BRICS dan Kepentingan Indonesia
loading...
A
A
A
Perlu Pertimbangan Matang
Isu-isu seperti multilateralisme, menjaga keadilan, keterbukaan ekonomi, solidaritas, ketahanan pangan dan energi, pemulihan ekonomi, menolak hegemoni, dan kepentingan lain yang menjadi komitmen negara-negara BRICS secara subtansial juga menjadi kepentingan utama Indonesia. Dalam perspektif negeri ini, BRICS merupakan komunitas penting yang bisa mewujudkan visi dan misinya.
Realitas ini seperti disampaikan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyampaikan pernyataan secara virtual pada pertemuan para menteri luar negeri negara-negara BRICS dengan negara-negara mitra di Cape Town, Afrika Selatan (2/6/2023), lalu mengajak negara-negara BRICS untuk memperjuangkan hak pembangunan setiap negara dan memperkuat multilateralisme.Urgensi ini berdasar fakta saat ini dunia semakin terbelah ke dalam blok-blok yang saling berlawanan. Tatanan dunia yang berdasarkan peraturan kehilangan makna karena setiap negara mengejar kepentingan pribadi masing-masing.
Di sisi lain, Indonesia melihat kerja sama internasional gagal mengatasi tantangan-tantangan global, dan kepercayaan terhadap efektivitas multilateralisme makin surut. Bila kondisi ini dibiarkan terus berlanjut, maka negara berkembang akan menjadi korban. Ditegaskan Retno Marsudi, semua negara memiliki tanggung jawab untuk memperbaiki tatanan global yang tidak sehat ini, dan BRICS berpotensi menjadi kekukatan yang positif untuk itu.
Indonesia juga menyampaikan apresiasinya atas inisiatif BRICS membentuk bank pembangunan baru yang menghadirkan perspektif segar dalam sistem keuangan global yang sudah kadaluwarsa. Sebagai penutup, Retno Marsudi menegaskan multilateralisme hanya dapat berkembang jika semua pihak menghormati hukum internasional secara konsisten tanpa standar ganda sebagai fondasi tatanan global. Dia pun mengajak BRICS bekerja bersama untuk membangun masa depan dunia yang lebih cerah.
Keselarasan kepentingan Indonesia dengan BRICS terlihat sangat kuat, termasuk pada isu-isu sensitif seperti sistem keuangan global, pun penggunaan sistem moneter internasional yang berpangku pada mata uang dollar karena Indonesia dengan beberapa negara dan dengan ASEAN sudah mulai meninggalkan mata uang Amerika Serikat tersebut. Kesamaan kepentingan kepentingan semakin kuat karena negara-negara barat, terutama Uni Eropa, seringkali mengambil sikap yang sangat merugikan kepentingan ekonomi Indonesia seperti pada isu komoditas kelapa sawit, hilirisasi nikel, dan aturan deforestasi yang diskriminatif.
Namun untuk serta-merta Indonesia bergabung membutuhkan pertimbangan masak-masak karena hegemoni barat masih sangat kuat, termasuk pada Indonesia. Lazimnya, mereka akan menggunakan berbagai instrumen -bukan hanya ekonomi tapi juga politik dan militer- untuk menekan negara-negara yang akan bergabung dengan kelompok yang dianggap musuhnya dan mengancam kepentingan globalnya. Apalagi di belakang BRICS ada China dan Rusia yang merupakan kompetitor bebuyutan, baik secara ekonomi, politik, hingga militer.
Namun di sisi lain, bila menjadi kenyataan, bergabungnya beberapa negara kaya akan sumber daya alam ke dalam BRICS bisa menjadi momentum perubahan dunia menjadi era baru. Dominasi barat akan semakin pudar, dan di sisi lain China akan mengambil alih posisi nomor wahid sebagai negara dengan perekonomian terbesar dunia pada 2035 seperti diramal Goldman Sachs, dan India akan menyodok di posisi ketiga membuntuti Amerika Serikat. Kerja sama dengan negara-negara kuat akan mampu mengakselerasi pertumbuhan ekonomi.(*)
Isu-isu seperti multilateralisme, menjaga keadilan, keterbukaan ekonomi, solidaritas, ketahanan pangan dan energi, pemulihan ekonomi, menolak hegemoni, dan kepentingan lain yang menjadi komitmen negara-negara BRICS secara subtansial juga menjadi kepentingan utama Indonesia. Dalam perspektif negeri ini, BRICS merupakan komunitas penting yang bisa mewujudkan visi dan misinya.
