Zulfan Lindan, Hegel, dan Ancaman Pemilu 2024

Senin, 24 Juli 2023 - 11:53 WIB
loading...
Zulfan Lindan, Hegel,...
Kemala Atmojo - Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni. Foto/Dok Pribadi
A A A
Kemala Atmojo
Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni

Sejak tak aktif lagi di Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Zulvan Lindan tampak lebih semringah, banyak senyum, dan terlihat rileks. Ia menjadi bintang tamu di berbagai acara dan mengelola podcast-nya sendiri: Zulfan Lindan Unpacking Indonesia. Ia terlihat makin berani dalam mengangkat isu-isu politik mutakhir.

Harus diakui, setidaknya menurut saya, Zulfan adalah salah satu politisi yang memopulerkan kembali istilah “antitesa” dalam diskursus politik di Indonesia mutakhir. Istilah itu berasal dari Georg Wilhelm Friedrich Hegel, filosof besar asal Jerman. Gara-gara konsep “tesis-antitesis-sintesis” itu pula hubungan Zulvan dengan Nasdem “memanas”.

Singkatnya, dalam wawancara dengan beberapa media, Zulvan mengatakan bahwa dipilihnya Anies Baswedan sebagai calon presiden oleh Nasdem bisa membuat Presiden Joko Widodo merasa “tidak nyaman”. Sebab Nasdem adalah salah satu partai pendukung Joko Widodo. Kemudian Zulvan mengatakan, Anies Baswedan itu adalah antitesis buat Jokowi.

Dalam pandangan Zulvan, Jokowi adalah sosok yang berpikir sederhana tetapi langkahnya cepat dalam mengerjakan program (tesis). Sementara Anies Baswedan adalah sosok yang suka dengan konsep terlebih dahulu, lalu membuat policy, baru menjalankan program (antitesis). Jadi tesis merupakan keadaan, pernyataan atau gagasan yang diajukan sebagai awal dari suatu argumen atau perdebatan.

Sedangkan antitesis adalah konsep, ide atau posisi yang bertentangan dengan tesis. Antitesis muncul sebagai reaksi atau kontradiksi terhadap tesis yang ada. Ini adalah elemen yang menimbulkan konflik atau pertentangan dalam rangkaian pemikiran atau perubahan sosial dan sejarah. Dalam pemahaman Zulfan, antitesis itu adalah Anies Baswedan yang diusung oleh Nasdem sebagai calon presiden RI tahun 2024.

Adapun sintesis adalah resolusi dari konflik antara tesis dan antitesis. Dalam proses dialektika Hegel, sintesis menggabungkan atau menyatukan elemen-elemen yang bertentangan dalam tesis dan antitesis. Sintesis baru ini menjadi tahap berikutnya dalam perkembangan pemikiran atau perubahan sosial. Maka, sebagai sintesis, diharapkan atau diperlukan seorang pemimpin yang tidak hanya sederhana, tetapi juga pandai membuat konsep, membuat policy, dan cepat mengambil langkah di lapangan. Siapakah mereka? Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, atau Anies Baswedan?

Itu semua terserah rakyat Indonesia. Yang jelas, konsep pemikiran Hegel tentang tesis, antitesis, dan sintesis merupakan bagian penting dari filosofinya yang dikenal sebagai Dialektika Hegel. Jadi, Dialektika Hegel adalah sebuah pendekatan filosofis yang menggambarkan perkembangan pemikiran melalui konflik dan penyelesaiannya.

Hegel berpendapat bahwa perkembangan pemikiran dan realitas tidak berlangsung secara statis atau linier, tetapi melalui perjuangan antara konsep atau ide yang berlawanan. Proses ini melibatkan tesis, yang kemudian bertentangan dengan antitesisnya, dan kemudian melalui konflik antara keduanya, mencapai sintesis yang lebih tinggi.

Konflik antara tesis dan antitesis tidak dapat diselesaikan dengan memilih salah satu. Namun, melalui proses dialektika, tesis dan antitesis berinteraksi satu sama lain, dan akhirnya menghasilkan sintesis yang menggabungkan elemen-elemen keduanya.

Bagi Hegel, sejarah adalah proses dialektika yang mengarah ke perkembangan kesadaran manusia. Perubahan sejarah dipicu oleh konflik antara berbagai kekuatan dan ideologi yang bertentangan. Proses ini bergerak menuju pencapaian kesadaran diri yang lebih tinggi dan akhirnya mencapai realisasi idealitas mutlak. Dalam bahasa lain, realitas adalah sebuah proses dialektis yang terdiri dari tesis, antitesis, dan sintesis. Konflik antara tesis dan antitesis menciptakan sintesis baru, yang menjadi tesis baru lagi bagi perkembangan selanjutnya. Realitas adalah suatu entitas yang dinamis dan terus berkembang.

