Menemukan Indonesia di Wakatobi
loading...
A
A
A
Ahmad Sahidah
Dosen Semantik dan Ma’anil Qur’an Nurul Jadid Paiton
JUDULdi atas diambil dari pernyataan Bupati Wakatobi Haliana SE, dan Agil Fahim Ali, salah seorang mahasiswa yang menulis buku Tabuhan Rebana di Pulau Tomia: Catatan Perjalanan Mahasiswa MBKM Santri UNUJA di Wakatobi Sulawesi Tenggara.
baca juga: Jelajah Aktivitas Menarik di Wakatobi, Sulawesi Tenggara
Buku ini lahir dari catatan 19 mahasiswa Universitas Nurul Jadid (Unuja) Jawa Timur, yang melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Beruntung saya bisa mengikuti peluncuran buku ini, di wisma dosen kampus, pada 4 Maret 2023.
Haliana sebagai warga setempat sekaligus pejabat publik di sana, membingkai karya ini sebagai bagian dari wajah Wakatobi, yang mungkin belum banyak melirik dibandingkan Labuan Bajo , dan didesain untuk menjadi destinasi wisata premium.
Padahal, kawasan Wakatobi merupakan lokasi favorit menyelam (diving) terbaik dunia, kata penyelam Prancis Jacques Cousteau. Batu karang itu terbentuk indah karena gelombang laut yang menghidupinya. Tak ada ombak, tidak ada keindahan. Hanya kita harus tahu kapan menyelam dan bila melihat dari tepian.
baca juga: Fosil Kima Purba di Puncak Kahianga Pulau Tomia Wakatobi Terancam
Dengan pelbagai latar belakang yang berbeda, tentu setiap mahasiswa akan memotret pengalaman di daerah baru dengan cara yang berbeda. Mereka berada dari banyak program studi, seperti bahasa Inggris, bahasa Arab, Ilmu Alquran dan Tafsir, Teknik Elektro, Teknik Informatika, Manajemen Pendidikan Islam, dan Perbankan Syariah. Selain itu, latar belakang daerah dari Sulawesi Tenggara dan daerah Tapal Kuda, Jawa Timur, menebalkan semangat perbedaan dalam kesatuan.
Melalui gaya bercerita, kumpulan tulisan ini membayangkan pendekatan etnografis, tempat penulis mencurahkan pikirannya begitu emosional dan apa adanya. Keadaan ini berkelindan dengan pengalaman mereka menafsirkan perjalanan dengan kepolosan.
Semisal salah seorang hendak pulang karena perahu yang ditumpangi dari Baubau ke lokasi dilambung ombak hingga mengeluarkan isi perut. Tetapi, ia telah memutus tali kapal dari pelabuhan, KKN Nusantara harus ditunaikan untuk cita-cita bersama, mengikat silaturahmi sejati.
Setiap mahasiswa membubuh judul masing-masing untuk renungannya selama mengikuti kegiatan ini, sehingga tajuk itu seakan-akan membingkai apa yang hendak dikisahkan. Lalu, subjudul mempersempit ruang gerak penceritaan sebagai peristiwa yang begitu menggugah, tulisan pertama bermual dari “Titik Nol Pengabdian”.
baca juga: Ustaz Abdul Somad Didaulat Jadi Duta Wisata Religi Wakatobi
Pemilihan diksi ini bukan kata-kata kosong, tetapi jiwa yang dibawa dari pondok tempat mahasiswa belajar bahwa pengabdian lahir dari sebuah hasrat yang tidak dibelenggu oleh imbalan dan dihiasi oleh ketulusan.
Penegasan Abdul Hamid Wahid selaku Rektor Unuja dalam acara MoU dengan pemerintah daerah Wakatobi meneguhkan semangat di atas. Kepercayaan mahasiswa akan ditempa oleh keyakinan yang telah diserap selama belajar dan dari sini kemanfaatan untuk khalayak adalah wujud dari akidah yang dipahami secara praktis.
Tentu, penegasan Haliana sebagai orang nomor satu tentang pembangunan daerah ditopang oleh kegiatan KKN merupakan kerja sama strategis antara dua pihak dalam menimbang kemajuan secara utuh. Apalagi, Indeks Pembangunan Manusia dilengkapi dengan IKS (Indeks Kesejahteraan Sosial) sebagai inisiatif lokal bahwa pengembangan masyarakat menimbang kegunaan pembangunan bagi pemerataan.
