Vaksin Jangan Jadi Ladang Bisnis

Selasa, 28 Juli 2020 - 08:37 WIB
loading...
Vaksin Jangan Jadi Ladang...
Foto: dok/Reuters
A A A
JAKARTA - Kehadiran potensial vaksin covid-19 produksi Sinovac, China di tanah air disambut hangat. Saham beberapa perusahaan farmasi pun langsung melesat. Kendati demikian, muncul kekhawatiran potensial vaksin ini hanya menjadi ladang bisnis yang meminggirkan pertimbangan kemanusiaan.

Vaksin Covid-19 memang ditunggu-tunggu seluruh dunia. Saat ini kasus positif Covid-19 memang masih terus bertambah. Di benua Eropa sejumlah negara tidak mampu mencegah gelombang kedua virus yang menyerang sistem pernafasan tersebut. Di Amerika Selatan, jumlah kasus Covid-19 melaju tak terkendali. Amerika Latin mencatat 4.327.160 kasus virus corona dibandingkan dengan jumlah kasus gabungan antara AS dan Kanada yang mencapai 4.308.495.

Lonjakan infeksi Covid-19 terjadi di Brasil, Meksiko, Peru, Kolombia, dan Argentina. Sementara Amerika Serikat tercatat menjadi negara dengan jumlah kasus covid terbanyak. Setidaknya ada 4,2 juta kasus covid di negeri Paman Sam dengan jumlah kematian mencapai 146.000 kematian. Brazil menjadi negara kedua dengan kasus covid terbanyak yang mencapai 2,4 juta kasus dan 87 ribu kematian. Di Indonesia dalam lima bulan terakhir kasus positif covid-19 hampir menyentuh angka 100 ribu dengan 4.781 kematian. (Baca: Rusia Tidak Wajibkan Warganya Tidak Terima Vaksin Covid-19)

Upaya berbagai negara untuk kembali normal dengan menerapkan kebiasaan baru, juga belum sepenuhnya berjalan mulus. Hampir semua lini usaha masih tiarap. Ancaman sewaktu-waktu tertular virus masih membayangi berbagai aktivitas manusia. Beberapa negara pun menyatakan telah memasuki siklus resisi. Korea Selatan dan Singapura menjadi dua negara di kawasan Asia pertama yang terjerembab.

Indonesia dengan melihat tingkat pertumbuhan di kuartal kedua di kisaran minus 4,3%, bisa jadi akan segera menyusul. Tak heran saat mendengar potensial vaksin Covid-19 telah tiba di tanah air, harapan langsung membumbung. Bayangan berputarnya kembali rodak ekonomi, dibukanya kembali sekolah-sekolah, dibukanya kembali tempat wisata, hingga tempat ibadah secara leluasa terbayang di depan mata.

Masuknya kandidat vaksin dari Sinovac Biotech di Indonesia memang membawa harapan besar. Apalagi kandidat vaksin ini sudah melewati uji klinis tahap I dan II. Artinya vaksin siap diujicobakan relawan di Indonesia untuk melihat adakah efek samping. Dari uji tahap I dan II sebelumnnya diketahui jika vaksin efektif memunculkan antibody bagi virus covid-19 di tubuh manusia dalam kurun waktu 14 hari. (Baca juga: Pemerintah Berencana Gandeng PT Kalbe untuk Vaksin Covid-19)

“Vaksin ini aman dan mampu memicu respons kekebalan dan menunjukkan adanya potensi pertahanan diri melawan infeksi virus Covid-19. Kandidat vaksin Covid-19 bernama CoronaVac ini belum menunjukkan efek samping parah dan 90 orang disuntikkan vaksin ini menunjukkan adanya pembentukan antibodi penawar dalam 14 hari setelah inokulasi," ujar Sinovac dalam keterangan pers.

Kerjasama Bussines to Bussines

Awal Agustus ini rencananya kandidat vaksin dari Sinovac akan diujikliniskan kepada 1.620 relawan. Nantinya PT Biofarma akan bekerjasama dengan Universitas Padjajaran untuk melakukan ujiklinis tahap ke III. Pemerintah menjamin akan memberikan perlindungan terhadap para relawan yang akan berpartisipasi dalam uji klinis vaksin covid-19.

Saat ini sedang dilakukan perekrutan relawan uji klinis vaksin. Hal ini nantinya berpengaruh pada lamanya proses uji klinis vaksin. Koordinator Uji Klinis Vaksin Covid-19 yang juga Guru Besar Universitas Padjadjaran (Unpad) Kusnandi Rusmil mengatakan dibutuhkan setidaknya 1.620 relawan untuk uji klinis vaksin covid-19.

Dia mengatakan ada kriteria-kriteria yang harus dipenuhi untuk menjadi relawan uji klinis vaksin covid-19 . Salah satunya berkaitan dengan usia yakni antara usia 18 hingga 59 tahun. “Kriteria yang ikut penelitian ini harus sehat. Jadi orang itu pasti diperiksa dulu dengan teliti. Periksa darahnya periksa jantungnya, periksa paru-parunya sudah sehat baru dia bisa ikut penelitian ini. Seperti itu,” katanya. (Baca juga: Simplikasi Cukai Bisa Lindungi Industri Rokok Kecil)

Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Dany Amrul Ichdan menyebutkan jika kerjasama pengembangan kandidat vaksin covid dengan Sinovach dilakukan secara bussines to bussines (B to B) bukan government to government (G to G). Nantinya PT Biofarma akan bekerjasama dengan Sinovach untuk memproduksi vaksin covid-19 secara massal jika telah lolos ujiklinis III.

