Vaksin Jangan Jadi Ladang Bisnis

Selasa, 28 Juli 2020 - 08:37 WIB
loading...
A A A
Dia mengatakan ada kriteria-kriteria yang harus dipenuhi untuk menjadi relawan uji klinis vaksin covid-19 . Salah satunya berkaitan dengan usia yakni antara usia 18 hingga 59 tahun. “Kriteria yang ikut penelitian ini harus sehat. Jadi orang itu pasti diperiksa dulu dengan teliti. Periksa darahnya periksa jantungnya, periksa paru-parunya sudah sehat baru dia bisa ikut penelitian ini. Seperti itu,” katanya. (Baca juga: Simplikasi Cukai Bisa Lindungi Industri Rokok Kecil)

Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Dany Amrul Ichdan menyebutkan jika kerjasama pengembangan kandidat vaksin covid dengan Sinovach dilakukan secara bussines to bussines (B to B) bukan government to government (G to G). Nantinya PT Biofarma akan bekerjasama dengan Sinovach untuk memproduksi vaksin covid-19 secara massal jika telah lolos ujiklinis III.

Pada tahap awal produksi massal pemerintah harus menyiapkan sekitar Rp 25 triliun-Rp 30 triliun. Perkiraan angka tersebut dikalkulasikan dengan perkiraan harga vaksin yang mencapai 5-10 dollar AS, dikalikan dengan 175 juta vaksin. "Kalau katakanlah 5 dollar itu harganya dan dijual lebih kurang dengan harga yang sama, berarti negara harus mengalokasikan lebih kurang sekitar Rp25 sampai Rp30 triliun-lah harus disiapkan," kata Dany.

Kendati demikian, Pemerintah Indonesia akan melakukan pendekatan G to G untuk melakukan negoisasi agar harga vaksin bisa terjangkau oleh masyarakat Indonesia. Selain itu, pemerintah bakal menyiapkan payung hukum terkait pendekatan B2B yang digunakan dalam negosiasi uji klinis vaksin Sinovac tersebut. "Tapi, business to business yang dipayungi oleh regulator dalam hal ini memayungi, negara menyiapkan milestone-nya, menyiapkan pasar, support of technology juga join riset dengan BPPT dengan Kemenristek," ucapnya. (Baca juga: Hati-hati, Tanpa Izin Suami, Ibadah Sunah Istri Jadi Haram)

Indonesia Hanya Pasar

Skema kerjasama B to B dalam pengembangan vaksin covid-19 ini memantik kekhawatiran banyak kalangan. Seperti di masa lalu, dengan kerjasama B to B ini, Indonesia kembali akan menjadi pasar dari berbagai produk kesehatan termasuk obat-obatan. Yang lebih mengkhawatirkan dengan kerjasama B to B ini maka akan berlaku hukum pasar di mana produsen vaksin akan mudah menaikan atau menurunkan harga. Dengan tingkat ketergantungan tinggi, maka Indonesia tidak akan banyak memiliki nilai tawar.

"Persoalannya ini apakah business to business ini yang tadi concern saya itu adalah didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan atau tidak, Karena ini kan Covid ini kan musuh bersama, musuh kemanusiaan. Itu yang harus ditekankan, bukan uangnya, ini bukan persoalan uang," ujar anggota Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay.

Dengan jumlah penduduk yang mencapai 270 juta jiwa, tentu Indonesia menjadi incaran produsen vaksin covid-19. Apalagi vaksin covid-19 bukan vaksin permanen yang cukup diberikan sekali seumur hidup. Seperti vaksin flu lainnya, ada masa di mana pasien harus memperbarui vaksin mereka di masa tertentu. "Jika 270 juta (penduduk Indonesia) ini nanti dikasih vaksin, misalnya katakan seperti itu, bayangkan betapa besar misalnya bisnis yang sedang berjalan di Indonesia ini," ucap Saleh. (Baca juga: Keajaiban Kayangan Api, Tempat Semedi Pembuat Keris Majapahit)

Tergantung Itikad Pemerintah

Pakar Farmasi dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Dadang Kurniawan menilai Indonesia sebenarnya mempunyai kemampuan untuk memproduksi berbagai jenis obat termasuk vaksin secara mandiri. Indonesia mempunyai kesiapan baik dari segi sumber daya manusia maupun sumber hayati. Indonesia memiliki ribuan spesies tanaman obat. Namun karena industry farmasi selama ini dianakatirikan maka hamper 90% bahan obat-obatan di Indonesia masih merupakan bahan impor.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1418 seconds (0.1#10.140)