Suara Hati dalam Dua Fiksi
loading...
A
A
A
Mula-mula Bagus bertemu dengan Putri Chaya, seorang penari cantik dari Serdang dan pemilik sanggar tari. Hubungan mereka makin lama semakin intim. Chaya hidup menjanda dengan satu anak bernama Lenggang. Selain itu, Bagus juga berkenalan dengan Tengku Natashya, pengelola perpustakaan keluarga, pakar tari Melayu, dan penjual kain tradisional. Dengan kedua perempuan itulah Bagus terlibat dalam “hubungan emosional” yang sangat mendalam.
Tetapi Bagus punya istri (Mia) serta dua anak (Daru dan Ratri) di Jakarta. Jadi mau tak mau ia harus kembali kepada keluarganya. Rasa bersalah menghantui Bagus. Ia merasa sudah terlalu lama dan terlalu banyak berdusta kepada Mia dan anak-anaknya. Rasa bersalahnya makin lama makin membesar dan menghantuinya. Apalagi, perkembangan terakhir hubungannya dengan Putri Chaya, sudah melibatkan Lenggang, gadis yang sudah terbiasa memanggilnya “Papa”.
Bagus merasa sedih dan takut. Ia tak tahu bakal ke mana hubungannya dengan kedua wanita itu. Ia seperti tak bsa menghentikannya. Tapi ia juga membutuhkan Mia. Ia membutuhkan bantuan dan kepercayaan Mia sekaligus pengampunan darinya. Bagus mengharapkan belas kasih dan pengertian Mia, lalu bersama-sama mencari solusinya.
Tetapi, bagaimana Bagus harus memulai pengakuan dosa itu? Bagaimana ia menanggalkan satu per satu topeng dusta dan dosanya? Bagaimana pula dia akan menghadapi semua akibatnya? Murka Mia. Luka jiwa Daru dan Ratri? Rasanya ia ingin menjerit. Menangisi semua kebodohan yang memabokkan, menimbulkan demam, ketagihan, dan rindu-dendam yang tak tertahankan!
Nah, tentang rasa bersalah ini, saya teringat apa yang digambarkan oleh Ernest R. Hilgard dalam Introduction to Psychology. Katanya, rasa bersalah bisa disebabkan oleh adanya konflik antara ekspresi impuls dan standar moral. Secara kultural, setiap kelompok masyarakat memiliki peraturan untuk mengendalikan impuls yang diawali dengan pendidikan sejak masa anak-anak hingga dewasa, termasuk pengendalian seks.
Seks dan agresi merupakan dua wilayah yang selalu menimbulkan konflik yang dihadapkan pada standar moral. Pelanggaran terhadap standar moral inilah yang bisa menimbulkan rasa bersalah. Bagus, secara moral merasa bersalah kepada Mia, istrinya, dan kedua anaknya.
Perasaan bersalah ini bisa ringan atau berat, bisa berlangsung lama atau singkat. Ini tergantung pada derajat rasa bersalah dan kemampuan mereka untuk mengatasinya. Rasa bersalah dengan derajat rendah dapat dihapuskan karena si individu mengingkarinya dan ia merasa benar.
Ada juga orang yang sadar apa yang harus dilakukannya dan ia sungguh-sungguh memahami bahwa ia telah melanggar suatu keharusan tertentu. Biasanya rasa bersalah jenis ini bertahan agak lama karena pelanggaran yang dia lakukan memiliki derajat yang cukup tinggi, khususnya dalam ukuran moral yang dia yakini. Menurut saya, rasa bersalah yang dialami oleh Bagus dan apa yang harus ia lakukan itu muncul dari suara hatinya.
Diskursus filosofis mengenai suara hati memang punya banyak dimensi. Mulai dari fakta adanya suara hati itu sendiri, kemutlakannya, potensi kekeliruannya, rasionalitasnya, sampai bagaimana melatih atau mengembangkannya. Di sini saya hanya akan mengutarakan hal-hal yang pokok yang mungkin sudah dimengerti banyak orang.
