Petugas Partai Versus Presidensialisasi Politik

Senin, 10 Juli 2023 - 14:21 WIB
loading...
Petugas Partai Versus Presidensialisasi Politik
Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Dosen Ilmu Politik Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Djayadi Hanan. Foto/Istimewa
A A A
Djayadi Hanan
Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Dosen Ilmu Politik Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)

ISTILAH petugas partai tampaknya merujuk pada pengertian bahwa seorang politisi yang bertugas di pemerintahan (eksekutif maupun legislatif) adalah suruhan atau memperoleh penugasan dari partai asalnya untuk melaksanakan misi, kebijakan, atau ideologi partai tersebut. Hal yang sama juga diberlakukan untuk proses nominasi calon oleh partai baik untuk eksekutif (calon presiden/wakil presiden, kepala daerah), maupun legislatif (DPR, DPRD).

Istilah atau konsep petugas partai terasa agak unik Indonesia. Istilah yang lebih umum adalah kader partai (party cadre) atau perwakilan partai (party representative) atau pejabat/pengurus partai (party official).

Di Amerika Serikat, presiden yang terpilih biasanya langsung dianggap sebagai pemimpin partai (party leader) dari Demokrat atau Republik, bukan petugas partai. Yang juga unik adalah penggunaan istilah ini dipakai oleh PDI-Perjuangan. Belum pernah atau hampir tidak pernah terdengar partai lain menggunakan istilah ini.

Mengapa istilah ini perlu ditegaskan oleh partai seperti PDIP? Bukankah kita sudah mafhum bahwa secara konstitusional partai memegang peran sentral dalam proses politik di Indonesia. Calon-calon yang berkompetisi dalam pemilu maupun yang mengisi jabatan politik semuanya adalah orang partai atau lewat partai.

Jawaban atas pertanyaan ini kemungkinan terkait dengan fenomena presidensialisasi politik yang terjadi dalam sistem pemerintahan presidensial seperti diterapkan di Indonesia. Istilah petugas partai merupakan upaya mengimbangi presidensialisasi politik.

Namun, di tengah demikian kuatnya peran partai politik dalam semua proses dan rekrutmen politik di Indonesia, penegasan istilah ini berisiko menghadirkan parlementarisasi politik.

Presidensialisasi politik


Di negara-negara yang menggunakan sistem pemerintahan presidensial, dikenal fenomena presidensialisasi politik. Maknanya ada dua. Pertama, makin kuatnya peran figur personal terutama calon-calon potensial untuk lembaga eksekutif, presiden yang sedang berkuasa, dan para pimpinan atau pengendali partai politik. Proses politik dan partai politik banyak bergantung pada figur-figur personal.

Kedua, terjadi ambiguitas hubungan antara partai politik yang ada di parlemen atau legislatif, dengan (kader/utusan) partai politik yang ada di lembaga eksekutif (presiden, anggota kabinet) ketika menjalankan pemerintahan. Berbeda dengan sistem parlementer, hubungan eksekutif dan legislatif dalam sistem presidensial bersifat setara, saling cek dan menyeimbangkan. Salah satu tidak dapat membubarkan yang lain.

Hubungan presiden dan anggota legislatif yang berasal dari partai yang sama menjadi ambigu: apakah presiden harus selalu tunduk pada partainya di legislatif, atau sebaliknya, apakah partai harus selalu mendukung kebijakan presidennya. Seringkali presiden harus mengutamakan kebijakan atau politik yang melampaui partainya. Sebaliknya seringkali partai presiden di parlemen harus mengutamakan tugasnya untuk secara kritis mengawasi presiden sebagai eksekutif (fungsi pengawasan legislatif).

Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang menonjol terjadi adalah presidensialisasi makna pertama: proses politik, terutama rekrutmen politik dan pengelolaan partai politik banyak bergantung pada figur personal. Makna kedua kurang terlihat. Ambiguitas hubungan antara presiden dan partainya tidak terlihat karena presiden sekaligus adalah ketua partai. Bahkan, di periode kedua, presiden adalah ketua partai pemenang pemilu. Di periode pertama SBY, wakil presiden adalah sekaligus juga ketua partai besar. Tidak terjadi ambiguitas hubungan wapres dengan partainya di DPR.

Selain pemimpin tertinggi partai, presiden dan atau wakil presiden di era SBY adalah juga pemimpin koalisi pendukung pemerintahan. Dalam koalisi juga tidak terjadi ambiguitas: siapakah pemimpin koalisi, apakah presiden atau ketua partai pemenang pemilu: dua-duanya ada di tangan presiden. Dengan wibawa dan distribusi barang-barang koalisi (coalitional goods) yang didistribusikan relatif proporsional, presiden dapat memimpin pemerintahan secara mulus.

