Pancasila sebagai Pilar Kedamaian di Tengah Keragaman
loading...
A
A
A
JAKARTA - Wakil Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Karjono Atmoharsono membahas mengenai bahaya tindakan intoleransi bagi keutuhan bangsa. Hal ini disampaikan olehnya sebagai pembicara kunci pada acara Seminar Kebangsaan yang diselenggarakan oleh Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia (PIKI), Gambir dengan tema 'Membangun Karakter, Memperkokoh Kedaulatan Bangsa, serta Menegakkan Keadilan melalui Toleransi Beragama menuju Indonesia Emas' di Jakarta pada Jumat (25/8/2014).
"Intoleransi menghancurkan jembatan yang kita bangun menuju masa depan yang lebih baik. Kita harus merangkul perbedaan sebagai sumber kekuatan, bukan konflik. Intoleransi bukanlah jalur yang kita pilih. Saling menghormati dan saling memahami adalah kunci menuju harmoni," tutur Karjono.
Ia mencontohkan dengan negara seperti Suriah dan Afganistan yang didominasi oleh satu agama dan hanya beberapa suku bangsa. Meskipun memiliki struktur demografis yang relatif sederhana, negara ini tenggelam dalam konflik berdarah yang berkepanjangan, menghancurkan dan membelah masyarakatnya. Hal ini sangat berbeda dengan Indonesia yang justru menjadi cerminan keberhasilan Pancasila dalam menjaga kerukunan.
“Saat dunia melihat negara-negara lain yang berideologi religius terjebak dalam konflik dan perang
saudara, Indonesia, dengan keberagaman suku, budaya, dan agama yang begitu luar biasa, berhasil mengatasi potensi intoleransi dengan menjadikan Pancasila sebagai pilar utama,” ucapnya.
Dalam upaya mempertahankan kerukunan, Karjono memberikan pesan kuat kepada para peserta
seminar untuk menghadirkan damai sejahtera bagi seluruh ciptaan. Dengan menjadikan tempat
peribadatan sebagai rumah bagi umat.
Ia juga menegaskan perlunya menghormati dan menghargai tempat suci agama-agama yang berbeda. Pesan ini mencerminkan semangat Pancasila yang mengajarkan tentang persatuan dalam keberagaman, menjadi pijakan untuk mewujudkan harmoni yang langgeng atau mewujudkan kerukunan beragama.
"Kerukunan Umat Beragama akan terwujud jika kita mampu mengembangkan sikap toleransi artinya saling menghargai satu sama lain. Keberagaman dan perbedaan Agama yang ada wajib disyukuri dan bukan untuk dipertentangkan. Karena, dengan perbedaan itulah timbul rasa toleransi dan saling menghargai," ujar Karjono
Karjono juga menjelaskan bahwa agama tumbuh bersama peradaban. Jadi sudah ribuan tahun agama bersama manusia. Beragam peradaban di dunia, kebiasaan dan cara hidup yang berbeda-beda tersebut yang membuat manusia memiliki agama yang berbeda-beda pula. Keberagaman itu indah untuk tidak dipertentangkan namun menjadi kelebihan dan kekuatan.
Karjono menyatakan, "Sejarah menjadi saksi bisu atas keteguhan Indonesia dalam menjaga harmoni. Nilai-nilai Pancasila telah menyatu dalam aliran sejarahnya. Patih Gajah Mada memperkenalkan prinsip keadilan sosial, kerjasama, dan kesetaraan melalui Sumpah Palapa, yang membimbing berbagai kerajaan dan kekuatan politik di Nusantara untuk mengamalkan prinsip-prinsip yang mendekati semangat Pancasila.
Berlanjut dengan peristiwa Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 2028. Dengan sumpahnya yakni Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia, berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan,bahasa Indonesia.
"Selanjutnya sejarah telah mengukir bahwa Pidato Bung Karno 1 Juni 1945 merupakan tonggak sejarah hari lahir Pancasila yang merupakan perjanjian luhur bangsa yang kemudian menjadi pijakan dasar negara, menandai peralihan zaman dari kerajaan-kerajaan atau 57 kerajaan lebih menjadi NKRI," tuturnya.