Suara hati adalah bagian hakiki dari kepribadian manusia. Suara hati ini bersifat personal. Urusan pribadi masing-masing orang. Tidak ada pihak luar yang bisa mengetahui kedalaman suara suara hati seseorang. Pembentukan mutu sura hati ini terkait dengan latar belakang, pendidikan, lingkungan, dan budaya seseorang.
Tetapi Bagus punya istri (Mia) serta dua anak (Daru dan Ratri) di Jakarta. Jadi mau tak mau ia harus kembali kepada keluarganya. Rasa bersalah menghantui Bagus. Ia merasa sudah terlalu lama dan terlalu banyak berdusta kepada Mia dan anak-anaknya. Rasa bersalahnya makin lama makin membesar dan menghantuinya. Apalagi, perkembangan terakhir hubungannya dengan Putri Chaya, sudah melibatkan Lenggang, gadis yang sudah terbiasa memanggilnya “Papa”.
Bagus merasa sedih dan takut. Ia tak tahu bakal ke mana hubungannya dengan kedua wanita itu. Ia seperti tak bsa menghentikannya. Tapi ia juga membutuhkan Mia. Ia membutuhkan bantuan dan kepercayaan Mia sekaligus pengampunan darinya. Bagus mengharapkan belas kasih dan pengertian Mia, lalu bersama-sama mencari solusinya.
Tetapi, bagaimana Bagus harus memulai pengakuan dosa itu? Bagaimana ia menanggalkan satu per satu topeng dusta dan dosanya? Bagaimana pula dia akan menghadapi semua akibatnya? Murka Mia. Luka jiwa Daru dan Ratri? Rasanya ia ingin menjerit. Menangisi semua kebodohan yang memabokkan, menimbulkan demam, ketagihan, dan rindu-dendam yang tak tertahankan!
Nah, tentang rasa bersalah ini, saya teringat apa yang digambarkan oleh Ernest R. Hilgard dalam Introduction to Psychology. Katanya, rasa bersalah bisa disebabkan oleh adanya konflik antara ekspresi impuls dan standar moral. Secara kultural, setiap kelompok masyarakat memiliki peraturan untuk mengendalikan impuls yang diawali dengan pendidikan sejak masa anak-anak hingga dewasa, termasuk pengendalian seks.
Seks dan agresi merupakan dua wilayah yang selalu menimbulkan konflik yang dihadapkan pada standar moral. Pelanggaran terhadap standar moral inilah yang bisa menimbulkan rasa bersalah. Bagus, secara moral merasa bersalah kepada Mia, istrinya, dan kedua anaknya.
Perasaan bersalah ini bisa ringan atau berat, bisa berlangsung lama atau singkat. Ini tergantung pada derajat rasa bersalah dan kemampuan mereka untuk mengatasinya. Rasa bersalah dengan derajat rendah dapat dihapuskan karena si individu mengingkarinya dan ia merasa benar.
Ada juga orang yang sadar apa yang harus dilakukannya dan ia sungguh-sungguh memahami bahwa ia telah melanggar suatu keharusan tertentu. Biasanya rasa bersalah jenis ini bertahan agak lama karena pelanggaran yang dia lakukan memiliki derajat yang cukup tinggi, khususnya dalam ukuran moral yang dia yakini. Menurut saya, rasa bersalah yang dialami oleh Bagus dan apa yang harus ia lakukan itu muncul dari suara hatinya.
Diskursus filosofis mengenai suara hati memang punya banyak dimensi. Mulai dari fakta adanya suara hati itu sendiri, kemutlakannya, potensi kekeliruannya, rasionalitasnya, sampai bagaimana melatih atau mengembangkannya. Di sini saya hanya akan mengutarakan hal-hal yang pokok yang mungkin sudah dimengerti banyak orang.
Suara hati adalah bagian hakiki dari kepribadian manusia. Suara hati ini bersifat personal. Urusan pribadi masing-masing orang. Tidak ada pihak luar yang bisa mengetahui kedalaman suara suara hati seseorang. Pembentukan mutu sura hati ini terkait dengan latar belakang, pendidikan, lingkungan, dan budaya seseorang.