Mengapa Ada Kemiskinan?

Senin, 31 Juli 2023 - 07:42 WIB
loading...
Mengapa Ada Kemiskinan?
Candra Fajri Ananda, Staf Khusus Menteri Keuangan RI. Foto/Dok. SINDOnews
A A A
Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan RI

KEMISKINAN merupakan masalah yang kompleks dan tak mudah dalam penanggulangannya. Kemiskinan dapat terjadi karena kondisi alamiah dan ekonomi, kondisi struktural dan sosial, serta kondisi kultural (budaya).

Kemiskinan alamiah dan ekonomi timbul akibat keterbatasan sumber daya alam, manusia, dan sumberdaya lain sehingga peluang produksi relatif kecil dan tidak dapat berperan dalam pembangunan. Kemiskinan struktural dan sosial disebabkan hasil pembangunan yang belum merata, tatanan kelembagaan dan kebijakan dalam pembangunan.

Di sisi lain, kemiskinan kultural (budaya) disebabkan sikap atau kebiasaan hidup yang merasa kecukupan sehingga menjebak seseorang dalam kemiskinan. Penyebab timbulnya kemiskinan berasal dari dalam dan dari luar penduduk miskin.

Penyebab dari dalam diantaranya rendahnya kualitas sumber daya manusia dan sikap individu tersebut, sedangkan penyebab dari luar adalah keterbatasan sumber daya alam, tatanan sosial dan kelembagaan dalam masyarakat, kebijakan pembangunan, kesempatan kerja yang terbatas dan persaingan yang menyebabkan termarjinalkannya penduduk miskin.

Kemiskinan kerap menjadi salah satu masalah terbesar yang belum mampu terselesaikan secara tuntas di dunia hingga saat ini. Artinya, kemiskinan masih tetap ada di berbagai dunia, termasuk di negara-negara besar sekalipun.

Hampir tidak ada negara di belahan dunia yang bebas dari penduduk miskin, meskipun negara tersebut tergolong maju. Pembedanya adalah hanya ukuran penduduk dari masing-masing negara tersebut masuk dalam kategori individu yang tergolong miskin atau tidak.

Indonesia dalam mengukur penduduk miskin menggunakan dua pendekatan, yakni pendekatan pertama ialah kemiskinan yang mengacu pada garis kemiskinan (GK) dan pendekatan yang kedua ialah melalui unit rumah tangga. Di mana dilakukan pencatatan dengan cara sensus dan menentukan Rumah Tangga Miskin (RTM) dengan menggunakan 14 indikator.

Secara eksplisit kemiskinan sebetulnya bukan hanya menunjukkan rendahnya pendapatan seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar makanan.

Secara mikro, kemiskinan muncul akibat adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumber daya dalam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah.

Selain itu, kemiskinan juga muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumber daya manusia. Kualitas sumber daya manusia yang rendah berakibat pada produktivitas yang juga rendah, dan pada gilirannya upahnya pun rendah.

Selanjutnya, kemiskinan juga dapat muncul akibat perbedaan akses dalam modal. Berbagai penyebab kemiskinan tersebut bermuara pada teori lingkaran kemiskinan yakni adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar, dan kurangnya modal yang menyebabkan rendahnya produktifitas.

Rendahnya produktivitas tersebut mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima. Rendahnya pendapatan akan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi. Rendahnya investasi berakibat pada keterbelakangandan seterusnya.

Berbagai penyebab kemiskinan tersebut cukup menegaskan bahwa problematika kemiskinan di dunia akan selalu ada. Hal tersebut kian diperkuat dengan hasil kajian pada tahun 2000 yang menunjukkan bahwa 1% orang terkaya memiliki 40% aset dunia, dan 10% orang terkaya memiliki 80%.

Sebaliknya, setengah populasi dunia, pada lapisan paling bawah hanya memiliki 1% aset di bumi ini. Terdapat banyak program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh negara-negara, termasuk setiap insan atau lembaga yang ada di dalamnya, dunia saat ini. Akan tetapi, belum ada yang mampu mengubah kualitas hidup orang-orang dari lapisan bawah tersebut.

Berdasarkan data yang ada, hingga September 2021, belum ada negara yang secara resmi mengklaim memiliki tingkat kemiskinan yang benar-benar mencapai nol persen. Kemiskinan adalah masalah yang kompleks dan multi-dimensi, sulit untuk sepenuhnya dihilangkan dalam skala nasional.