Di era Presiden Jokowi, presidensialisasi politik terjadi tidak hanya dalam dua makna di atas, tapi juga mengambil bentuk ketiga. Pertama, personalisasi politik tetap terjadi, baik dalam proses politik seperti pemilu, maupun pengelolaan partai politik. Partai-partai politik cenderung bergantung pada figur-figur besar, baik dalam arti kepemimpinan maupun dalam arti kekuatan finansial, atau keduanya.

Kedua, tidak seperti di era SBY, ambiguitas hubungan presiden dan partainya di legislatif terlihat cukup jelas. Yang paling baru terlihat adalah kebijakan Presiden soal penyelenggaraan Piala Dunia U-20 tahun 2023. Kebijakan Presiden adalah tetap menyelenggarakan kegiatan tersebut dan menganggap kehadiran Israel adalah soal olahraga, bukan soal politik. Namun partai Presiden, PDIP, melalui beberapa kadernya menyatakan sebaliknya. Kegiatan tersebut kemudian batal diselenggarakan.

Soal koalisi pendukung pemerintah juga bisa muncul pertanyaan, siapakah sesungguhnya yang memimpin? Apakah Presiden atau Ketua Umum partainya Presiden? Tentu saja secara formal jawabannya jelas yaitu koalisi pemerintahan dipimpin Presiden. Dalam sistem presidensial, koalisi pendukung pemerintahan itu ada karena presiden memerlukannya. Namun, apakah prakteknya memang demikian?

Ketiga, paradoks dengan kedua makna tersebut, di era Jokowi mulai terlihat fenomena yang di kenal sebagai mayoritarianisme presidensial. Presiden terlihat makin dominan di berbagai lini. Makin sulit bagi partai, terutama anggota koalisi pemerintahan untuk berbeda kebijakan atau bahkan sikap dengannya.

Sejumlah undang-undang penting (seperti revisi UU KPK, UU Omnibus, dll), walau kontroversial cenderung lolos dengan mudah di DPR, karena didukung atau diusulkan oleh presiden. Revisi undang-undang pemilu pada 2021 lalu, dengan mudah ditolak oleh presiden, padahal hampir semua partai politik sudah setuju dan berencana untuk mengubahnya.

Sikap partai Nasdem yang berbeda dengan presiden soal calon presiden 2024, meski tidak secara langsung berkaitan dengan koalisi pemerintahan, membuat partai tersebut seolah bukan lagi anggota koalisi. Hampir tak ada partai yang mau menjadi oposisi. Kekuatan dukungan politik presiden di DPR bahkan mencapai 82% kursi, terbesar sejak 20 tahun terakhir.

Potensi terjadinya mayoritarianisme presidensial dalam sistem presidensial, sebetulnya sudah sejak lama didalilkan oleh Juan Linz (ilmuwan politik ahli sistem pemerintahan yang sangat berpengaruh). Dia menyebutnya sebagai salah satu masalah bawaan (the peril) sistem tersebut.

Gejala ini bisa terjadi karena kombinasi sejumlah faktor. Pertama, dari presiden sendiri yang menginginkan koalisi sebesar mungkin (oversized coalition). Secara obyektif memang ada kebutuhan untuk koalisi besar. Karena kekuatan partai-partai di DPR tidak ada yang dominan (misalnya lebih dari 40%) maka anggota koalisi harus banyak.

Presiden harus mengantipasi kalau dalam perjalanan pemerintahan ada partai yang berbeda dalam kebijakan tertentu. Bila anggota koalisi banyak, maka adanya satu atau dua partai yang tidak mendukung presiden dalam kebijakan tertentu kemungkinan tidak akan membuat kebijakan tersebut gagal disetujui.

Kedua, kekuatan kelembagaan yang dikendalikan presiden jauh lebih kuat dibanding kekuatan kelembagaan yang dikendalikan partai-partai di DPR. Misalnya mesin birokrasi eksekutif jauh lebih kuat dibanding mesin birokrasi DPR.

Ketiga, adanya kecenderungan partai-partai untuk lebih suka menjadi bagian dari koalisi presiden. Tidak banyak partai yang mau menjadi oposisi. Selain itu, presiden juga punya sumber kekuatan lain yang bisa membuatnya dominan, yaitu dukungan publik.

Dengan program-programnya yang populer seperti infrastruktur jalan dan kemampuan menjaga stabilitas ekonomi walau didera pandemi misalnya, tingkat penerimaan publik atas kinerja presiden (approval rating), menurut riset LSI, tetap tinggi di atas 70% hingga menjelang akhir periode kedua.

Presiden juga tetap memelihara dan mengonsolidasikan para pendukungnya di 2019 lalu melalui aktifitas berbagai organisasi relawan. Maka gejala menguatnya dominasi presiden terlihat jelas. Penegasan istilah petugas partai, tampaknya adalah upaya dari partai presiden untuk mengimbangi dominasi tersebut.