Karjono menambahkan pentingnya Pancasila terlihat dalam upaya memperkokoh karakter kebangsaan sejak usia dini melalui jalur pendidikan dan menggarisbawahi bahwa Pancasila menjadi pedoman yang mendorong pembentukan generasi muda yang tumbuh dengan rasa cinta pada tanah air, penghargaan terhadap keragaman, dan komitmen tinggi terhadap nilai-nilai keadilan sosial.
Dengan mengintegrasikan Pancasila dalam sistem pendidikan. Indonesia tidak hanya berupaya
melahirkan individu-individu yang cerdas, tetapi juga beradab dan melahirkan sosok-sosok yang memiliki kesadaran sosial yang kuat serta toleransi yang tulus terhadap lingkungan masyarakat yang begitu beragam.
Karjono juga menjelaskan bahwa setelah adanya reformasi, ada beberapa aspek yang turut melemah. Salah satu yang sangat memprihatinkan yakni di dunia pendidikan dengan hilangnya mata ajar dan mata kuliah Pancasila, atau dihapus oleh UU 20/2003 tentang Sikdiknas.
Melalui PP 4/2022 tentang Standar Nasional Pendidikan bahwa dalam rangka pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perlu adanya penegasan bahwa Pancasila sebagai muatan wajib dalam kurikulum setiap jenjang pendidikan.
Pada akhir sambutan, Karjono menegaskan bahwa BPIP bersama Kemendibudristek telah
menyelesaikan Buku Referensi Utama Pendidikan Pancasila dan Buku Teks Pancasila. Buku tersebut merupakan kurikulum wajib untuk diterapkan mulai dari PAUD sampai dengan Perguruan Tinggi, bahkan untuk pendidikan non formal dan Informal.
Dalam acara tersebut turut hadir Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia Badikenita Putri Sitepu, Ketua Majelis Jemaat GPIB Immanuel Jakarta Pdt. Abraham Ruben Persang, Ketua I Pelaksana Harian Majelis Jemaat Immanuel Pdt. Daniel Laotongan, serta Tim Kerja Seminar Kebangsaan Pdt. Henry B. Jacob.
Lihat Juga: Implementasi Sila Pertama Pancasila, Kebebasan Beragama Hak Konstitusional yang Harus Dihormati
"Intoleransi menghancurkan jembatan yang kita bangun menuju masa depan yang lebih baik. Kita harus merangkul perbedaan sebagai sumber kekuatan, bukan konflik. Intoleransi bukanlah jalur yang kita pilih. Saling menghormati dan saling memahami adalah kunci menuju harmoni," tutur Karjono.
Ia mencontohkan dengan negara seperti Suriah dan Afganistan yang didominasi oleh satu agama dan hanya beberapa suku bangsa. Meskipun memiliki struktur demografis yang relatif sederhana, negara ini tenggelam dalam konflik berdarah yang berkepanjangan, menghancurkan dan membelah masyarakatnya. Hal ini sangat berbeda dengan Indonesia yang justru menjadi cerminan keberhasilan Pancasila dalam menjaga kerukunan.
“Saat dunia melihat negara-negara lain yang berideologi religius terjebak dalam konflik dan perang
saudara, Indonesia, dengan keberagaman suku, budaya, dan agama yang begitu luar biasa, berhasil mengatasi potensi intoleransi dengan menjadikan Pancasila sebagai pilar utama,” ucapnya.
Dalam upaya mempertahankan kerukunan, Karjono memberikan pesan kuat kepada para peserta
seminar untuk menghadirkan damai sejahtera bagi seluruh ciptaan. Dengan menjadikan tempat
peribadatan sebagai rumah bagi umat.
Ia juga menegaskan perlunya menghormati dan menghargai tempat suci agama-agama yang berbeda. Pesan ini mencerminkan semangat Pancasila yang mengajarkan tentang persatuan dalam keberagaman, menjadi pijakan untuk mewujudkan harmoni yang langgeng atau mewujudkan kerukunan beragama.