Meski demikian, banyak negara telah mencapai kemajuan signifikan dalam mengurangi tingkat kemiskinan. Adapun beberapa negara yang telah berhasil mencapai tingkat kemiskinan yang lebih rendah daripada negara-negara lain di antaranya ialah negara-negara Nordik seperti Norwegia, Denmark, dan Swedia.

Negara-negara itu sering dianggap memiliki tingkat kemiskinan yang lebih rendah karena sistem perawatan sosial yang kuat dan fokus pada kesetaraan sosial. Bahkan kini, Bank Dunia tengah menargetkan angka kemiskinan ekstrem dapat turun di bawah 3% pada 2030.

Di Indonesia, pada perkembangannya hingga saat ini,telah berhasil menunjukkan tren penurunan jumlah penduduk miskin. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa persentase penduduk miskin di Indonesia mengalami penurunan pada Maret 2023.

Pada bulan tersebut, persentase penduduk miskin mencapai sebesar 9,36% atau mencapai 25,9 juta orang. Jumlah penduduk miskin tersebut turun 460.000 jiwa terhadap September 2022 dan kemudian, turun 260.000 jiwa terhadap Maret 2022.

Sementara itu, persentase penduduk miskin tersebut juga turun 0,21 persen poin dari 9,57% pada September 2022 dan 0,18 persen poin terhadap Maret 2022. Pun Kemiskinan Ekstrem Indonesia pada Bulan Maret 2023 sebesar 1,12 persen.

Menurun sebesar 0,62 persen poin dibandingkan September 2022. Data tersebut kian membawa optimisme bagi Indonesia untuk dapat terus menurunkan angka kemiskinan sejak Maret 2021 (pasca pandemi).

Program Kemiskinan: Negara vs Market
Pemerintah Indonesia menyadari kemiskinan bukanlah permasalahan yang mudah untuk di atasi akan tetapi bukan hal yang sulit pula untuk diupayakan. Pasalnya selama ini, program pengentasan kemiskinan dianggap belum sepenuhnya menjangkau target yang tepat karena minimnya kolaborasi dan tingginya ego sektoral. Padahal, berbagai program untuk pengentasan kemiskinan seyogyanya dapat diimplementasikan oleh pemerintah (negara) maupun melalui pasar.

Berdasarkan teori ekonomi, pengurangan kemiskinan melalui pasar bebas dan adanhya intervensi pemerintah (negara) memiliki perbedaan dalam pendekatan dan mekanisme yang digunakan untuk mencapainya. Pada pendekatan pasar bebas, pemerintah memiliki peran terbatas dalam mengatur pasar.

Di bawah pendekatan tersebut, pemerintah hanya memberikan kerangka hukum dan regulasi dasar untuk melindungi hak milik dan memastikan persaingan yang adil. Adam Smith berpandangan bahwa pasar bebas dapat memiliki manfaat dalam mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan, melalui peran pemerintah yang hanya sebatas menjaga fungsi pasar yang adil dan efisien.

Sebaliknya, pendekatan dengan campur tangan pemerintah yang kerap aliran ekonomi “Keynesian” cukup banyak melibatkan peran aktif pemerintah dalam mengatasi masalah kemiskinan. Pada pendekatan ini, peran pemerintah bukan hanya melalui regulasi semata, namun juga melalui pemberian bantuan sosial dan perlindungan sosial.

Pemerintah menciptakan kebijakan, program, dan lembaga untuk memberikan bantuan sosial, kesempatan pendidikan, dan perlindungan bagi masyarakat yang kurang mampu.

Sejatinya, perlu dicatat bahwa pendekatan negara dan pasar bukanlah pilihan yang saling terpisah. Pada praktiknya, banyak negara menerapkan pendekatan campuran, di mana pemerintah dan sektor swasta berkolaborasi untuk mengatasi masalah kemiskinan.

