Tuah Indonesia Stop Islamofobia di Eropa
loading...
A
A
A
SENIN (7/8/2023) siang, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerima kunjungan khusus Sekretaris Jenderal Organisasi Kerjasama Islam (OKI) Hissein Brahim Taha di Istana Kepresidenan, Jakarta. Pertemuan dua tokoh muslim dunia ini memiliki momentum sekaligus pesan kuat di tengah kencangnya isu Islamofobia, terutama di beberapa negara Eropa, belakangan ini.
baca juga: Paus Fransiskus Kecam Pembakaran Alquran di Swedia
Seperti diketahui, Senin (31/7/2023), dunia kembali digegerkan dengan aksi pembakaran Alquran. Yang kian memprihatinkan, kali ini pembakaran kitab suci umat Islam tersebut tak hanya terjadi di Swedia, namun juga Denmark.
Bukan sekadar menistakan, aksi bersamaan di dua tempat ini juga sungguh menyakitkan. Apa sebab? Pada waktu pembakaran, 57 negara OKI tengah menggelar rapat untuk merespons kerasaksi serupa di Swedia pada Juni lalu. Jelas sekali, aksi itu makin menunjukkan bentuk penghinaan, provokasi sekaligus agitasi tak berkesudahan.
Di Kopenhagen, Denmark, anggota kelompok anti-Islam dan ultranasionalis Danske Patrioter membakar Alquran di depan Kedutaan Besar Saudi. Sedang di Swedia, aksi pembakaran dilakukan lagi oleh Salwan Momika, sang ateis pencari suaka asal Irak, di depan gedung parlemen. Dia dibantu Salwan Najem, yang juga warga Irak, menginjak dan membakar Alquran.
Publik dunia tak henti diliputi rasa kemarahan yang memuncak atas ulah Momika dan Najem tersebut. Tak hanya OKI, sejumlah pimpinan negara Timur Tengah, organisasi kemasyarakatan juga bertubi-tubi mengecam. Namun, kecaman berbagai pihak itu seolah tak banyak arti. Swedia maupun Denmark dengan dalih konstitusi yang memberikan perlindungan hak warganya berekspresi seperti tak punya gigi.
baca juga: Akademisi Inggris: Pembakaran Alquran Adalah Tindakan Ekstremis
Memang upaya merevisi sejumlah regulasi kini tengah diwacanakan seperti halnyaSwedia. Namun sejauhmana revisi itu terjadi dan kapan bisa benar-benar dieksekusi, tampaknya masih menjadi misteri.
Situasi ini meningkatkan kekhawatiran bakal terulangnya kembali aksi penistaan Alquran. Sangat mungkin pula, karena tidak ada sanksi yang kuat, akan muncul Salwan-Salwanlain di masa mendatang. Di sisi lain, PBB juga tampak kurang berdaya melihat fenomena Islamofobia yang menggejala di sejumlah kawasan Eropa ini. Jika tak ditangani dengan cermat, kondisi ini jelas membahayakan tatanan kehidupan global yang membutuhkan rasa saling menghormati, kolaborasi dan tenggang rasa tinggi.
Lantas apa korelasinya dengan Indonesia? Pertemuan khusus Sekjen OKI dengan Presiden Jokowi awal pekan ini diharapkan tidak sekadar seremonial semata dan gagal menyentuh persoalan yang subtansial. Kedatangan Hissein Brahim Taha ke Indonesia jelas bukan sembarang tujuan. Di balik proposal misi perdamaian ataupun kesejahteraan global yang diembannya, kunjungan khusus Hissein ini menguatkan bukti bahwa bangsa ini memiliki modal besar untuk membantu menata ketertiban dunia.
