Jalan Sulit Gerakan Mahasiswa Menolak Otoritarianisme Orde Baru

Kamis, 06 Juli 2023 - 08:10 WIB
loading...
Jalan Sulit Gerakan...
Jalan Sulit Gerakan Mahasiswa Menolak Otoritarianisme Orde Baru
A A A
Herma Yulis
Pencinta buku, Alumnus UIN Sunan Kalijaga, tinggal di Batanghari, Jambi

PADA awal 1993, aksi sekelompok anak muda kritis dan berani berhasil menarik simpati publik. Mereka yang tergabung dalam Aliansi Demokrasi Rakyat (Aldera) menuntut Partai Demokrasi Indonesia (PDI) agar tidak mencalonkan kembali Soeharto sebagai presiden.

baca juga: Pengertian Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi

Meski tuntutan itu dianggap seperti angin lalu, namun mereka sejatinya telah membuka jalan untuk sebuah perubahan besar di negeri ini. Buku ALDERA: Potret Gerakan Politik Kaum Muda 1993-1999 mengupas tuntas sepak terjang gerakan mahasiswa menolak otoritarianisme Orde Baru itu.

Buku setebal 308 halaman dengan tim penulis Teddy Wibisana, Nanang Pujalaksana, dan Rahadi T Wiratma ini sepertinya sudah dinanti banyak orang. Hal itu terlihat dari tingginya antusiasme dan sambutan pembaca. Aldera pun menoreh reputasi baik sebagai buku dengan embel “mega best seller”.

Buku ini menarasikan situasi politik Indonesia pada masa akhir Orde Baru. Kala itu kebebasan berekspresi sangat dibatasi. Gerakan yang berani menentang pemerintah seringkali dihadapkan pada intimidasi, penculikan, dan kekerasan.

baca juga: Sejarah dan Perjalanan Barongsai, Sempat Dilarang di Masa Orde Baru

Namun, Aldera tak gentar dan berhasil menciptakan momentum, sehingga mendapatkan perhatian publik serta dukungan dari masyarakat Indonesia.

Gelombang Besar Perubahan

Ada dua peristiwa penting yang melatari berdirinya Aldera, baik yang berakar dari gerakan mahasiswa maupun kelompok-kelompok dampingan yang menjadi korban langsung dari praktik otoritarian Orba.

Peristiwa pertama adalah demonstrasi di seberang Wisma DPR Kopo, pada 12 Januari 1993. Peristiwa kedua, demonstrasi Front Aksi Mahasiswa Indonesia (FAMI) yang berujung penangkapan 21 mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah.

Selanjutnya, aktivis mahasiswa asal Jakarta, Bogor, dan Cianjur yang tertangkap di gedung MPR/DPR RI pada 14 Desember 1993, sebagian besar bergabung dengan Aldera. Sisanya bergabung dengan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Partai Rakyat Demokratik (PRD).

baca juga: Pesan Menyentuh untuk Kepergian Sipon Istri Penyair Korban Penculikan Orde Baru

Keterlibatan dalam kasus-kasus pertanahan dan pembelaan terhadap hak-hak politik rakyat telah mengubah kesadaran, bahwa gerakan moral tidak cukup memiliki daya pukul yang kuat untuk menjebol tembok kekuasaan. Namun perlu gerakan politik yang lebih berani, disiplin, dan efektif.

Untuk itu Aldera sebagai organ aksi yang telah ditetapkan sebagai organisasi dalam Kongres I Aldera, di Bogor, 12-13 September 1994, tidak bisa sekadar menjadi riak-riak perlawanan, melainkan harus menjadi gelombang besar bagi perubahaan.

Untuk alasan itu pula, Pius Lustrilanang ditunjuk menjadi Sekjen Aldera dalam forum restrukturisasi organisasi yang selanjutnya dianggap sebagai Kongres II Aldera di Bukit Sastra, Bandung. (halaman 159)

Penculikan Pius

Sosok Pius dan Aldera memang tak bisa dipisahkan. Aldera dan Pius sudah seperti kolam dan ikan. Namun, tiga bulan menjelang Soeharto mundur, tepatnya pada Senin, 2 Februari 1998, Pius diculik sekelompok orang tak dikenal di pintu keluar Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).

baca juga: Penerapan Pancasila Pada Masa Orde Baru, dari 3 Partai hingga Repelita Berujung KKN

Pius mengalami beragam penyiksaan: dipukul, disetrum, ditendang, dibenamkan dalam bak mandi, dan ditidurkan dalam balok es. Pius bebas pada Kamis, 2 April 1998, dan dipulangkan ke rumah orangtuanya di Palembang dalam pengawalan ketat.

Meski selama penyekapan Pius diancam agar tidak menceritakan apa yang telah dialami, namun tekadnya sudah bulat akan membuka semua peristwa kelam itu kepada publik. Ia menyampaikan testimoni di Komnas HAM, Senin, 27 April 1998. Seketika Pius menjelma sosok yang semakin banyak diperbincangkan oleh sejumlah kalangan, termasuk para elit politik, baik di dalam maupun di luar kekuasaan. (halaman 20)

Setelah bersaksi di Komnas HAM, Pius kemudian bersafari di luar negeri. Dia bersaksi di Belanda, kemudian di Jerman dan Amerika Serikat. Pius adalah korban yang pertama kali berani mengungkapkan kepada publik mengenai kasus penculikan aktivis yang marak terjadi di masa itu.

Membaca buku ini, kita menjadi mafhum bagaimana pengorbanan pegiat Aldera yang mau menempuh risiko bentrok dengan aparat, ditangkap atau dipenjara, bahkan diculik. Mereka mengambil jalan sulit untuk apa yang mereka yakini sebagai Indonesia yang lebih baik: masyarakat demokratis dan lebih adil. (halaman 285)

Buku ini memberikan wawasan yang sangat berharga tentang gerakan politik kaum muda Indonesia pada periode 1990-an. Bagi siapa saja yang ingin memahami perjuangan kaum muda Indonesia pada masa itu, buku ini sangat layak untuk dibaca.

Judul buku : ALDERA Potret Gerakan Politik Kaum Muda 1993 - 1999

Editor : Marlin Dinamikanto

Tim penulis : Teddy Wibisana, Nanang Pujalaksana, Rahadi T Wiratama

Penerbit : Penerbit Buku Kompas, Jakarta

Tahun terbit : Cetakan pertama, September 2022

Tebal buku : xx+308 halaman

ISBN : 978-623-346-684-4/978-623-346-685-1 (PDF)

(hdr)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1022 seconds (0.1#10.140)