DPR Minta Polri Bikin Terobosan agar Korban KDRT Berani Lapor
loading...
A
A
A
JAKARTA - Polri diharapkan mampu membuat terobosan agar para korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga ( KDRT ) mau melaporkan terhadap tindakan kekerasan yang dialaminya. Pandangan ini disampaikan Wakil Ketua Komisi III DPR, Ahmad Sahroni.
"Memang jumlahnya berkurang, tapi polisi sendiri yang mengakui bahwa bisa jadi karena para korban enggan melapor. Kalau begini berarti yang harus dicari solusinya adalah, bagaimana bikin korban berani lapor?" kata Sahroni, Selasa (11/7/2023).
"Misalnya dengan mewujudkan penanganan hukum berbasis gender, memaksimalkan pemberdayaan Polwan dalam menangani kasus-kasus KDRT, hingga yang paling penting, menghilangkan stigma bahwa lapor polisi itu justru cenderung tidak membantu korban," tambahnya.
Sahroni juga menyoroti tentang persepsi di masyarakat yang kerap menyalahkan atau tidak membela korban ketika melapor ke polisi. Ia pun meminta jajaran polisi membenahi hal ini, karena polisi justru harus melindungi dan memastikan kesehatan mental korban KDRT.
"Kita sering dengar korban yang lapor ke polisi malah disuruh memaafkan pelakunya, bahkan ada kasus pemerkosaan yang justru disuruh nikah sama pelaku," jelasnya.
"Atau juga pelapor yang ketika lapor justru dilecehkan secara verbal oleh penyidik ketika membuat laporan. Hal-hal seperti ini jangan sampai terjadi lagi. Pak Kapolri dan jajarannya harus tegas. Tidak hanya edukasi, tapi beri hukuman oknum polisi yang masih melakukan hal-hal tersebut," sambungnya.
Terakhir, Sahroni meminta Kepolisian untuk memaksimalkan Direktorat Perlindungan Perempuan dan Anak yang dibentuk pada era Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo.
"Di era Pak Sigit ini, telah dilakukan terobosan baru yakni ditingkatkannya status biro perlundungan perempuan dan anak menjadi direktorat. Nah, hal ini tidak boleh hanya jadi perubahan status saja," tegasnya.
"Tapi harus benar-benar diimplementasikan melalui perlindungan hukum yang lebih menyeluruh terhadap korban. Mulai sari bantuan hukum, layanan rehabilitasi, hingga penanganan trauma yang sinergis bersama lembaga terkait lainnya," tutupnya.
"Memang jumlahnya berkurang, tapi polisi sendiri yang mengakui bahwa bisa jadi karena para korban enggan melapor. Kalau begini berarti yang harus dicari solusinya adalah, bagaimana bikin korban berani lapor?" kata Sahroni, Selasa (11/7/2023).
"Misalnya dengan mewujudkan penanganan hukum berbasis gender, memaksimalkan pemberdayaan Polwan dalam menangani kasus-kasus KDRT, hingga yang paling penting, menghilangkan stigma bahwa lapor polisi itu justru cenderung tidak membantu korban," tambahnya.
Sahroni juga menyoroti tentang persepsi di masyarakat yang kerap menyalahkan atau tidak membela korban ketika melapor ke polisi. Ia pun meminta jajaran polisi membenahi hal ini, karena polisi justru harus melindungi dan memastikan kesehatan mental korban KDRT.
"Kita sering dengar korban yang lapor ke polisi malah disuruh memaafkan pelakunya, bahkan ada kasus pemerkosaan yang justru disuruh nikah sama pelaku," jelasnya.
"Atau juga pelapor yang ketika lapor justru dilecehkan secara verbal oleh penyidik ketika membuat laporan. Hal-hal seperti ini jangan sampai terjadi lagi. Pak Kapolri dan jajarannya harus tegas. Tidak hanya edukasi, tapi beri hukuman oknum polisi yang masih melakukan hal-hal tersebut," sambungnya.
Terakhir, Sahroni meminta Kepolisian untuk memaksimalkan Direktorat Perlindungan Perempuan dan Anak yang dibentuk pada era Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo.
"Di era Pak Sigit ini, telah dilakukan terobosan baru yakni ditingkatkannya status biro perlundungan perempuan dan anak menjadi direktorat. Nah, hal ini tidak boleh hanya jadi perubahan status saja," tegasnya.
"Tapi harus benar-benar diimplementasikan melalui perlindungan hukum yang lebih menyeluruh terhadap korban. Mulai sari bantuan hukum, layanan rehabilitasi, hingga penanganan trauma yang sinergis bersama lembaga terkait lainnya," tutupnya.
(maf)