Benahi Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Jadi PR Jokowi-JK

Senin, 24 Oktober 2016 - 16:42 WIB
Benahi Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Jadi PR Jokowi-JK
Benahi Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Jadi PR Jokowi-JK
A A A
JAKARTA - Reformasi birokrasi dan kinerja aparatur negara masih menjadi pekerjaan rumah (PR) di dua tahun Pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK).

Sementara Presiden Jokowi melakukan gebrakan dengan berantas pungutan liar (pungli) dan terus memperbaiki sumber daya manusia (SDM) di sejumlah sektor.

Melihat fenomena permasalahan seperti yang dijabarkan di atas, Sindonews melakukan wawancara eksklusif bersama mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menteri PAN-RB), Azwar Abubakar.

Menurut Anda, bagaimana pendayagunaan aparatur negara di dua tahun kepemimpinan Jokowi-JK?‎

Memang pendayagunaan aparatur negara ini sangat lemah. Karena itulah dibuat, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.

Reformasi birokrasi itu harus ada peningkatan kemampuan, kompetensi dari pegawai negeri sipil (PNS) yang ada.‎ Dilatih, diberi pengetahuan, diberi keterampilan, itu perlu biaya. Hitungan kita dulu sekitar Rp6 triliun.

Tanpa peningkatan pengetahuan, enggak bisa kita berdayakan mereka (PNS). Itu tidak semua harus lewat sekolah, bisa juga dengan modul-modul. Jadi secara periodik orang dilatih, sehingga ada peningkatan kemampuan.

Sejauh mana reformasi birokrasi di dua tahun kepemimpinan Jokowi-JK?‎

‎Birokrasi kira termasuk birokrasi negara yang katakanlah kelompok terjelek. Jadi untuk memindahkan orang dari comfort zone ke competitive zone.

Jadi luas itu yang disebut dengan reformasi birokrasi, bagaimana membuat birokrat total melayani, kemudian dia bersih dan berkinerja.

Reformasi birokrasi yang penting adalah standar minimalnya seperti apa, syarat-syarat pelayanan seperti apa, kalau harus bayar retribusi atau hal-hal lain berapa, enggak boleh ada tambah-tambahan, harus clear betul.

Jadi pelayanan publik itu harus betul-betul memuaskan. Bayangkanlah negara membayar birokrat berapa ratus triliun pertahun, dalam keadaan sulit, masa masyarakat dapat pelayanan yang tidak sesuai dengan standarnya.

‎Sekarang Pak Jokowi membuat operasi pemberantasan pungli, operasi bersih-bersih, saya kira itu bagus, sebagai satu upaya.

Pendapat Anda terkait kebijakan PAN-RB di dua tahun Jokowi JK?

Ya kalau kebijakan saya kira masih berjalan, tinggal pelaksanaannya lagi. Tapi memang enggak perlu dibuat baru. Itu kan dulu dibuat pakar-pakar, birokrat juga, ahli-ahli di kampus, pengalaman-pengalaman kita yang lalu.

Pembenahannya ini kan sudah lama, yang ada itu diteruskan, sudah benarlah, di sana sini diperbaiki. Yang benar itu kita jalankan.‎ Yang dulu juga belum selesai, masih banyak peluang untuk kita perbaiki.

Apakah koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidang PAN-RB sudah sesuai harapan?‎

‎Jadi salah satu kemajuan bidang penataan SDM adalah UU tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Memang masih memerlukan beberapa peraturan pemerintah untuk penjabaran dari Undang-undang itu.

Tapi, UU ASN ini saja sudah terasa. Kementerian PAN-RB sebagai leading sector bersama-sama dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), merumuskan dari UU dengan segala penjabarannya.

Tapi dalam pelaksanaannya, itu tidak harus Kementerian PAN-RB berada paling depan. Kalau bicara pemerintah kabupaten/kota yang jumlahnya 500 lebih, provinsi 33 jumlahnya, itu seyogyanya kewenangan dari Kemendagri.

Contohnya meritokrasi, di sebagian daerah bagus, tapi di daerah lain masih kayak dulu, tanpa teguran, nah ini harus sama-sama (diperbaiki), apa yang menjadi kewenangan Kementerian PAN-RB.

Bagaimana pengawasan aparatur negara dan birokrasi di dua tahun kepemimpinan Jokowi-JK?


Itu luas sekali. Di mana? Kalau di kabupaten/kota, tentu yang berhak (mengawasi) gubernur sebagai koordinator dari kabupaten/kota dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), sesuai dengan amanat UU tentang Otonomi Daerah (Otda).‎

Apa saja kendala di Kementerian PAN-RB dan masih dihadapi Pemerintahan ‎Jokowi-JK selama dua tahun ini?

Pertama, baik di kementerian/lembaga maupun daerah, enggak mau berubah dari comfort zone, masih enggak mau berubah, masih ingin yang biasa-biasa seperti yang lama.

Kedua, enggak yakin kalau kita bisa berubah, jadi seperti ogah-ogahan. Karena itu berikan penilaian kinerja. Ada yang bagus, ada yang sedang, ada yang masih kurang.

Buat orang takut malu, supaya diperbaiki. Tapi sekali lagi, jangan dipermalukan. Jangan kerja yang enggak perlu dikerjakan. Jadi kerja-kerja yang substansial, mengubah birokrasi yang jelek menjadi birokrasi yang baik.

Misalnya diberikan penghargaan, ada remunerasi akibat kerjanya bagus, nah ini harus mulai diukur, ada pengukuran individual, harus diterapkan.

Bagaimana dengan persoalan rekrutmen calon pegawai negeri sipil (CPNS)‎?


Dengan UU ASN, pola perekrutan itu harus fair, tidak boleh ada permainan lagi. Kemudian sudah kita contohkan pada 2013, seluruhnya pakai tes kepatuhan menggunakan komputer, lalu tes bidang, itu luar biasa.

Itu tidak hanya bertujuan untuk menghasilkan PNS yang bagus, yang baik, tapi ada hal lain. Pertama, masyarakat sudah percaya lho, bahwa Indonesia bisa jujur, seluruh orang masuk departemen enggak bisa pakai lagi katabelece, itu luar biasa.

Sekarang, anak yang punya duit, anak pejabat pun enggak bisa masuk kalau enggak lolos tes. Ini menurut saya, revolusi mental, patut diteruskan.

Saran kepada Pemerintah Jokowi-JK?

Reformasi birokrasi khusus bidang korupsi. Komitmen Jokowi kita tidak ragu. Yang perlu kerja sama di antara entitas. Aparat penegak hukum ini walaupun ada perbaikan masih sendiri-sendiri jalannya.

Meskipun diketahui banyak oknum-oknum yang belum beres. Dalam kondisi seperti itu perlu berangkulan mengatur tahapan-tahapan. Ada kelebihan pada KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) bisa menyidik, menyadap, tapi ada kelebihan polisi memiliki SDM yang besar.

Di Kejaksaan pun demikian, disisihkan oknum-oknum yang dicurigai tidak memiliki integritas yang baik. Sehingga pimpinan atau SDM di Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman di posisi tertentu, punya integritas sama, jadi saling berangkulan.

Saya menyarankan presiden memang tidak boleh dan tidak perlu mencampuri substansi perkara. Tapi secara manajerial mendorong terjadinya elaborasi entitas, pemangku kepentingan untuk berantas korupsi dan mencegahnya perlu diadakan.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4720 seconds (0.1#10.140)