Petugas Partai Versus Presidensialisasi Politik

Senin, 10 Juli 2023 - 14:21 WIB
loading...
A A A
Selain pemimpin tertinggi partai, presiden dan atau wakil presiden di era SBY adalah juga pemimpin koalisi pendukung pemerintahan. Dalam koalisi juga tidak terjadi ambiguitas: siapakah pemimpin koalisi, apakah presiden atau ketua partai pemenang pemilu: dua-duanya ada di tangan presiden. Dengan wibawa dan distribusi barang-barang koalisi (coalitional goods) yang didistribusikan relatif proporsional, presiden dapat memimpin pemerintahan secara mulus.

Di era Presiden Jokowi, presidensialisasi politik terjadi tidak hanya dalam dua makna di atas, tapi juga mengambil bentuk ketiga. Pertama, personalisasi politik tetap terjadi, baik dalam proses politik seperti pemilu, maupun pengelolaan partai politik. Partai-partai politik cenderung bergantung pada figur-figur besar, baik dalam arti kepemimpinan maupun dalam arti kekuatan finansial, atau keduanya.

Kedua, tidak seperti di era SBY, ambiguitas hubungan presiden dan partainya di legislatif terlihat cukup jelas. Yang paling baru terlihat adalah kebijakan Presiden soal penyelenggaraan Piala Dunia U-20 tahun 2023. Kebijakan Presiden adalah tetap menyelenggarakan kegiatan tersebut dan menganggap kehadiran Israel adalah soal olahraga, bukan soal politik. Namun partai Presiden, PDIP, melalui beberapa kadernya menyatakan sebaliknya. Kegiatan tersebut kemudian batal diselenggarakan.

Soal koalisi pendukung pemerintah juga bisa muncul pertanyaan, siapakah sesungguhnya yang memimpin? Apakah Presiden atau Ketua Umum partainya Presiden? Tentu saja secara formal jawabannya jelas yaitu koalisi pemerintahan dipimpin Presiden. Dalam sistem presidensial, koalisi pendukung pemerintahan itu ada karena presiden memerlukannya. Namun, apakah prakteknya memang demikian?

Ketiga, paradoks dengan kedua makna tersebut, di era Jokowi mulai terlihat fenomena yang di kenal sebagai mayoritarianisme presidensial. Presiden terlihat makin dominan di berbagai lini. Makin sulit bagi partai, terutama anggota koalisi pemerintahan untuk berbeda kebijakan atau bahkan sikap dengannya.

Sejumlah undang-undang penting (seperti revisi UU KPK, UU Omnibus, dll), walau kontroversial cenderung lolos dengan mudah di DPR, karena didukung atau diusulkan oleh presiden. Revisi undang-undang pemilu pada 2021 lalu, dengan mudah ditolak oleh presiden, padahal hampir semua partai politik sudah setuju dan berencana untuk mengubahnya.

Sikap partai Nasdem yang berbeda dengan presiden soal calon presiden 2024, meski tidak secara langsung berkaitan dengan koalisi pemerintahan, membuat partai tersebut seolah bukan lagi anggota koalisi. Hampir tak ada partai yang mau menjadi oposisi. Kekuatan dukungan politik presiden di DPR bahkan mencapai 82% kursi, terbesar sejak 20 tahun terakhir.

Potensi terjadinya mayoritarianisme presidensial dalam sistem presidensial, sebetulnya sudah sejak lama didalilkan oleh Juan Linz (ilmuwan politik ahli sistem pemerintahan yang sangat berpengaruh). Dia menyebutnya sebagai salah satu masalah bawaan (the peril) sistem tersebut.

Gejala ini bisa terjadi karena kombinasi sejumlah faktor. Pertama, dari presiden sendiri yang menginginkan koalisi sebesar mungkin (oversized coalition). Secara obyektif memang ada kebutuhan untuk koalisi besar. Karena kekuatan partai-partai di DPR tidak ada yang dominan (misalnya lebih dari 40%) maka anggota koalisi harus banyak.

Presiden harus mengantipasi kalau dalam perjalanan pemerintahan ada partai yang berbeda dalam kebijakan tertentu. Bila anggota koalisi banyak, maka adanya satu atau dua partai yang tidak mendukung presiden dalam kebijakan tertentu kemungkinan tidak akan membuat kebijakan tersebut gagal disetujui.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1460 seconds (0.1#10.140)