Pada tahap awal produksi massal pemerintah harus menyiapkan sekitar Rp 25 triliun-Rp 30 triliun. Perkiraan angka tersebut dikalkulasikan dengan perkiraan harga vaksin yang mencapai 5-10 dollar AS, dikalikan dengan 175 juta vaksin. "Kalau katakanlah 5 dollar itu harganya dan dijual lebih kurang dengan harga yang sama, berarti negara harus mengalokasikan lebih kurang sekitar Rp25 sampai Rp30 triliun-lah harus disiapkan," kata Dany.

Kendati demikian, Pemerintah Indonesia akan melakukan pendekatan G to G untuk melakukan negoisasi agar harga vaksin bisa terjangkau oleh masyarakat Indonesia. Selain itu, pemerintah bakal menyiapkan payung hukum terkait pendekatan B2B yang digunakan dalam negosiasi uji klinis vaksin Sinovac tersebut. "Tapi, business to business yang dipayungi oleh regulator dalam hal ini memayungi, negara menyiapkan milestone-nya, menyiapkan pasar, support of technology juga join riset dengan BPPT dengan Kemenristek," ucapnya. (Baca juga: Hati-hati, Tanpa Izin Suami, Ibadah Sunah Istri Jadi Haram)

Indonesia Hanya Pasar

Skema kerjasama B to B dalam pengembangan vaksin covid-19 ini memantik kekhawatiran banyak kalangan. Seperti di masa lalu, dengan kerjasama B to B ini, Indonesia kembali akan menjadi pasar dari berbagai produk kesehatan termasuk obat-obatan. Yang lebih mengkhawatirkan dengan kerjasama B to B ini maka akan berlaku hukum pasar di mana produsen vaksin akan mudah menaikan atau menurunkan harga. Dengan tingkat ketergantungan tinggi, maka Indonesia tidak akan banyak memiliki nilai tawar.

"Persoalannya ini apakah business to business ini yang tadi concern saya itu adalah didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan atau tidak, Karena ini kan Covid ini kan musuh bersama, musuh kemanusiaan. Itu yang harus ditekankan, bukan uangnya, ini bukan persoalan uang," ujar anggota Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay.

Dengan jumlah penduduk yang mencapai 270 juta jiwa, tentu Indonesia menjadi incaran produsen vaksin covid-19. Apalagi vaksin covid-19 bukan vaksin permanen yang cukup diberikan sekali seumur hidup. Seperti vaksin flu lainnya, ada masa di mana pasien harus memperbarui vaksin mereka di masa tertentu. "Jika 270 juta (penduduk Indonesia) ini nanti dikasih vaksin, misalnya katakan seperti itu, bayangkan betapa besar misalnya bisnis yang sedang berjalan di Indonesia ini," ucap Saleh. (Baca juga: Keajaiban Kayangan Api, Tempat Semedi Pembuat Keris Majapahit)

Tergantung Itikad Pemerintah

Pakar Farmasi dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Dadang Kurniawan menilai Indonesia sebenarnya mempunyai kemampuan untuk memproduksi berbagai jenis obat termasuk vaksin secara mandiri. Indonesia mempunyai kesiapan baik dari segi sumber daya manusia maupun sumber hayati. Indonesia memiliki ribuan spesies tanaman obat. Namun karena industry farmasi selama ini dianakatirikan maka hamper 90% bahan obat-obatan di Indonesia masih merupakan bahan impor.

Keterdesakan atau ketidakberdayaan atas berbagai kontrol alat kesehatan maupun bahan vaksin baru terasa saat ada pandemic seperti Covid-19 menyerang. “Industri farmasi kita sangat jauh ketinggalan karena minimnya itikad pemerintah untuk membangun industry ini. Kondisi ini berbeda jika kita bandingkan dengan keseriusan Negara-negara eropa dalam melindungi dan mengembangkan industri farmasi mereka,” ujar kandidat Doktor bidang Farmasi Universitas Tweente, Belanda ini. (Lihat videonya: Kawanan Monyet Liar Serbu permukiman Warga di Lembang Bandung)

Pun juga dalam pengembangan vaksin covid-19 . Indonesia mempunyai lembaga-lembaga kompeten untuk mengembangkan sendiri vaksin local. Indonesia juga mempunyai sumberdaya manusia dan alam yang mumpuni. Hadirnya pandemic Covid-19 harusnya menjadi momentum Indonesia untuk memperbaiki system kesehatan nasional maupun perbaikan industry farmasi dalam negeri.

“Sudah saatnya kita secara serius memperbaiki system kesehatan termasuk di dalamnya perbaikan manajemen industry farmasi dalam negeri sehingga perlahan-lahan kita mengurangi ketergantungan dari industry farmasi dari luar negeri,” pungkas alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) ini. (Dita Angga/Nono Suwarno)
(ysw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1226 seconds (0.1#10.140)