Indonesia harus menyadari akan posisi strategis yang dimiliki saat ini. Jika dikelola dengan matang, potensi ini bahkan bisa menjadi energi tersendiri untuk memperkuat posisi Indonesia di tengah percaturan dunia. Setidaknya ada empat potensi besar nan strategis yang dimiliki Indonesia untuk membantu meredakan Islamofobia yang menggejala di Eropa maupun dunia, akhir-akhir ini.
baca juga: Muslim Denmark: Pembakaran Alquran Bukan Kebebasan Berekspresi
Pertama, Indonesia adalah negara dengan berpenduduk Islam terbesar di dunia yang terbukti mampu menjaga keharmonisan hidup dengan penganut agama lain. Prinsip-prinsip hidup kebangsaan yang dipraktikkan di Indonesia telah teruji dan sangat memungkinkan untuk ditransformasikan di belahan negara lain, tanpa menggerus sedikitpun nilai-nilai keagamaan dan kemanusiaan.
Kedua, Islam di Indonesia telah menjadi rujukan besar banyak negara, terutama berkaitan dengan relasi kehidupan antar umat beragama. Selama ini, kendati dianut mayoritas warganya, namun Islam di Indonesia sama sekali tak mencerminkan dan memuarakan rasa ketakutan, kecemasan atau ketakutan bagi penganut lain.
Ajaran dan praktik Islam yang membawa kedamaian bagi seluruh alam (rahmatan lilalamin) begitu kuat sehingga menciptakan keteduhan bersama. Peran besar sejumlah ormas seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah menjadi kekuatan tersendiri dalam membangun harmonisasi kehidupan beragama. Potensi besar ini pun diakui Presiden Jokowi.
Pada sambutan pembukaan ASEAN Intercultural and Interreligious Dialogue Conference (IIDC) yang digelar PBNU di Jakarta, Senin (7/8/2023), Jokowi menyebut tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap Tuhan merujuk Vue Research Center mencapai 96% atau tertinggi di dunia.
baca juga: Protes Pembakaran Alquran, Demonstran Serbu Kedutaan Swedia di Bagdad
Tingginya kepercayaan ini diyakini berbanding lurus dengan moral masyarakatnya. Kesadaran akan perbedaan dan toleransi jadi salah satu bukti. Praktik kerukunan yang terpotret sangat baik ini bahkan sudah dan terus diadopsi sejumlah negara lain seperti Afghanistan demi mencegah ketegangan di internal mereka.
Ketiga, Indonesia adalah pemain utama di kancah global. Pengakuan ini setidaknya bisa tervalidasi lewat posisi Indonesia saat ini yang sangat aktif di sejumlah organisasi berlevel global sepertiG20. Bahkan 2022 lalu, Indonesia menjadi presidensi G20. Dua organisasi besar ini beranggotakan negara-negara kuat, utamanya dari sisi ekonomi.
Pada isu Islamofobia, Indonesia bisa turut berperan aktif memberikan pencerahan maupun dorongan regulasi. Lebih strategis lagi, di G20, ada negara Islam yang turut menjadi anggota seperti Arab Saudi sehingga diharapkan gerbong perlawanan terhadap Islamofobia menjadi lebih kuat dan mengikat. Indonesia dan Saudi bisa menjadi jembatan dialog antara OKI misalnya dengan Uni Eropa.
Upaya menanamkan toleransi yang tinggi dan mewujud sebagai kebajikan global ini, seperti dalam pandangan Misrawi (2010), membutuhkan interaksi sosial melalui percakapan dan pergaulan intensif. Langkah lainnya adalah membangun kepercayaan di antara negara atau kelompok (mutual trust). Dengan kesadaran ini, maka dialog adalah sebuah keniscayaan yang perlu dilakukan dengan aktif dan matang. Khusus relasi bilateral dengan Swedia maupun Denmark, Indonesia diyakini bisa lebih luwes lantaran tak memiliki ganjalan diplomasi apapun selama ini.