Selanjutnya, pembaca seperti tersihir untuk menekuri setiap kalimat, karena ia lahir dari penghayatan yang seluruh dan jujur. Misalnya, Agil menggambarkan suasana dengan hidup di kapal dan melukiskan cinta pada pandangan pertama pada Asila, teman satu kelompok.
Namun, ini bukan sekadar ungkapan klise, tetapi si lelaki mengungkapkan bahwa perempuanlah yang harus menyatakan perasaannya pertama kali. Pembalikan ini sekan-akan melawan stigma bahwa perempuan harus menunggu dan lelaki bertindak lebih dahulu.
baca juga: Pulau Binongko Wakatobi, Kampung Pandai Besi Pembuat 'Parang Setangguh Karang'
Tetapi, kisah di atas bukan romantisasi terhadap pertemuan antara orang yang berbeda jenis kelamin. Tetapi ada pesan lain, bahwa perjalanan ini hendak menunaikan tugas yang jauh lebih mulia, yakni menyatukan warga negeri ini dalam satu nafas, kenusantaraan.
Untuk itu, beberapa foto yang disertakan dalam halaman-halaman semakin meneguhkan kehendak murni tersebut. Mereka tidak hanya hadir dalam acara Maulid, tetapi juga perayaan Hari Kemerdekaan (17 Agustus) bersama warga. Di sini, batas-batas negara dan agama tidak dilihat secara diamentral dan dangkal, tetapi saling melengkapi dan sejati
Ketika banyak mahasiswa liburan Iduladha, mereka sedang menunggu kapal fery untuk membawa rombongan dari Baubau ke Tomia. Di malam hari, tatkala banyak keluarga merayakan kebersamaan, mereka memilih untuk menjalankan amanah sebagai mahasiswa yang hendak mempraktikkan ilmu yang diperoleh di menara gading di kehidupan nyata.
Tak hanya itu, musim hujan membuat langit gelap dan gemuruh ombak menghantam badan kapal. Selaksa doa dipanjatkan agar keselamatan diberikan. Dalam suasana ini, kesadaran spiritual seseorang diuji. Hidup dan mati itu dua pilihan yang tidak bisa diingkari.
Betapapun Wakatobi menyuguhkan pemandangan laut yang indah, di mana pengunjung bisa berswafoto untuk mengabadikannya, namun ada pengalaman lain yang jauh lebih hangat, yakni keramahan penduduknya. Mereka diterima tuan rumah, yang merupakan pendudukan setempat.
baca juga: Pengaman Pantai di Wakatobi, Indonesia Siap Tambah “Bali Baru”
Lebih jauh, mereka juga akan belajar berempati dengan banyak hal, termasuk makanan lokal, dari Kasuami dan Kuho-kuho. Dari sini, betapa kebhinekaan itu nyata dan kekayaan yang acapkali tidak dikenal oleh rakyat Indonesia lain, karena burger, pizza, dan susi telah memesona warga sebagai selera yang layak dirayakan.
Tulisan Akhul Mu’min menggambarkan latar bagaimana mereka bisa mengikuti KKN, yakni obrolan di gazebo yang terletak di depan kampus. Itu artinya, keputusan mahasiswa lahir dari percakapan sebaya, yang menunjukkan bahwa mereka telah dewasa.
Mungkin karena dikejar tenggat, proses penyuntingan buku ini agak kedodoran, tidak hanya penulisaan ejaan, tetapi juga penyusunan kalimat. Di halaman pertama, pembaca akan menemukan kata tsayat, yang memaksa pembaca untuk mengerutkan dahi.
Berdasarkan konteks, lema ini mungkin tersayat, karena dikaitkan dengan dua kata berlawanan untuk menggambarkan antara kesenangan dan kesusahan. Untuk itu, kehadiran pembaca pruf akan membantu mengurangi kesalahan kecil yang tidak perlu, seperti lsayakan (hlm. 13).
