Pandemi Jadi Tantangan Wujudkan Indonesia Layak Anak 2030
loading...
A
A
A
JAKARTA - Indonesia menargetkan menjadi salah satu negara layak anak pada 2030. Dari 270 juta jiwa penduduk Indonesia, ada sekitar 80 juta anak yang mesti dijamin mendapat hak hidup yang layak.
Target menuju negara layak anak telah digagas sejak 2006 silan. Saat ini sudah ada 247 kabupaten/kota di Tanah Air yang menginisiasi Kota Layak Anak (KLA).
Sedangkan 516 kabupaten/kota lain masih dalam proses menuju KLA. KLA merupakan sistem yang dikembangkan Kementerian Pemberdayaan Perempaun dan Perlindungan Anak (PPPA) sejak 2006.
Kabupaten atau kota dapat dikatakan layak anak bila mempunyai sistem pembangunan yang menjamin pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak secara terencana, menyeluruh, dan berkelanjutan.
Selain itu, kabupaten atau kota bisa dikatakan layak anak jika memenuhi 24 indikator yang mencerminkan lima klaster hak anak. Lima klaster tersebut, yakni pemenuhan hak sipil dan kebebasan hak anak, lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, kesehatan dasar dan kesejahteraan, pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan kegiatan budaya, dan perlindungan khusus.
( )
Berdasarkan kluster tersebut, terlihat bahwa pendidikan salah satu hak anak yang mutlak dipenuhi. Namun, keadilan dalam memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadi dan tingkat kecerdasan anak mendapat tantangan berat seiring pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia sejak Maret 2020.
Di lapangan, muncul ketidaksesuaian antara kebijakan pemerintah dan realitas. Saat ini banyak anak-anak yang terancam tidak mendapatkan layanan pendidikan memadai setelah sistem belajar tatap muka sekolah ditiadakan demi mencegah penularan virus Corona.
Sistem pendidikan jarak jauh melalui daring tidak bisa diterapkan di sebagian daerah atau sekolah karena keterbatasan akses dan infrastruktur jaringan internet.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Gerakan Siswa Kristen Indonesia (GSKI) Delis Jukarson Hehi mengatakan, selain efektivitas pendidikan daring saat ini yang masih perlu dievaluasi, masalah infrastruktur yang terbatas ini pekerjaan rumah yang harus diatasi.
“Dalam kondisi normal saja pendidikan di daerah-daerah terpencil bermasalah dengan ketersediaan akses dan insfratuktur. Apalagi saat ini proses pendidikan memasuki masa krisis karena dibatasi oleh pandemi,” tutur Delis dalam seminar virtual yang digelar DPP GSKI, Sabtu 25 Juli 2020 dalam rangka peringatan Hari Anak Nasional.
Pernyataan Delis sejalan dengan keterangan yang disampaikan Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Fidiansjah bahwa sebanyak 32% siswa tidak punya akses untuk proses belajar di rumah selama masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Dengan kata lain, hanya ada 68% siswa yang punya akses ke jaringan internet.
Terkait fakta tersebut, Delis mengatakan pemerintah dan guru di Indonesia perlu memikirkan kembali cara-cara kreatif dan inovatif agar siswa tetap mendapatkan haknya.
Terlebih soal kesehatan fisik dan mental anak juga merupakan hal yang harus diperhatikan saat pembelajaraan anak di rumah.
Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia, Seto Mulyadi mengingatkan pentingnya peran orang tua di tengah kondisi saat ini. Saat belajar di rumah orang tua perlu mengajar anak menjadi kreatif.
“Orangtua diharapkan memiliki pengetahuan dan perhatian penuh terhadap pola pembelajaraan yang ramah anak ketika di rumah. Konsep merdeka belajar, belajar tidak dengan kekerasan, belajar dan berkreativitas sesuai keahilan dan potensi masing-masing anak,” ujarnya pada seminar yang sama.
Dia juga menekankan bahwa anak bukan individu dewasa mini sehingga memarahi anak dengan cara yang berlebih, apalagi ditambah dengan munculnya pandemi, bisa berakibat pada minimnya ruang-ruang interaksi sosial anak dengan teman seusianya.
Itu dapat merusak struktur pskilogi anak dan berdampak langsung pada proses tumbuh kembangnya.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Badikenita Sitepu, mengungkapkan pentingnya pemerataan infrastruktur pendukung pendidikan bagi anak–anak di Indonesia.
Penekanan senator asal Provinsi Sumatera Selatan ini sejalan dengan data potensi desa yang disampaikan Badan Pusat Statistik (BPS) 2018. Disparitas infrastruktur pendukung kegiatan belajar seperti internet dan televisi di setiap daerah memang masih terjadi, terutama di Indonesia Timur.
Di Papua terdapat 81,3% desa yang tidak memiliki sinyal telepon seluler maupun sinyal internet. Posisi kedua Papua Barat (68,7%), disusul Maluku (58,2%). Hal ini menurut Badikenita perlu pembenahan.
Bahkan, orang tua di kota besar saja masih ada yang belum mampu mengakses koneksi internet untuk pendidikan anaknya tanpa gangguan. Ada juga yang belum mampu menyediakan gawai bagi anaknya untuk mengikuti pendidikan daring.
Di sisi lain, anak–anak yang mengakses internet malah cenderung menyalahgunakannya untuk hal yang kurang produktif seperti mengakses konten yang belum sesuai dengan umurnya juga konten provokasi negatif.