Realitas ini seperti disampaikan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyampaikan pernyataan secara virtual pada pertemuan para menteri luar negeri negara-negara BRICS dengan negara-negara mitra di Cape Town, Afrika Selatan (2/6/2023), lalu mengajak negara-negara BRICS untuk memperjuangkan hak pembangunan setiap negara dan memperkuat multilateralisme.Urgensi ini berdasar fakta saat ini dunia semakin terbelah ke dalam blok-blok yang saling berlawanan. Tatanan dunia yang berdasarkan peraturan kehilangan makna karena setiap negara mengejar kepentingan pribadi masing-masing.
Di sisi lain, Indonesia melihat kerja sama internasional gagal mengatasi tantangan-tantangan global, dan kepercayaan terhadap efektivitas multilateralisme makin surut. Bila kondisi ini dibiarkan terus berlanjut, maka negara berkembang akan menjadi korban. Ditegaskan Retno Marsudi, semua negara memiliki tanggung jawab untuk memperbaiki tatanan global yang tidak sehat ini, dan BRICS berpotensi menjadi kekukatan yang positif untuk itu.
Indonesia juga menyampaikan apresiasinya atas inisiatif BRICS membentuk bank pembangunan baru yang menghadirkan perspektif segar dalam sistem keuangan global yang sudah kadaluwarsa. Sebagai penutup, Retno Marsudi menegaskan multilateralisme hanya dapat berkembang jika semua pihak menghormati hukum internasional secara konsisten tanpa standar ganda sebagai fondasi tatanan global. Dia pun mengajak BRICS bekerja bersama untuk membangun masa depan dunia yang lebih cerah.
Keselarasan kepentingan Indonesia dengan BRICS terlihat sangat kuat, termasuk pada isu-isu sensitif seperti sistem keuangan global, pun penggunaan sistem moneter internasional yang berpangku pada mata uang dollar karena Indonesia dengan beberapa negara dan dengan ASEAN sudah mulai meninggalkan mata uang Amerika Serikat tersebut. Kesamaan kepentingan kepentingan semakin kuat karena negara-negara barat, terutama Uni Eropa, seringkali mengambil sikap yang sangat merugikan kepentingan ekonomi Indonesia seperti pada isu komoditas kelapa sawit, hilirisasi nikel, dan aturan deforestasi yang diskriminatif.
Namun untuk serta-merta Indonesia bergabung membutuhkan pertimbangan masak-masak karena hegemoni barat masih sangat kuat, termasuk pada Indonesia. Lazimnya, mereka akan menggunakan berbagai instrumen -bukan hanya ekonomi tapi juga politik dan militer- untuk menekan negara-negara yang akan bergabung dengan kelompok yang dianggap musuhnya dan mengancam kepentingan globalnya. Apalagi di belakang BRICS ada China dan Rusia yang merupakan kompetitor bebuyutan, baik secara ekonomi, politik, hingga militer.
Namun di sisi lain, bila menjadi kenyataan, bergabungnya beberapa negara kaya akan sumber daya alam ke dalam BRICS bisa menjadi momentum perubahan dunia menjadi era baru. Dominasi barat akan semakin pudar, dan di sisi lain China akan mengambil alih posisi nomor wahid sebagai negara dengan perekonomian terbesar dunia pada 2035 seperti diramal Goldman Sachs, dan India akan menyodok di posisi ketiga membuntuti Amerika Serikat. Kerja sama dengan negara-negara kuat akan mampu mengakselerasi pertumbuhan ekonomi.(*)
(hdr)