Sudah Banyak Bukti, Pemerintah Didorong Perjelas Status NII sebagai DTTOT

Selasa, 18 Juli 2023 - 05:41 WIB
loading...
Sudah Banyak Bukti, Pemerintah Didorong Perjelas Status NII sebagai DTTOT
Tenaga Ahli Direktorat Pencegahan Densus 88 Antiteror Mabes Polri, Islah Bahrawi mendorong pemerintah memasukkan NII ke dalam Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris (DTTOT). FOTO/IST
A A A
JAKARTA - Pemerintah Indonesia hingga saat ini belum memasukkan gerakan Negara Islam Indonesia (NII) ke dalam Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris (DTTOT). Padahal puluhan orang yang mengaku anggota gerakan NII telah ditangkap sepanjang 2023.

Tenaga Ahli Direktorat Pencegahan Densus 88 Antiteror Mabes Polri, Islah Bahrawi mengatakan, banyaknya anggota NII yang ditangkap dan adanya usulan banyak pihak perlu menjadi pertimbangan pemerintah agar secepatnya memperjelas status NII.

"Tahun ini saja sudah ada 35 orang yang mengaku sebagai anggota NII dan telah ditangkap di berbagai provinsi seperti di Sumbar, Banten, DKI Jakarta, dan Bali. Ini menjadi penting sebenarnya, ada apa dengan pemerintah, kok sampai sekarang NII tidak dimasukkan ke dalam DTTOT? Padahal sudah banyak bukti-bukti penangkapan, dan juga jaringan mereka masih hidup sampai sekarang dengan berbagai metamorfosisnya," kata Islah Bahrawi dalam keterangan tertulis dikutip, Selasa (18/7/2023).



Gus Islah, sapaan akrab Islah Bahrawi menambahkan, sejumlah organisasi yang masih dalam satu jubah dengan NII seharusnya bisa ditetapkan oleh pemerintah sebagai organisasi teror yang terlarang atau yang kita kenal dengan DTTOT. Ia menjelaskan, NII sebenarnya adalah embrio dari berbagai gerakan-gerakan ekstrem dan teror di Indonesia yang berhasrat menjadikan Indonesia sebagai negara Islam.

"Kita tidak bisa pungkiri bahwa organisasi-organisasi teror yang ada di Indonesia hari ini, semuanya berawal dari rahim yang sama, yaitu dari NII versinya Kartosoewirjo. Gerakan NII kemudian bermetamorfosis dalam berbagai zamannya sampai ke Ajengan Masduki, Adah Jaelani, dan juga kemudian memecah diri melalui kelompok Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir yang kemudian kita kenal sebagai Jamaah Islamiyah," katanya.

Ia berpesan agar aparat penegak hukum tidak terkecoh dengan segala pernyataan yang dikemukakan pimpinan Pondok Pesantren Al Zaytun Panji Gumilang. Perlu diteliti lebih lanjut tentang kegiatan apa saja yang dilakukan Panji Gumilang ketika memimpin pesantren Al Zaytun.



"Kalau saya pribadi begini, Panji Gumilang ini bisa saja dia mengaku Pancasilais, tapi sebenarnya dia itu masih melakukan proses konsolidasi setiap tanggal 1 Muharram di Al-Zaytun, yang mendatangkan ribuan orang dari luar Al Zaytun untuk proses-proses konsolidasi,” ungkapnya.

Aktivis yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia ini menambahkan, proses konsolidasi secara rutin di Al Zaytun telah terbukti karena banyak pengakuan dari orang-orang terdekat Panji Gumilang. Pengakuan Maulana dari Kalimantan Selatan, beberapa mantan pengajar dan alumni Al Zaytun yang mengatakan, banyak sekali orang-orang liar yang dimasukkan pada acara tahunan 1 Muharram yang sama sekali tidak terkait dengan Al Zaytun.

Gus Islah menegaskan perlu memisahkan Al Zaytun sebagai lembaga pendidikan aktif dengan Panji Gumilang dan NII yang sampai hari ini masih melakukan konsolidasi dengan jaringannya di Indonesia. Al Zaytun sendiri sebenarnya hanya dijadikan episentrum oleh Panji Gumilang dengan segala kepentingannya.

"Yang menarik adalah bahwa sebenarnya tidak ada kaitannya Al Zaytun dengan NII sendiri. Memang Al Zaytun ini dibentuk oleh seorang NII yang bernama Abu Toto alias Panji Gumilang alias Abu Maarik, banyak sekali namanya. Tapi kalau kita perhatikan memang sebenarnya Al Zaytun sendiri ini adalah lembaga pendidikan pada zaman Orde Baru milik Panji Gumilang yang mantan NII ini setelah digalang oleh pemerintah ketika itu," katanya.

Terkait perbedaan fikih yang terjadi di Al Zaytun, Gus Islah berpendapat tidak menjadi masalah. Di dalam Islam sejarah-sejarah terbentuknya berbagai sekte, firqoh, ataupun ajaran yang berbeda itu memang sudah terjadi sejak ratusan tahun lalu. Di Indonesia juga antar organisasi saja bisa berbeda pandangan fikihnya.

"Yang harus kita hindari adalah pemahaman takfir atau mengkafirkan sesama yang cenderung menghegemoni dan melakukan klaim kebenaran atas nama diri dan kelompoknya, lalu memberikan stigma dan penghakiman pasti salah terhadap orang lain yang berbeda. Ini yang nggak boleh," katanya.
(abd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1543 seconds (0.1#10.140)