Di sejumlah kesempatan, Ketua Umum PDIP, walau kadang dengan bergurau, mengingatkan presiden bahwa dia ditugaskan oleh partai, dan tidak ada apa-apanya tanpa partainya. Yang terbaru, istilah ini ditegaskan lagi oleh PDIP dalam pengumuman nominasi Ganjar Pranowo sebagai calon presiden yang diusung partai tersebut untuk Pemilihan Presiden 2024.

Gejala mayoritarianisme presidensial bila tidak terkontrol bisa mengarah pada otoritarianisme. Gejala ini sudah muncul dengan adanya upaya memperpanjang masa jabatan presiden atau menambah masa jabatan presiden.

Ironisnya, atau malah untungnya, untuk sementara gejala ini dapat dicegah justru karena adanya ambiguitas hubungan presiden dengan partainya sendiri. Meskipun sejumlah menteri mengupayakan perpanjangan/pertambahan masa jabatan presiden, PDIP menolak, walaupun itu bisa menguntungkan presiden yang berasal dari partainya.

Riset dari LSI juga menunjukkan, mayoritas publik terlihat masih bersikap konstitusional dengan menyatakan menolak walaupun mayoritas publik puas dengan kinerja presiden. Dapat dibayangkan kalau PDIP tidak menolak, kemungkinan perpanjangan/pertambahan masa jabatan presiden tersebut bisa terjadi (setelah melalui proses amandemen UUD).

Risiko parlementarisasi politik


Upaya menegaskan dan menjadikan presiden atau pejabat politik, terutama yang di eksekutif sebagai petugas partai, minimal secara teoritis, akan memunculkan resiko parlementarisasi dan komplikasi politik dalam koalisi pemerintahan.

Pertama, kalau presiden adalah petugas partai, itu berarti pemimpin tertinggi pemerintahan adalah ketua partai, bukan presiden. Kalau ini berlaku, maka terjadi parliamentarisasi politik, artinya, tidak sejalan dengan sistem pemerintahan presidensial.

Kedua, dalam sistem multipartai yang kita anut, juga akibat adanya presidential threshold, partai yang mengusung presiden terpilih terdiri dari banyak partai (koalisi). Kalau presiden adalah petugas partai, petugas partai manakah sang presiden? Apakah dia petugas partai dimana dia menjadi anggota? Ataukah dia adalah petugas partai dari semua partai pengusungnya?

Ketiga, bila koalisi partai mengusung calon presiden yang bukan anggota partai, apakah konsep petugas partai masih berlaku? Kalau berlaku, presiden tersebut adalah petugas partai yang mana?

Keempat, koalisi untuk mengusung presiden dalam pilpres, seringkali berbeda dengan koalisi untuk menjalankan pemerintahan. Artinya, ada partai yang tadinya lawan dari koalisi presiden dalam pilpres tapi bergabung pasca pilpres untuk menjalankan pemerintahan. Kalau presiden adalah petugas partai, apakah partai yang baru bergabung ini, dapat juga menganggap presiden adalah petugas partainya?

Pertanyaan-pertanyaan yang menyiratkan potensi parlementarisasi dan komplikasi politik akibat adanya konsep presiden sebagai petugas partai mungkin masih banyak. Kalau konsep atau istilah petugas partai sesungguhnya untuk menegaskan betapa pentingnya partai politik, maka itu tidak perlu.

Peran partai politik di Indonesia sudah sangat sentral. Semua rekrutmen jabatan politik harus melalui/melibatkan partai politik baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti jabatan presiden/wakil presiden, kepala daerah, anggota legislatif di semua tingkatan, dan jabatan-jabatan lain seperti hakim agung/konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), anggota komisi-komisi independen negara, hingga jabatan seperti Kepala Polri, Panglima TNI, duta besar, dan masih banyak lagi.

Proses pembuatan kebijakan publik di DPR seperti pembuatan undang-undang dikontrol oleh partai politik melalui fraksinya masing-masing. Yang perlu dikuatkan oleh partai adalah kualitas pelaksanaan peran-peran tersebut baik melalui kualitas anggota legislatif maupun melalui sistem dan proses rekrutmen dan kaderisasi pejabat-pejabat politik atau administratif yang melibatkan partai politik.

Namun, untuk jangka pendek, potensi terjadinya parlementarisasi akibat konsep petugas partai, nampaknya belum begitu besar. Mengingat besarnya kekuasaan presiden baik secara konstitusional, institusional, maupun wibawa politik, penegasan istilah atau konsep petugas partai akan lebih bermakna secara simbolik dan komunikasi politik saja.

Selama presiden dinominasikan oleh banyak partai dalam pilpres dan menjalankan pemerintahan secara koalisional, maka sulit bagi satu partai untuk melakukan klaim ke-petugas-partai-an seorang presiden. Maka, dampak konsep petugas partai belum substantif, minimal dalam jangka pendek.
(rca)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2208 seconds (0.1#10.140)