baca juga: 5 Alasan Mengapa Swedia-Denmark Menjadi Lokasi Pembakaran Alquran
Keempat, Indonesia saat ini memiliki presiden yang tingkat pengaruhnya tinggi di mata dunia internasional. Ini setidaknya terpotret dari pengakuan The Royal Islamic Strategi Studies Centre), lembaga riset independen yang berpusat di Amman Yordania yang 2022 lalu menempatkan Jokowi sebagai sosok pemimpin muslim paling berpengaruh di dunia. Jokowi berada di urutan 13 dari 50 tokoh muslim dunia yang dirilis. Prestasi, rekognisi dan kiprah positif Jokowi ini akan menjadi kekuatan tersendiri dalam misi meredakan Islamofobia di dunia.
Tentu di luar empat kelebihan yang dimiliki Indonesia di atas, masih banyak deretan modal positif lain. Semua kelebihan ini saatnya digali dan berani untuk ditunjukkan ke kancah internasional. Swedia, Denmark atau negara manapun saatnya dibuka perspektifnya tentang praktik demokrasi yang matang.
Mereka tak boleh terus terusan berlindung di balik ‘menara gading’ makna demokrasi. Sebab, demokrasi tanpa toleransi hanyalah nilai-nilai belaka yang begitu rawan memunculkan tatanan politik otoritarian dan penuh pencederaan nilai kemanusiaan.
baca juga: Swedia Tidak Memiliki Kemauan Politik untuk Melarang Pembakaran Alquran
Dus, penistaan kitab suci pun hakikatnya tak hanya menjadi ancaman bagi negara Islam semata, namun sudah masuk keamanan global. Ini seperti ditegaskan Presiden Venezuela Nicolas Maduro yang seorang penganut Kristen, Minggu (6/8/2023). Bahkan sepekan sebelumnya, Perdana Menteri Swedia Ulf Kristersson tak menampik ada ancaman makin serius bagi negaranya imbas pembakaran Alquran.
Saatnya toleransi ini harus diteguhkan menjadi kebajikan bersama (toleration as a mutual virtue). Dan, kendati belum sempurna, namun praktik toleransi beragama di Indonesia saat ini sudah waktunya untuk ditularkan, syukur-syukur jadi solusi yang sangat bertuah demi terwujudnya ketertiban dunia
baca juga: Paus Fransiskus Kecam Pembakaran Alquran di Swedia
Seperti diketahui, Senin (31/7/2023), dunia kembali digegerkan dengan aksi pembakaran Alquran. Yang kian memprihatinkan, kali ini pembakaran kitab suci umat Islam tersebut tak hanya terjadi di Swedia, namun juga Denmark.
Bukan sekadar menistakan, aksi bersamaan di dua tempat ini juga sungguh menyakitkan. Apa sebab? Pada waktu pembakaran, 57 negara OKI tengah menggelar rapat untuk merespons kerasaksi serupa di Swedia pada Juni lalu. Jelas sekali, aksi itu makin menunjukkan bentuk penghinaan, provokasi sekaligus agitasi tak berkesudahan.
Di Kopenhagen, Denmark, anggota kelompok anti-Islam dan ultranasionalis Danske Patrioter membakar Alquran di depan Kedutaan Besar Saudi. Sedang di Swedia, aksi pembakaran dilakukan lagi oleh Salwan Momika, sang ateis pencari suaka asal Irak, di depan gedung parlemen. Dia dibantu Salwan Najem, yang juga warga Irak, menginjak dan membakar Alquran.
Publik dunia tak henti diliputi rasa kemarahan yang memuncak atas ulah Momika dan Najem tersebut. Tak hanya OKI, sejumlah pimpinan negara Timur Tengah, organisasi kemasyarakatan juga bertubi-tubi mengecam. Namun, kecaman berbagai pihak itu seolah tak banyak arti. Swedia maupun Denmark dengan dalih konstitusi yang memberikan perlindungan hak warganya berekspresi seperti tak punya gigi.
baca juga: Akademisi Inggris: Pembakaran Alquran Adalah Tindakan Ekstremis
Memang upaya merevisi sejumlah regulasi kini tengah diwacanakan seperti halnyaSwedia. Namun sejauhmana revisi itu terjadi dan kapan bisa benar-benar dieksekusi, tampaknya masih menjadi misteri.