Realitas itu selalu berlangsung dalam suatu dialektika. Dialektika boleh disebut sebagai pendamaian hal-hal yang bertentangan, yang tidak hanya membatasi satu sama lain, tetapi serentak pula menghasilkan suatu kesatuan baru. Contoh dialektika ini sebenarnya mudah ditemukan dalam dialog sehari-hari. Jika dinyatakan sebuah pendapat tertentu, maka pendapat itu akan ditentang oleh pendapat lain, lalu karena tak puas denan oposisi itu, kita berusaha memperdamaikan keduanya dengan sebuah pendapat yang kebih lengkap. Dari proses itu kita bisa merumuskan tiga tahap. Tahap pertama adalah sebuah tesis yang lalu memunculkan tahap kedua atau antitesis, akhirnya keduanya diperdamaikan dalam sebuah sintesis.

Dalam sintesis (pendapat ketiga) tidak hanya terjadi peniadaan atau pembatalan sebagian dari kedua oposisi karena munculnya sintesis, melainkan juga kedua aspek yang beroposisi disimpan dan diangkat ke taraf yang lebih tinggi, sebab kebenaran keduanya masih dipertahankan dalam sintesis itu.

Sebenarnya, yang sangat menarik sekaligus yang sangat rumit dari Hegel adalah konsep Roh Absolut yang dikembangkannya. Menjabarkannya secara sederhana pun tidak mudah. Karena itu, pada kesempatan ini, kita singgung gambaran besarnya saja.

Bagi Hegel, tujuan utama filsafat adalah mengatasi oposisi-oposisi. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menghadapi kemajemukan, aneka pertentangan, kontradiksi, dengan segala perseteruan atau argumennya. Di kepala kita kerap berkecamuk maslah-masalah seperti dualisme antara jiwa dan badan, kontradiksi antara subjek dan objek, alam dan roh, yang terbatas dan yang tak terbatas, dan seterusnya. Pertentangan atau oposisi semacam itu tidak memuaskan pikiran. Sementara itu, menurut Hegel, kepentingan dasariah dari rasio adalah mengusahakan kesatuan utuh oposisi-oposisi itu. Dengan kata lain, rasio selalu ingin mencapai Yang Absolut.

Roh Absolut (Absolute Spirit) itu dipandang sebagai kekuatan yang mendasari dan mengarahkan perkembangan sejarah dan pemikiran manusia secara keseluruhan. Hegel melihat Roh Absolut sebagai suatu realitas yang transenden, yaitu sesuatu yang ada di luar individu tetapi juga mencakupnya. Roh Absolut melampaui batasan individu dan memperoleh ekspresinya melalui berbagai institusi, budaya, dan sejarah manusia.

Jadi, titik tolak idealisme Hegel adalah Yang Absolut itu. Seperti dikatakan F. Budi Hardiman, Yang Absolut adalah totalitas, seluruh kenyataan. Hegel memahami seluruh kenyataan ini sebagai sebuah “proses menjadi”. Yang absolut itu bukan hanya dipahami sebagai seluruh proses itu, melainkan juga tujuan dari proses itu sendiri. Hegel kemudian memahami Yang Absolut itu sebagai subjek. Kalau dia subjek, maka harus ada objeknya. Tetapi menurut Hegel, objeknya adalah dirinya sendiri. Jadi, Yang Absolut adalah “pikiran yang memikirkan dirinya sendiri” atau “subjek yang menyadari dirinya sendiri” Dengan kata lain, Yang Absolut itu adalah Roh.

Hegel dianggap mengembangkan “metafisika gaya baru”. Berbeda dengan metafisika sebelumnya, yakni metafisika tradisional, yang menekankan pada peranan iman dan rasio, metafisika baru Hegel ini meyakini kemampuan rasio manusia. Rasio di sini tidak dipahami sebagai rasio tertentu yang dimiliki orang tertentu, melainkan sebagai sesuatu yang menguasai realitas keseluruhan. Rasio tidak dipahami sebagai ‘subjek tertentu’ (diriku), melainkan sebagai ‘intelegensi yang mengatasi individu’, suatu ‘Subjek Absolut’. Rasio ini mengatasi pikiran individu-individu dan menjadi inti hakiki kenyataan itu sendiri.