"Kerukunan Umat Beragama akan terwujud jika kita mampu mengembangkan sikap toleransi artinya saling menghargai satu sama lain. Keberagaman dan perbedaan Agama yang ada wajib disyukuri dan bukan untuk dipertentangkan. Karena, dengan perbedaan itulah timbul rasa toleransi dan saling menghargai," ujar Karjono
Karjono juga menjelaskan bahwa agama tumbuh bersama peradaban. Jadi sudah ribuan tahun agama bersama manusia. Beragam peradaban di dunia, kebiasaan dan cara hidup yang berbeda-beda tersebut yang membuat manusia memiliki agama yang berbeda-beda pula. Keberagaman itu indah untuk tidak dipertentangkan namun menjadi kelebihan dan kekuatan.
Karjono menyatakan, "Sejarah menjadi saksi bisu atas keteguhan Indonesia dalam menjaga harmoni. Nilai-nilai Pancasila telah menyatu dalam aliran sejarahnya. Patih Gajah Mada memperkenalkan prinsip keadilan sosial, kerjasama, dan kesetaraan melalui Sumpah Palapa, yang membimbing berbagai kerajaan dan kekuatan politik di Nusantara untuk mengamalkan prinsip-prinsip yang mendekati semangat Pancasila.
Berlanjut dengan peristiwa Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 2028. Dengan sumpahnya yakni Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia, berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan,bahasa Indonesia.
"Selanjutnya sejarah telah mengukir bahwa Pidato Bung Karno 1 Juni 1945 merupakan tonggak sejarah hari lahir Pancasila yang merupakan perjanjian luhur bangsa yang kemudian menjadi pijakan dasar negara, menandai peralihan zaman dari kerajaan-kerajaan atau 57 kerajaan lebih menjadi NKRI," tuturnya.
Karjono menambahkan pentingnya Pancasila terlihat dalam upaya memperkokoh karakter kebangsaan sejak usia dini melalui jalur pendidikan dan menggarisbawahi bahwa Pancasila menjadi pedoman yang mendorong pembentukan generasi muda yang tumbuh dengan rasa cinta pada tanah air, penghargaan terhadap keragaman, dan komitmen tinggi terhadap nilai-nilai keadilan sosial.
Dengan mengintegrasikan Pancasila dalam sistem pendidikan. Indonesia tidak hanya berupaya
melahirkan individu-individu yang cerdas, tetapi juga beradab dan melahirkan sosok-sosok yang memiliki kesadaran sosial yang kuat serta toleransi yang tulus terhadap lingkungan masyarakat yang begitu beragam.
Karjono juga menjelaskan bahwa setelah adanya reformasi, ada beberapa aspek yang turut melemah. Salah satu yang sangat memprihatinkan yakni di dunia pendidikan dengan hilangnya mata ajar dan mata kuliah Pancasila, atau dihapus oleh UU 20/2003 tentang Sikdiknas.
Melalui PP 4/2022 tentang Standar Nasional Pendidikan bahwa dalam rangka pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perlu adanya penegasan bahwa Pancasila sebagai muatan wajib dalam kurikulum setiap jenjang pendidikan.
Pada akhir sambutan, Karjono menegaskan bahwa BPIP bersama Kemendibudristek telah
menyelesaikan Buku Referensi Utama Pendidikan Pancasila dan Buku Teks Pancasila. Buku tersebut merupakan kurikulum wajib untuk diterapkan mulai dari PAUD sampai dengan Perguruan Tinggi, bahkan untuk pendidikan non formal dan Informal.
Dalam acara tersebut turut hadir Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia Badikenita Putri Sitepu, Ketua Majelis Jemaat GPIB Immanuel Jakarta Pdt. Abraham Ruben Persang, Ketua I Pelaksana Harian Majelis Jemaat Immanuel Pdt. Daniel Laotongan, serta Tim Kerja Seminar Kebangsaan Pdt. Henry B. Jacob.
Lihat Juga: Implementasi Sila Pertama Pancasila, Kebebasan Beragama Hak Konstitusional yang Harus Dihormati
(dsa)