Situasi ini meningkatkan kekhawatiran bakal terulangnya kembali aksi penistaan Alquran. Sangat mungkin pula, karena tidak ada sanksi yang kuat, akan muncul Salwan-Salwanlain di masa mendatang. Di sisi lain, PBB juga tampak kurang berdaya melihat fenomena Islamofobia yang menggejala di sejumlah kawasan Eropa ini. Jika tak ditangani dengan cermat, kondisi ini jelas membahayakan tatanan kehidupan global yang membutuhkan rasa saling menghormati, kolaborasi dan tenggang rasa tinggi.
Lantas apa korelasinya dengan Indonesia? Pertemuan khusus Sekjen OKI dengan Presiden Jokowi awal pekan ini diharapkan tidak sekadar seremonial semata dan gagal menyentuh persoalan yang subtansial. Kedatangan Hissein Brahim Taha ke Indonesia jelas bukan sembarang tujuan. Di balik proposal misi perdamaian ataupun kesejahteraan global yang diembannya, kunjungan khusus Hissein ini menguatkan bukti bahwa bangsa ini memiliki modal besar untuk membantu menata ketertiban dunia.
Indonesia harus menyadari akan posisi strategis yang dimiliki saat ini. Jika dikelola dengan matang, potensi ini bahkan bisa menjadi energi tersendiri untuk memperkuat posisi Indonesia di tengah percaturan dunia. Setidaknya ada empat potensi besar nan strategis yang dimiliki Indonesia untuk membantu meredakan Islamofobia yang menggejala di Eropa maupun dunia, akhir-akhir ini.
baca juga: Muslim Denmark: Pembakaran Alquran Bukan Kebebasan Berekspresi
Pertama, Indonesia adalah negara dengan berpenduduk Islam terbesar di dunia yang terbukti mampu menjaga keharmonisan hidup dengan penganut agama lain. Prinsip-prinsip hidup kebangsaan yang dipraktikkan di Indonesia telah teruji dan sangat memungkinkan untuk ditransformasikan di belahan negara lain, tanpa menggerus sedikitpun nilai-nilai keagamaan dan kemanusiaan.
Kedua, Islam di Indonesia telah menjadi rujukan besar banyak negara, terutama berkaitan dengan relasi kehidupan antar umat beragama. Selama ini, kendati dianut mayoritas warganya, namun Islam di Indonesia sama sekali tak mencerminkan dan memuarakan rasa ketakutan, kecemasan atau ketakutan bagi penganut lain.
Ajaran dan praktik Islam yang membawa kedamaian bagi seluruh alam (rahmatan lilalamin) begitu kuat sehingga menciptakan keteduhan bersama. Peran besar sejumlah ormas seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah menjadi kekuatan tersendiri dalam membangun harmonisasi kehidupan beragama. Potensi besar ini pun diakui Presiden Jokowi.
Pada sambutan pembukaan ASEAN Intercultural and Interreligious Dialogue Conference (IIDC) yang digelar PBNU di Jakarta, Senin (7/8/2023), Jokowi menyebut tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap Tuhan merujuk Vue Research Center mencapai 96% atau tertinggi di dunia.
baca juga: Protes Pembakaran Alquran, Demonstran Serbu Kedutaan Swedia di Bagdad
Tingginya kepercayaan ini diyakini berbanding lurus dengan moral masyarakatnya. Kesadaran akan perbedaan dan toleransi jadi salah satu bukti. Praktik kerukunan yang terpotret sangat baik ini bahkan sudah dan terus diadopsi sejumlah negara lain seperti Afghanistan demi mencegah ketegangan di internal mereka.