“Hal ini justru jauh dari implikasi yang diharapakan dari pendidikan yang humanis religius,” ujarnya.
Target menuju negara layak anak telah digagas sejak 2006 silan. Saat ini sudah ada 247 kabupaten/kota di Tanah Air yang menginisiasi Kota Layak Anak (KLA).
Sedangkan 516 kabupaten/kota lain masih dalam proses menuju KLA. KLA merupakan sistem yang dikembangkan Kementerian Pemberdayaan Perempaun dan Perlindungan Anak (PPPA) sejak 2006.
Kabupaten atau kota dapat dikatakan layak anak bila mempunyai sistem pembangunan yang menjamin pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak secara terencana, menyeluruh, dan berkelanjutan.
Selain itu, kabupaten atau kota bisa dikatakan layak anak jika memenuhi 24 indikator yang mencerminkan lima klaster hak anak. Lima klaster tersebut, yakni pemenuhan hak sipil dan kebebasan hak anak, lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, kesehatan dasar dan kesejahteraan, pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan kegiatan budaya, dan perlindungan khusus.
( )
Berdasarkan kluster tersebut, terlihat bahwa pendidikan salah satu hak anak yang mutlak dipenuhi. Namun, keadilan dalam memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadi dan tingkat kecerdasan anak mendapat tantangan berat seiring pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia sejak Maret 2020.
Di lapangan, muncul ketidaksesuaian antara kebijakan pemerintah dan realitas. Saat ini banyak anak-anak yang terancam tidak mendapatkan layanan pendidikan memadai setelah sistem belajar tatap muka sekolah ditiadakan demi mencegah penularan virus Corona.
Sistem pendidikan jarak jauh melalui daring tidak bisa diterapkan di sebagian daerah atau sekolah karena keterbatasan akses dan infrastruktur jaringan internet.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Gerakan Siswa Kristen Indonesia (GSKI) Delis Jukarson Hehi mengatakan, selain efektivitas pendidikan daring saat ini yang masih perlu dievaluasi, masalah infrastruktur yang terbatas ini pekerjaan rumah yang harus diatasi.
“Dalam kondisi normal saja pendidikan di daerah-daerah terpencil bermasalah dengan ketersediaan akses dan insfratuktur. Apalagi saat ini proses pendidikan memasuki masa krisis karena dibatasi oleh pandemi,” tutur Delis dalam seminar virtual yang digelar DPP GSKI, Sabtu 25 Juli 2020 dalam rangka peringatan Hari Anak Nasional.
Pernyataan Delis sejalan dengan keterangan yang disampaikan Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Fidiansjah bahwa sebanyak 32% siswa tidak punya akses untuk proses belajar di rumah selama masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Dengan kata lain, hanya ada 68% siswa yang punya akses ke jaringan internet.
Terkait fakta tersebut, Delis mengatakan pemerintah dan guru di Indonesia perlu memikirkan kembali cara-cara kreatif dan inovatif agar siswa tetap mendapatkan haknya.
Terlebih soal kesehatan fisik dan mental anak juga merupakan hal yang harus diperhatikan saat pembelajaraan anak di rumah.
Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia, Seto Mulyadi mengingatkan pentingnya peran orang tua di tengah kondisi saat ini. Saat belajar di rumah orang tua perlu mengajar anak menjadi kreatif.
“Orangtua diharapkan memiliki pengetahuan dan perhatian penuh terhadap pola pembelajaraan yang ramah anak ketika di rumah. Konsep merdeka belajar, belajar tidak dengan kekerasan, belajar dan berkreativitas sesuai keahilan dan potensi masing-masing anak,” ujarnya pada seminar yang sama.
Dia juga menekankan bahwa anak bukan individu dewasa mini sehingga memarahi anak dengan cara yang berlebih, apalagi ditambah dengan munculnya pandemi, bisa berakibat pada minimnya ruang-ruang interaksi sosial anak dengan teman seusianya.
Itu dapat merusak struktur pskilogi anak dan berdampak langsung pada proses tumbuh kembangnya.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Badikenita Sitepu, mengungkapkan pentingnya pemerataan infrastruktur pendukung pendidikan bagi anak–anak di Indonesia.
Penekanan senator asal Provinsi Sumatera Selatan ini sejalan dengan data potensi desa yang disampaikan Badan Pusat Statistik (BPS) 2018. Disparitas infrastruktur pendukung kegiatan belajar seperti internet dan televisi di setiap daerah memang masih terjadi, terutama di Indonesia Timur.
Di Papua terdapat 81,3% desa yang tidak memiliki sinyal telepon seluler maupun sinyal internet. Posisi kedua Papua Barat (68,7%), disusul Maluku (58,2%). Hal ini menurut Badikenita perlu pembenahan.
Bahkan, orang tua di kota besar saja masih ada yang belum mampu mengakses koneksi internet untuk pendidikan anaknya tanpa gangguan. Ada juga yang belum mampu menyediakan gawai bagi anaknya untuk mengikuti pendidikan daring.
Di sisi lain, anak–anak yang mengakses internet malah cenderung menyalahgunakannya untuk hal yang kurang produktif seperti mengakses konten yang belum sesuai dengan umurnya juga konten provokasi negatif.
“Hal ini justru jauh dari implikasi yang diharapakan dari pendidikan yang humanis religius,” ujarnya.
(dam)