Judul buku : Tabuhan Rebana di Pulau Tomia: Catatan Perjalanan Mahasiswa MBKM Santri UNUJA di Wakatobi Sulawesi Tenggara
Penulis : Agil Fahim Ali dkk
Penerbit : Nurja Press
Cetakan : Pertama, 2023
Tebal : 379 Halaman
Dosen Semantik dan Ma’anil Qur’an Nurul Jadid Paiton
JUDULdi atas diambil dari pernyataan Bupati Wakatobi Haliana SE, dan Agil Fahim Ali, salah seorang mahasiswa yang menulis buku Tabuhan Rebana di Pulau Tomia: Catatan Perjalanan Mahasiswa MBKM Santri UNUJA di Wakatobi Sulawesi Tenggara.
baca juga: Jelajah Aktivitas Menarik di Wakatobi, Sulawesi Tenggara
Buku ini lahir dari catatan 19 mahasiswa Universitas Nurul Jadid (Unuja) Jawa Timur, yang melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Beruntung saya bisa mengikuti peluncuran buku ini, di wisma dosen kampus, pada 4 Maret 2023.
Haliana sebagai warga setempat sekaligus pejabat publik di sana, membingkai karya ini sebagai bagian dari wajah Wakatobi, yang mungkin belum banyak melirik dibandingkan Labuan Bajo , dan didesain untuk menjadi destinasi wisata premium.
Padahal, kawasan Wakatobi merupakan lokasi favorit menyelam (diving) terbaik dunia, kata penyelam Prancis Jacques Cousteau. Batu karang itu terbentuk indah karena gelombang laut yang menghidupinya. Tak ada ombak, tidak ada keindahan. Hanya kita harus tahu kapan menyelam dan bila melihat dari tepian.
baca juga: Fosil Kima Purba di Puncak Kahianga Pulau Tomia Wakatobi Terancam
Dengan pelbagai latar belakang yang berbeda, tentu setiap mahasiswa akan memotret pengalaman di daerah baru dengan cara yang berbeda. Mereka berada dari banyak program studi, seperti bahasa Inggris, bahasa Arab, Ilmu Alquran dan Tafsir, Teknik Elektro, Teknik Informatika, Manajemen Pendidikan Islam, dan Perbankan Syariah. Selain itu, latar belakang daerah dari Sulawesi Tenggara dan daerah Tapal Kuda, Jawa Timur, menebalkan semangat perbedaan dalam kesatuan.
Melalui gaya bercerita, kumpulan tulisan ini membayangkan pendekatan etnografis, tempat penulis mencurahkan pikirannya begitu emosional dan apa adanya. Keadaan ini berkelindan dengan pengalaman mereka menafsirkan perjalanan dengan kepolosan.
Semisal salah seorang hendak pulang karena perahu yang ditumpangi dari Baubau ke lokasi dilambung ombak hingga mengeluarkan isi perut. Tetapi, ia telah memutus tali kapal dari pelabuhan, KKN Nusantara harus ditunaikan untuk cita-cita bersama, mengikat silaturahmi sejati.
Setiap mahasiswa membubuh judul masing-masing untuk renungannya selama mengikuti kegiatan ini, sehingga tajuk itu seakan-akan membingkai apa yang hendak dikisahkan. Lalu, subjudul mempersempit ruang gerak penceritaan sebagai peristiwa yang begitu menggugah, tulisan pertama bermual dari “Titik Nol Pengabdian”.
baca juga: Ustaz Abdul Somad Didaulat Jadi Duta Wisata Religi Wakatobi
Pemilihan diksi ini bukan kata-kata kosong, tetapi jiwa yang dibawa dari pondok tempat mahasiswa belajar bahwa pengabdian lahir dari sebuah hasrat yang tidak dibelenggu oleh imbalan dan dihiasi oleh ketulusan.
Penegasan Abdul Hamid Wahid selaku Rektor Unuja dalam acara MoU dengan pemerintah daerah Wakatobi meneguhkan semangat di atas. Kepercayaan mahasiswa akan ditempa oleh keyakinan yang telah diserap selama belajar dan dari sini kemanfaatan untuk khalayak adalah wujud dari akidah yang dipahami secara praktis.
Tentu, penegasan Haliana sebagai orang nomor satu tentang pembangunan daerah ditopang oleh kegiatan KKN merupakan kerja sama strategis antara dua pihak dalam menimbang kemajuan secara utuh. Apalagi, Indeks Pembangunan Manusia dilengkapi dengan IKS (Indeks Kesejahteraan Sosial) sebagai inisiatif lokal bahwa pengembangan masyarakat menimbang kegunaan pembangunan bagi pemerataan.