Idealisme Jerman memahami kenyataan sebagai ‘perwujudan diri dari Subjek Absolut atau Rasio’ . Karena pandangan itu mengklaim tentang kenyataan akhir sebagai keseluruhan, maka pandangan ini adalah sebuah metafisika. Dan karena klaim itu menegaskan bahwa kenyataan akhir adalah subjek absolut atau rasio, maka metafisika ini disebut idealisme.

Ancaman dalam Pemilu 2024

Kini Zulfan Lindan dapat berbicara apa saja tanpa beban partai di pundaknya. Juga tanpa ketakutan karena kita hidup di alam demokrasi. Prinsip dasar demokrasi adalah kebebasan, kesetaraan, dan partisipasi. Dalam demokrasi, keputusan politik dibuat melalui proses partisipasi publik, yang meliputi pemilihan umum, diskusi publik, perdebatan, dan keterlibatan aktif warga negara dalam proses pembuatan keputusan politik, baik secara langsung maupun melalui perwakilan yang mereka pilih.

Demokrasi juga melibatkan perlindungan hak asasi manusia, termasuk kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan berserikat, dan hak untuk mengajukan pendapat secara damai. Prinsip-prinsip ini membentuk dasar demokrasi, yang menekankan perlindungan individu dan kebebasan sipil sebagai bagian integral dari sistem politik.

Walaupun demokrasi memiliki banyak variasi dan implementasi yang berbeda di berbagaii belahan dunia, namun tujuan umumnya adalah mewujudkan pemerintahan yang berdasarkan kehendak rakyat, mempromosikan keterbukaan, akuntabilitas, dan partisipasi warga negara dalam proses politik.

Ancaman terhadap demokrasi di Indonesia saat ini, seperti pernah saya tulis di SINDONews adalah bahaya munculnya tribalisme agama yang dihembuskan oleh para petualangan politik. Tribalisme yang tadinya hanya mengacu pada masalah kesukuan, kini dalam budaya populer tribalisme juga merujuk pada cara berpikir atau berperilaku yang hanya setia kepada kelompok sosial mereka saja. Kelompok merekalah yang paling utama, di atas segalanya. Sementara kelompok lain seakan lebih rendah dan dianggap salah. Para petualangan politik bisa jadi akan mengeksploitasi sentimen agama tertentu demi perolehan suara. Tribalisme relijius ini mencederai demokrasi modern yang kita yakini sebagai sistem pemerintahan terbaik hingga kini. Demokrasi modern adalah bentuk pelaksanaan kekuasaan negara sebagai penerima mandat dari rakyat.

Demokrasi kita saat ini memang belum sempurna. Dalam perjalanan penyempurnaan demokrasi inilah para petualang politik bisa membelokkan ke arah lain. Salah satu peluang mereka adalah pada masa kampanye pemilu nanti. Para petualang sangat mungkin memiliki kemampuan untuk menanipulasi preferensi pemilih dengan menggunakan sentiman yang populis, yakni tribalisme agama. Jika mereka berhasil menipu masyarakat, maka pemilu menjadi ajang perang sentimen agama. Dampaknya, antara lain, timbul rasa saling tidak percaya dan permusuhan di tengah masyarakat.

Dalam keadaan seperti itu, kerjasama dalam masyarakat menjadi semakin sulit. Yang ada adalah saling curiga. Para petualang itu ibarat orang yang menarik karpet di bawah meja yang sudah ditata dengan aneka hidangan di atasnya, sehingga semuanya kembali berantakan (pull the rug out from under the table). Para petualang ini biasanya memberi dongeng atau fantasi yang menipu dan menyesatkan melalui kutipan-kutipan relijius, padahal mereka belum tentu percaya dengan apa yang diucapkannya sendiri.

Mari kita gunakan akal sehat. Mari kita pilih presiden, wakil presiden, dan para wakil rakyat yang mengerti problem kita saat ini dan masa depan, yakni soal pemanasan global, artificial intelligence (AI), pembangunan pedesaan, bonus demografi dan pluralisme. Mereka yang tidak pernah berbicara soal-soal tersebut, menurut saya, sebaiknya memang tidak usah dipilih. Sebab tidak ada gunanya memilih calon pemimpin yang tidak mengerti permasalahan bangsanya hari ini dan masa depan. Mereka bakal tidak cukup berguna bagi kemajuan peradaban bangsa Indonesia (*)
(wur)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2025 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3831 seconds (0.1#10.24)