Kasus Kekerasan di Kampus Menyusut?

Rabu, 12 Juli 2023 - 12:48 WIB
loading...
Kasus Kekerasan di Kampus Menyusut?
Hendarman. Foto/Dok Pribadi
A A A
Hendarman
Analis Kebijakan Ahli Utama pada Kemendikbudristek/Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan

Pendidikan tinggi merupakan batu loncatan sehingga setiap kampus di Indonesia seyogianya harus merdeka dari segala bentuk kekerasan dan menjadi lingkungan yang kondusif bagi mahasiswa untuk mengembangkan potensinya. Yang menjadi tantangan adalah kekerasan terutama kekerasan seksual paling sulit dibuktikan, tetapi efeknya sangat besar dan berjangka panjang.

Itu sebabnya Pemerintah telah meluncurkan episode 14 Merdeka Belajar tentang Kampus Merdeka dari Kekerasan Seksual. Peluncuran diikuti dengan terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Setelah berjalan dua tahun, apakah kampus memang bertransformasi menjadi tempat yang aman dan menyenangkan? Apakah Permendikbudristek tersebut berdampak munculnya keberanian melapor oleh korban dan penyelesaian kasus secara berkeadilan?

Pelaporan dan Penanganan Kasus

Pasal 1 Permendikbudristek ini memberikan definisi jelas tentang kekerasan seksual. Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.

Juga dijelaskan, pencegahan adalah tindakan/cara/proses yang dilakukan agar seseorang atau sekelompok orang tidak melakukan kekerasan seksual di Perguruan Tinggi. Sedangkan penanganan adalah tindakan/cara/proses untuk menangani kekerasan seksual di Perguruan Tinggi.

Episode 14 Merdeka Belajar ini tampaknya berdampak positif. Indikatornya antara lain muncul pelaporan berbagai kasus, pihak perguruan tinggi merespon cepat, serta penanganan dan penindakan transparan dan berkeadilan. Terungkap, pelaku bisa dosen atau mahasiswa; sedangkan tipologi kasus yaitu antara dosen dan mahasiswa, serta sesama mahasiswa.

Pada salah satu perguruan tinggi di Sumatera Barat, terungkap 12 korban kasus dugaan pelecehan atau kekerasan seksual oleh dua mahasiswa fakultas tertentu. Terungkap karena laporan salah satu korban. Laporan diikuti pemeriksaan terhadap pelapor, korban, dan saksi-saksi. Pelaku diberhentikan mengikuti kuliah dengan bukti yang ada.

Kasus lain di salah satu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Sumatera Selatan, di mana dosen salah satu fakultas diduga melecehkan beberapa mahasiswinya. Kasus ini bermula dari aduan anonim seorang mahasiswi di media sosial instagram. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) PTN tersebut memfasilitasi pendampingan sehingga muncul 2 laporan baru. Pelaku yang sama tetapi korban dari fakultas berbeda. Dosen pelaku ditahan usai menjalani pemeriksaan, dan ditetapkan sebagai tersangka.

Kasus lain ditemukan di salah satu kampus di Malang. Berita mencuat karena korban pelecehan ditemukan meninggal di makam ayahnya di Mojokerto. Korban pernah melaporkan kasusnya dengan pelaku adalah kakak tingkatnya. Pihak kampus membentuk Komisi Etik, dan memberikan sanksi kepada pelaku karena terbukti bersalah.

Peran Satuan Tugas

Pasal 34-36 Permendikbudristek ini mengatur pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Tugas Satgas meliputi edukasi tentang pencegahan, penangan laporan, serta pemantauan dan evaluasi. Kewenangan satgas yaitu harus berkolaborasi dengan pihak internal dan eksternal kampus untuk penanganan yang baik. Kode etik satgas adalah menjamin independensi dan kerahasiaan identitas pihak-pihak terkait.

Dari berbagai sumber, faktanya satgas sudah dibentuk pada seluruh 125 perguruan tinggi negeri (PTN), dan pada 49 perguruan tinggi swasta (PTS). Salah satu indikator efektif satgas adalah pengungkapan kasus yang cukup cepat. Satgas langsung mendampingi korban setelah menerima laporan, serta melanjutkan laporan baik ke kampus maupun pihak kepolisian.

Dari contoh di atas, terbukti bahwa jumlah aduan terhadap kekerasan seksual cukup meningkat. Hal yang selama ini disembunyikan karena rasa khawatir dan ketakutan korban mulai hilang. Korban meyakini bahwa laporannya akan disikapi secara obyektif dan cepat. Sebelum adanya Kemendikbudristek ini, kasus kekerasan seksual masih dianggap aib atau tabu, bahkan sering kali korban yang justru disalahkan dan mendapatkan revictimisasi.

Meningkatnya keberanian melapor harus menjadi salah satu target kinerja. Pengaduan meningkat akan menyebabkan penyusutan jumlah kasus. Untuk itu, perlu sinergitas dan kolaborasi seluruh pihak agar kejadian kekerasan seksual tidak terulang kembali. Pihak kampus harus lebih terbuka kepada publik dan mengajak pihak terkait di provinsi/kabupaten/kota untuk melakukan upaya pencegahan dan memfasilitasi, sosialisasi, kampanye, dan literasi lainya.
(wur)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2493 seconds (0.1#10.140)