Selanjutnya, pembaca seperti tersihir untuk menekuri setiap kalimat, karena ia lahir dari penghayatan yang seluruh dan jujur. Misalnya, Agil menggambarkan suasana dengan hidup di kapal dan melukiskan cinta pada pandangan pertama pada Asila, teman satu kelompok.
Namun, ini bukan sekadar ungkapan klise, tetapi si lelaki mengungkapkan bahwa perempuanlah yang harus menyatakan perasaannya pertama kali. Pembalikan ini sekan-akan melawan stigma bahwa perempuan harus menunggu dan lelaki bertindak lebih dahulu.
baca juga: Pulau Binongko Wakatobi, Kampung Pandai Besi Pembuat 'Parang Setangguh Karang'
Tetapi, kisah di atas bukan romantisasi terhadap pertemuan antara orang yang berbeda jenis kelamin. Tetapi ada pesan lain, bahwa perjalanan ini hendak menunaikan tugas yang jauh lebih mulia, yakni menyatukan warga negeri ini dalam satu nafas, kenusantaraan.
Untuk itu, beberapa foto yang disertakan dalam halaman-halaman semakin meneguhkan kehendak murni tersebut. Mereka tidak hanya hadir dalam acara Maulid, tetapi juga perayaan Hari Kemerdekaan (17 Agustus) bersama warga. Di sini, batas-batas negara dan agama tidak dilihat secara diamentral dan dangkal, tetapi saling melengkapi dan sejati
Ketika banyak mahasiswa liburan Iduladha, mereka sedang menunggu kapal fery untuk membawa rombongan dari Baubau ke Tomia. Di malam hari, tatkala banyak keluarga merayakan kebersamaan, mereka memilih untuk menjalankan amanah sebagai mahasiswa yang hendak mempraktikkan ilmu yang diperoleh di menara gading di kehidupan nyata.
Tak hanya itu, musim hujan membuat langit gelap dan gemuruh ombak menghantam badan kapal. Selaksa doa dipanjatkan agar keselamatan diberikan. Dalam suasana ini, kesadaran spiritual seseorang diuji. Hidup dan mati itu dua pilihan yang tidak bisa diingkari.
Betapapun Wakatobi menyuguhkan pemandangan laut yang indah, di mana pengunjung bisa berswafoto untuk mengabadikannya, namun ada pengalaman lain yang jauh lebih hangat, yakni keramahan penduduknya. Mereka diterima tuan rumah, yang merupakan pendudukan setempat.
baca juga: Pengaman Pantai di Wakatobi, Indonesia Siap Tambah “Bali Baru”
Lebih jauh, mereka juga akan belajar berempati dengan banyak hal, termasuk makanan lokal, dari Kasuami dan Kuho-kuho. Dari sini, betapa kebhinekaan itu nyata dan kekayaan yang acapkali tidak dikenal oleh rakyat Indonesia lain, karena burger, pizza, dan susi telah memesona warga sebagai selera yang layak dirayakan.
Tulisan Akhul Mu’min menggambarkan latar bagaimana mereka bisa mengikuti KKN, yakni obrolan di gazebo yang terletak di depan kampus. Itu artinya, keputusan mahasiswa lahir dari percakapan sebaya, yang menunjukkan bahwa mereka telah dewasa.
Mungkin karena dikejar tenggat, proses penyuntingan buku ini agak kedodoran, tidak hanya penulisaan ejaan, tetapi juga penyusunan kalimat. Di halaman pertama, pembaca akan menemukan kata tsayat, yang memaksa pembaca untuk mengerutkan dahi.
Berdasarkan konteks, lema ini mungkin tersayat, karena dikaitkan dengan dua kata berlawanan untuk menggambarkan antara kesenangan dan kesusahan. Untuk itu, kehadiran pembaca pruf akan membantu mengurangi kesalahan kecil yang tidak perlu, seperti lsayakan (hlm. 13).
Judul buku : Tabuhan Rebana di Pulau Tomia: Catatan Perjalanan Mahasiswa MBKM Santri UNUJA di Wakatobi Sulawesi Tenggara
Penulis : Agil Fahim Ali dkk
Penerbit : Nurja Press
Cetakan : Pertama, 2023
Tebal : 379 Halaman
(hdr)