Dalam 5 Bulan, Kasus Positif Covid-19 Tembus Angka 100.000
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kasus Covid-19 di Indonesia hari ini diperkirakan sudah menembus angka 100.000. Pemerintah telah melakukan banyak upaya mengatasi pandemi, namun pada saat yang sama angka penularan tetap saja tinggi dan belum menunjukkan tanda-tanda melandai.
Presiden Joko Widodo pertama kali mengumumkan kasus Covid-19 awal Mei 2020. Saat itu dua warga Depok, Jawa Barat dinyatakan sebagai pasien pertama dan kedua yang terkonfirmasi positif. Hanya perlu waktu kurang dari lima bulan, Covid-19 sudah menginfeksi ratusan ribu warga Indonesia. Kemarin pasien yang terkonfirmasi positif bertambah 1.492, sehingga total menjadi 98.778. Jika melihat rata-rata jumlah penambahan kasus di atas 1.000 per hari, besar kemungkinan hari ini jumlah kasus positif sudah menembus angka psikologis 100.000.
Belum ada tanda-tanda Indonesia akan segera keluar dari situasi buruk akibat pandemi ini. Indikasi bahwa situasi belum membaik bisa dilihat dari penambahan kasus baru setiap hari yang masih tergolong tinggi. Apalagi jika melihat angka positivity rate Indonesia yang mencapai 12,3%. Ini masih sangat jauh jika mengacu standar aman dari Badan Kesehatan Dunia, WHO, yakni 5%.
Salah satu penyebab mengapa Indonesia lama berada dalam situasi pandemi Covid-19 adalah minimnya jumlah warga yang menjalani tes. Padahal jika pengetesan bisa dilakukan masif dan sporadis, lalu dilakukan pelacakan terhadap orang yang pernah kontak dengan pasien positif, dan kemudian dilakukan isolasi, maka jumlah kasus baru di Indonesia diyakini bisa terkendali. (Baca: Kemensos Juga Tangani Anak-anak Terpapar Covid-19)
Pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia Pandu Rino menyebut Indonesia masih sangat perlu peningkatan Surveilans TLI (Tes, Lacak-Kontak, dan Isolasi). “TLI yang baik relatif hanya Jakarta. Secara nasional tes-tes masih terbatas, pelacakan belum masif,” ujarnya saat dihubungi kemarin.
Hal yang sama disampaikan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Daeng M Faqih. Dia menyebut ada dua strategi bagi Indonesia jika ingin segera memutus mata rantai korona. Pertama, tingkatkan pengetesan-pelacakan kontak-isolasi atau TLI.
“Itu sebenarnya kuncinya. Jika ada yang positif setelah dites, langsung lacak dengan siapa dia pernah kontak. Setelah ditemukan, isolasi. Begitu seterusnya,” ujarnya saat dihubungi kemarin.
Daeng M Faqih melihat upaya itu belum optimal dilakukan sehingga tidak bisa mengejar kecepatan penularan virus yang terjadi di komunitas masyarakat. Dia mencontohkan, di komunitas ada 10 yang terinfeksi, tapi kemampuan mengetes hanya menjangkau tiga orang, berarti ada tujuh yang tidak tertutupi. Tujuh orang itu potensial menulari lain. (Baca juga: AS Tuduh Rusia Kirim Banyak Senjata ke Garis Depan Libya)
“Kecepatan penularan virusnya harus bisa diimbangi dengan test, tracing, dan isolasi itu. Hanya dengan begitu, rantai penularan akan bisa dikendalikan. Makanya ini sangat penting didorong terus,” ujarnya.
Minimnya upaya pengetesan-pelacakan-isolasi tergambar dari angka positivity rate Indonesia. Positivity rate merupakan salah satu komponen yang bisa digunakan untuk menilai pemerintah merupakan sebuah negara mampu mengendalikan penyebaran Covid-19 atau tidak.
Presiden Joko Widodo pertama kali mengumumkan kasus Covid-19 awal Mei 2020. Saat itu dua warga Depok, Jawa Barat dinyatakan sebagai pasien pertama dan kedua yang terkonfirmasi positif. Hanya perlu waktu kurang dari lima bulan, Covid-19 sudah menginfeksi ratusan ribu warga Indonesia. Kemarin pasien yang terkonfirmasi positif bertambah 1.492, sehingga total menjadi 98.778. Jika melihat rata-rata jumlah penambahan kasus di atas 1.000 per hari, besar kemungkinan hari ini jumlah kasus positif sudah menembus angka psikologis 100.000.
Belum ada tanda-tanda Indonesia akan segera keluar dari situasi buruk akibat pandemi ini. Indikasi bahwa situasi belum membaik bisa dilihat dari penambahan kasus baru setiap hari yang masih tergolong tinggi. Apalagi jika melihat angka positivity rate Indonesia yang mencapai 12,3%. Ini masih sangat jauh jika mengacu standar aman dari Badan Kesehatan Dunia, WHO, yakni 5%.
Salah satu penyebab mengapa Indonesia lama berada dalam situasi pandemi Covid-19 adalah minimnya jumlah warga yang menjalani tes. Padahal jika pengetesan bisa dilakukan masif dan sporadis, lalu dilakukan pelacakan terhadap orang yang pernah kontak dengan pasien positif, dan kemudian dilakukan isolasi, maka jumlah kasus baru di Indonesia diyakini bisa terkendali. (Baca: Kemensos Juga Tangani Anak-anak Terpapar Covid-19)
Pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia Pandu Rino menyebut Indonesia masih sangat perlu peningkatan Surveilans TLI (Tes, Lacak-Kontak, dan Isolasi). “TLI yang baik relatif hanya Jakarta. Secara nasional tes-tes masih terbatas, pelacakan belum masif,” ujarnya saat dihubungi kemarin.
Hal yang sama disampaikan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Daeng M Faqih. Dia menyebut ada dua strategi bagi Indonesia jika ingin segera memutus mata rantai korona. Pertama, tingkatkan pengetesan-pelacakan kontak-isolasi atau TLI.
“Itu sebenarnya kuncinya. Jika ada yang positif setelah dites, langsung lacak dengan siapa dia pernah kontak. Setelah ditemukan, isolasi. Begitu seterusnya,” ujarnya saat dihubungi kemarin.
Daeng M Faqih melihat upaya itu belum optimal dilakukan sehingga tidak bisa mengejar kecepatan penularan virus yang terjadi di komunitas masyarakat. Dia mencontohkan, di komunitas ada 10 yang terinfeksi, tapi kemampuan mengetes hanya menjangkau tiga orang, berarti ada tujuh yang tidak tertutupi. Tujuh orang itu potensial menulari lain. (Baca juga: AS Tuduh Rusia Kirim Banyak Senjata ke Garis Depan Libya)
“Kecepatan penularan virusnya harus bisa diimbangi dengan test, tracing, dan isolasi itu. Hanya dengan begitu, rantai penularan akan bisa dikendalikan. Makanya ini sangat penting didorong terus,” ujarnya.
Minimnya upaya pengetesan-pelacakan-isolasi tergambar dari angka positivity rate Indonesia. Positivity rate merupakan salah satu komponen yang bisa digunakan untuk menilai pemerintah merupakan sebuah negara mampu mengendalikan penyebaran Covid-19 atau tidak.