Sesat Pikir UU Kesehatan, Perspektif Pengendalian Tembakau
loading...
A
A
A
Tulus Abadi
Ketua Pengurus Harian YLKI
Keberadaan UU Omni Buslaw bidang Kesehatan, yang telah disahkan oleh DPR beberapa hari lalu, memang dalam banyak hal harus disorot (diprotes) dengan keras.
Salah satu hal yang mengantongi cacat fatal pada UU Kesehatan adalah ketentuan pada Pasal 151 ayat 3, yang mewajibkan adanya fasilitas/tempat khusus untuk merokok (smoking room) pada tempat umum dan tempat kerja. Ketentuan yg diatur pada Pasal 151 ayat 3 ini kelihatannya sepele, tetapi secara fundamental pasal ini cacat secara normatif, ideologis, dan bahkan etik moral.
Bagaimana mungkin aktivitas penggunaan zat adiktif (merokok) yg nota bene menyakiti/merusak dirinya dan orang lain, bahkan merupakan aktivitas bunuh diri, tetapi harus disediakan infrastruktur/fasilitas khusus? Dari perspektif apa pun ketentuan ini adalah sesat pikir, alias keblinger. Nanti orang yang menggunakan minuman beralkohol (miras) juga menuntut hak yang sama, mereka menuntut adanya ruang khusus, untuk minum dan mabuk. Tembakau/rokok dan minuman beralkohol/miras (yang legal) sama sama benda/komoditas yang kena cukai.
Dari perspektif ekonomi ketentuan ini juga akan menggerus aspek finansial, karena pengelola tempat umum/tempat kerja harus membangun/menyediakan ruang khusus untuk merokok. Sangat kontra produktif tentunya.
Pasal 151 ayat 3 diduga keras adalah pasal titipan dari industri rokok. Dan ini bukti UU Kesehatan tidak lepas dari intervensi oligarki industri rokok. Sebuah industri yang memerosotkan kualitas sumber daya manusia. tapi disembah dan dipuja begitu rupa oleh negara.
Jadi sungguh keblinger, untuk menjadi sehat malah dihalangi-halangi oleh negara. Negara justru mendorong, memfasilitasi dan menjustifikasi aktivitas bunuh diri oleh warganya dengan zat adiktif. Inilah sesat pikir dari UU Kesehatan pada aspek pengendalian tembakau.Pasal 151 ayat 3 yang sesat pikir ini harus segera dicabut, tentunya melalui proses uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK).
Ketua Pengurus Harian YLKI
Keberadaan UU Omni Buslaw bidang Kesehatan, yang telah disahkan oleh DPR beberapa hari lalu, memang dalam banyak hal harus disorot (diprotes) dengan keras.
Salah satu hal yang mengantongi cacat fatal pada UU Kesehatan adalah ketentuan pada Pasal 151 ayat 3, yang mewajibkan adanya fasilitas/tempat khusus untuk merokok (smoking room) pada tempat umum dan tempat kerja. Ketentuan yg diatur pada Pasal 151 ayat 3 ini kelihatannya sepele, tetapi secara fundamental pasal ini cacat secara normatif, ideologis, dan bahkan etik moral.
Bagaimana mungkin aktivitas penggunaan zat adiktif (merokok) yg nota bene menyakiti/merusak dirinya dan orang lain, bahkan merupakan aktivitas bunuh diri, tetapi harus disediakan infrastruktur/fasilitas khusus? Dari perspektif apa pun ketentuan ini adalah sesat pikir, alias keblinger. Nanti orang yang menggunakan minuman beralkohol (miras) juga menuntut hak yang sama, mereka menuntut adanya ruang khusus, untuk minum dan mabuk. Tembakau/rokok dan minuman beralkohol/miras (yang legal) sama sama benda/komoditas yang kena cukai.
Dari perspektif ekonomi ketentuan ini juga akan menggerus aspek finansial, karena pengelola tempat umum/tempat kerja harus membangun/menyediakan ruang khusus untuk merokok. Sangat kontra produktif tentunya.
Pasal 151 ayat 3 diduga keras adalah pasal titipan dari industri rokok. Dan ini bukti UU Kesehatan tidak lepas dari intervensi oligarki industri rokok. Sebuah industri yang memerosotkan kualitas sumber daya manusia. tapi disembah dan dipuja begitu rupa oleh negara.
Jadi sungguh keblinger, untuk menjadi sehat malah dihalangi-halangi oleh negara. Negara justru mendorong, memfasilitasi dan menjustifikasi aktivitas bunuh diri oleh warganya dengan zat adiktif. Inilah sesat pikir dari UU Kesehatan pada aspek pengendalian tembakau.Pasal 151 ayat 3 yang sesat pikir ini harus segera dicabut, tentunya melalui proses uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK).
(wur)