah korupsi di private sector. (bersambung)
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5431 seconds (0.1#10.140)