Kebijakan ekonomi campuran tersebut mencoba memanfaatkan manfaat dari kedua pendekatan untuk mencapai keseimbangan yang optimal dalam mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Spiritualitas dalam Pengentasan Kemiskinan
Kemiskinan adalah persoalan kemanusiaan. Berdasarkan dimensiini, adanya kemiskinan membawa konsekuensi tanggung jawab moral bagi setiap orang untuk memperhatikan kehidupanorang lain yang hidup dalam kemiskinan. Sebagai negara dengan mayoritas penduduknya muslim, seyogyanya Islam melarang umatnya menumpuk uang atau kekayaan.

Ini karena Islam tidak membenarkan penganutnya memperkaya dan mementingkan diri sendiri demi keuntungan pribadi, memperbudak, dan memeras golongan miskin. Islam mendorong pemerataan pendapatan dan kemakmuran ekonomi dalam masyarakat.

Oleh sebab itu, di antara solusi Islam dalam upaya pemerataan pendapatan dan kemakmuran ekonomi masyarakat tersebut ialah melalui pemberdayaan ekonomi umat melalui zakat, infak, dan sedekah. Pada sejarah kejayaan Islam, zakat telah terbukti berperan besar dalam meningkatkan kesejahteraan umat.

Zakat tidak hanya sekadar menjadi kewajiban. Lebih daripada itu, zakat menjadi salah satu bentuk sharing mechanism, distribusi kekayaan, dan keadilan sosial yang tepat dan efektif kepada mereka yang berhak.

Zakat dapat mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sosial secara konkret melalui distribusi aset dari orang yang berkewajiban (muzakki) kepada penerima (mustahik). Zakat juga dapat menjadi instrumen pengentasan kemiskinan dengan memanfaatkannya untuk pengembangan kegiatan ekonomi produktif kelompok miskin dan rentan.

Dari kalangan tabi’in, salah seorang yang pernah sukses menerapkan zakat sebagai sarana dalam menyejahterakan masyarakat adalah Umar bin Abdul Aziz yang merupakan khalifah Bani Umayyah kedelapan (99-102 H). Dalam waktu singkat, kurang lebih dua tahun lima bulan, Beliau berhasil dalam menyejahterakan masyarakat melalui zakat.

Selain itu, sebagai salah satu pilar kesejahteraan umat, wakaf pun juga mempunyai peran dan fungsi yang signifikan sebagai instrumen pengembangan ekonomi masyarakat dan sangat berperan dalam upaya menurunkan kemiskinan dan ketimpangan. Secara umum, kehadiran wakaf dapat pula dirasakan manfaatnya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di bidang ekonomi, terutama sekali jika wakaf dikelola dengan manajemen yang rapi, teratur, dan profesional.

Bahkan, di berbagai negara-negara Islam seperti Mesir dan Arab Saudi, pranata wakaf telah didayagunakan dan memegang peranan yang sangat besar dalam menunjang dan mengembangkan berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Pada perkembangannya, realisasi zakat maupun wakaf di Indonesia masih belum optimal. Potensi sektor perwakafan di Indonesia, terutama wakaf uang, ditaksir dapat menembus angka Rp180 triliun per tahun.

Badan Wakaf Indonesia (BWI) mencatat perolehan wakaf uang per Maret 2022 mencapai Rp1,4 triliun. Angka tersebut mengalami kenaikan jika dibandingkan perolehan wakaf uang yang terkumpul sepanjang 2018-2021 sebesar Rp855 miliar.

Meski demikian, perolehan wakaf uang tersebut hanya sekitar setengah persen dari total potensi yang ada. Begitupula pada zakat di Indonesia. Meskipun potensi dana zakat di Indonesia besar, realisasi dana yang telah dihimpun masih belum optimal.

Berdasarkan data Baznas 2021, dana zakat, infak, dan sedekah (ZIS) yang berhasil dihimpun hingga triwulan tiga, Tahun 2022 pada laporan pengelolaan zakat nasional pengumpulan ZIS oleh Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) hanya mencapai Rp21 Triliun dari potensi zakat di Indonesia sekitar Rp217 triliun.

Peran zakat, infak, sedekah, hingga wakaf dapat berkontribusi besar sebagai upaya mengatasi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ke depan, pemanfaatan zakat, infak, sedekah, dan wakaf untuk mendorong kegiatan produktif masyarakat perlu terus didorong agar pembangunan ekonomi yang inklusif dapat terwujud sehingga tingkat kemiskinan serta ketimpangan dapat ditekan. Semoga.
(poe)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1016 seconds (0.1#10.140)