Ketiga, Indonesia adalah pemain utama di kancah global. Pengakuan ini setidaknya bisa tervalidasi lewat posisi Indonesia saat ini yang sangat aktif di sejumlah organisasi berlevel global sepertiG20. Bahkan 2022 lalu, Indonesia menjadi presidensi G20. Dua organisasi besar ini beranggotakan negara-negara kuat, utamanya dari sisi ekonomi.
Pada isu Islamofobia, Indonesia bisa turut berperan aktif memberikan pencerahan maupun dorongan regulasi. Lebih strategis lagi, di G20, ada negara Islam yang turut menjadi anggota seperti Arab Saudi sehingga diharapkan gerbong perlawanan terhadap Islamofobia menjadi lebih kuat dan mengikat. Indonesia dan Saudi bisa menjadi jembatan dialog antara OKI misalnya dengan Uni Eropa.
Upaya menanamkan toleransi yang tinggi dan mewujud sebagai kebajikan global ini, seperti dalam pandangan Misrawi (2010), membutuhkan interaksi sosial melalui percakapan dan pergaulan intensif. Langkah lainnya adalah membangun kepercayaan di antara negara atau kelompok (mutual trust). Dengan kesadaran ini, maka dialog adalah sebuah keniscayaan yang perlu dilakukan dengan aktif dan matang. Khusus relasi bilateral dengan Swedia maupun Denmark, Indonesia diyakini bisa lebih luwes lantaran tak memiliki ganjalan diplomasi apapun selama ini.
baca juga: 5 Alasan Mengapa Swedia-Denmark Menjadi Lokasi Pembakaran Alquran
Keempat, Indonesia saat ini memiliki presiden yang tingkat pengaruhnya tinggi di mata dunia internasional. Ini setidaknya terpotret dari pengakuan The Royal Islamic Strategi Studies Centre), lembaga riset independen yang berpusat di Amman Yordania yang 2022 lalu menempatkan Jokowi sebagai sosok pemimpin muslim paling berpengaruh di dunia. Jokowi berada di urutan 13 dari 50 tokoh muslim dunia yang dirilis. Prestasi, rekognisi dan kiprah positif Jokowi ini akan menjadi kekuatan tersendiri dalam misi meredakan Islamofobia di dunia.
Tentu di luar empat kelebihan yang dimiliki Indonesia di atas, masih banyak deretan modal positif lain. Semua kelebihan ini saatnya digali dan berani untuk ditunjukkan ke kancah internasional. Swedia, Denmark atau negara manapun saatnya dibuka perspektifnya tentang praktik demokrasi yang matang.
Mereka tak boleh terus terusan berlindung di balik ‘menara gading’ makna demokrasi. Sebab, demokrasi tanpa toleransi hanyalah nilai-nilai belaka yang begitu rawan memunculkan tatanan politik otoritarian dan penuh pencederaan nilai kemanusiaan.
baca juga: Swedia Tidak Memiliki Kemauan Politik untuk Melarang Pembakaran Alquran
Dus, penistaan kitab suci pun hakikatnya tak hanya menjadi ancaman bagi negara Islam semata, namun sudah masuk keamanan global. Ini seperti ditegaskan Presiden Venezuela Nicolas Maduro yang seorang penganut Kristen, Minggu (6/8/2023). Bahkan sepekan sebelumnya, Perdana Menteri Swedia Ulf Kristersson tak menampik ada ancaman makin serius bagi negaranya imbas pembakaran Alquran.
Saatnya toleransi ini harus diteguhkan menjadi kebajikan bersama (toleration as a mutual virtue). Dan, kendati belum sempurna, namun praktik toleransi beragama di Indonesia saat ini sudah waktunya untuk ditularkan, syukur-syukur jadi solusi yang sangat bertuah demi terwujudnya ketertiban dunia
(hdr)